Sukses

Partikel Radioaktif Ditemukan di Palung Mariana, Gara-Gara Perang Dingin?

Partikel radioaktif ditemukan di Palung Mariana, apakah ini merupakan dampak dari uji coba nuklir Korea Utara?

Liputan6.com, Pasifik - Sebuah studi baru menunjukkan bahwa karbon radioaktif dari uji coba bom nuklir era Perang Dingin terkandung di Palung Mariana, palung terdalam alami di dunia dengan kedalaman mencapai 10.994 meter di bawah permukaan laut.

Ion-ion tersebut ditemukan pada tubuh krustasea (binatang air yang berkulit keras, seperti udang dan kepiting) yang hidup di sana. Para peneliti yang terlibat di balik studi tersebut mengatakan, rantai makanan lautlah yang membuat karbon radioaktif bergerak sejauh ini, begitu cepat.

Partikel radioaktif terdeteksi berkadar tingkat tinggi abnormal di hewan amphipoda (ordo krustasea malacostraca yang tidak memiliki karapaks atau kerangka luar) di Palung Mariana (Samudra Pasifik), Pulau Mussau (Papua Nugini), dan Britania Baru (pulau terbesar di Kepulauan Bismarck, Papua Nugini).

"Meskipun rantai makanan di samudra membutuhkan ratusan tahun untuk membawa air yang mengandung bom (karbon) ke palung terdalam, namun ini (rantai makanan) bisa mencapainya lebih cepat," kata Ning Wang, salah satu tim peneliti yang merupakan ahli geokimia dari Chinese Academy of Sciences di China.

Wang dan rekan-rekannya mencari karbon-14, yakni karbon radioaktif yang terbentuk secara alami ketika sinar kosmik berinteraksi dengan nitrogen di atmosfer Bumi.

Uji coba nuklir yang dilakukan oleh Amerika Serikat pada tahun 1950-an dan 1960-an, menyebabkan penggandaan karbon-14 di atmosfer Bumi, ketika neutron yang dilepaskan oleh bom bereaksi dengan nitrogen.

Pada 1990-an, tingkat karbon-14 itu telah turun hingga 20 persen di atas tingkat pra-tes, tetapi studi terbaru ini menunjukkan 'karbon bom' masih ada di bawah laut.

Akan tetapi, ada aspek lain dari riset ini: cara karbon radioaktif dapat membantu kehidupan biota laut bertahan hidup di kedalaman yang sangat dalam di bawah air.

Faktanya, organisme laut dapat menggunakan karbon-14 untuk membangun molekul di dalam sel-sel mereka. Ini adalah cara lain yang mampu mereka gunakan untuk bertahan hidup pada kedalaman laut yang luar biasa, di bawah tekanan yang kuat, pada suhu beku, dan tanpa banyak memangsa.

Para peneliti berasumsi, kondisi seperti itu mungkin menjadi alasan mengapa krustasea yang hidup di Palung Marina bisa berukuran jauh lebih besar dan hidup lebih lama ketimbang makhluk serupa di perairan dangkal.

"Amphipoda dalam dapat hidup hingga 10 tahun atau lima kali lebih lama dari yang ada di perairan dangkal," demikian perkiraan peneliti yang dikutip dari Science Alert, Senin (13/5/2019).

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Akibat Ulah Manusia

Dengan membandingkan kadar karbon-14 di perut dan otot amphipoda, serta kadar karbon-14 di air di sekitar habitat mereka dan di permukaan, maka akan tampak bahwa makhluk-makhluk kecil itu telah mengonsumsi materi yang jatuh ke bawah permukaan laut.

Dengan kata lain, lonjakan karbon yang disebabkan oleh aktivitas manusia pada masa lampau masih dapat berdampak besar pada kehidupan laut, lebih dari 60 tahun kemudian.

"Ada interaksi yang sangat kuat antara permukaan dan dasar (laut), dalam hal sistem biologis, dan aktivitas manusia dapat memengaruhi biosistem, bahkan hingga 11.000 meter ke bawah. Jadi kita perlu berhati-hati tentang perilaku kita di masa depan," ujar salah satu peneliti lain, Weidong Sun dari Chinese Academy of Sciences.

Kini, penelitian di atas telah dipublikasikan dalam jurnal Geophysical Research Letters.

3 dari 3 halaman

Titik-Titik Radiasi Radioaktif Terdeteksi di Hutan Merah Chernobyl

Sementara itu, para ilmuwan di Rusia telah menemukan titik-titik panas radiasi di Red Forest atau Hutan Merah yang mengelilingi lokasi bencana nuklir Chernobyl. Lokasi tersebut dikatakan tidak pernah terdeteksi sebelumnya.

Tim peneliti itu juga menemukan bagian-bagian dari Desa Kopachi di barat daya Ukraina, tempat radiasi menyebar setelah bencana Chernobyl, yang banyak terkontaminasi radioaktif.

Tingkat dosis pemaparan adalah 1 millisievert (mSv) per jam --sebagai perbandingan, rata-rata orang terkena radiasi sebanyak 2,4 mSv per tahun.

Hutan Merah kemudian menjadi salah satu situs radioaktif paling aktif di dunia: daerah di mana partikel radioaktif mendarat di hutan pinus seluas 400 hektar, mematikan pohon-pohon di sana dan mengubahnya menjadi kering kerontang.

Bulan lalu, para ahli menghabiskan dua minggu untuk mensurvei Hutan Merah dan area sekitarnya. Mereka menggunakan pesawat tanpa awak (drone) fix-wing dan multi-rotor yang dilengkapi dengan detektor radiasi yang dirancang khusus.

Selama 10 hari, 50 drone dikerahkan untuk memindai area seluas 15 km persegi, membuat peralatan ini harus menghabiskan waktu selama 24 jam di udara. Mereka memakai data yang dihasilkan untuk membuat peta 3D dan menentukan titik-titik radiasi.

Sebelum memetakan Hutan Merah, tim terlebih dahulu mensurvei Desa Buriakivka yang berjarak 13 km dari PLTN Chernobyl. Selanjutnya, pemukiman Kopachi yang terbengkalai, dan terakhir Hutan Merah.

Sebuah kru dari National Centre for Nuclear Robotics di Amerika Serikat berkolaborasi dengan organisasi SSE Eco Center asal Ukraina yang bertugas mengumpulkan data tentang Zona Pengecualian untuk penelitian ini.

Mereka menerbangkan drone-drone (yang sudah dipasang sensor radiasi) pada jarak 45 hingga 60 meter di atas permukaan tanah, dengan kecepatan sekitar 40 meter per jam (mph). Cara ini dapat mencegah para peneliti dari paparan radiasi.

Tim peneliti itu berencana melanjutkan survei mereka selama 12 bulan ke depan.

Hutan Merah adalah daerah seluas 10 kilometer persegi yang mengitari PLTN Chernobyl dalam Zona Pengecualian, yang terletak di Polesia.

Nama "Hutan Merah" berasal dari warna coklat-jahe di pohon-pohon pinus di sana, setelah tanaman ini mati karena menyerap radiasi tingkat tinggi dari peristiwa Chernobyl pada 26 April 1986.

Dalam operasi pembersihan pascabencana, Red Forest dibuldoser dan ditimbun di waste graveyards atau "kuburan limbah". Situs Hutan Merah tetap menjadi salah satu daerah yang paling terkontaminasi radioaktif di dunia saat ini.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini