Sukses

AS Tambah Alutsista Tempur di Teluk Persia, Unjuk Gigi terhadap Iran?

AS dikabarkan mengirim kapal transpor amfibi, sistem rudal, pesawat bomber hingga kapal induk ke Teluk Persia di Timur Tengah. Unjuk gigi kepada Iran?

Liputan6.com, Washington DC - Amerika Serikat (AS) akhir pekan ini mengirim kapal transpor amfibi dan sistem rudal pertahanan udara Patriot ke Timur Tengah di tengah meningkatnya ketegangan dengan Iran.

USS Arlington, yang juga membawa alutsista aviasi, akan bergabung dengan formasi carrier strike group ke-8 AL-AS yang dipimpin USS Abraham Lincoln di Teluk Persia. Kapal induk itu dikabarkan telah melintasi Terusan Suez untuk menuju Timur Tengah, usai melaksanakan misi di Atlantik.

Sementara itu, pesawat pembom B-52 AS juga telah tiba di pangkalan udara di Qatar, tambah Kementerian Pertahanan AS (Pentagon).

Kemhan mengatakan langkah itu merupakan respons terhadap kemungkinan ancaman terhadap pasukan AS di kawasan itu, tanpa menyebut rinciannya.

Pada Jumat 10 Mei 2019, Pentagon mengatakan tengah "bersiap mempertahankan pasukan dan kepentingan AS di kawasan" Teluk, menambahkan bahwa mereka tak ingin mencari konflik dengan Iran, demikian seperti dikutip dari BBC, Minggu (12/5/2019).

AS memiliki sekitar 5.200 pasukan di Irak dan beberapa instalasi militer di negara-negara Arab di Teluk Persia.

Tanggapan Iran

Iran menolak klaim AS, menyebutnya sebagai omong kosong.

Teheran menggambarkan penempatan terbaru alutsista AS di kawasan Teluk Persia sebagai "perang psikologis" yang bertujuan untuk mengintimidasi mereka.

Iran juga telah mengatakan akan kembali melanjutkan pengayaan uranium untuk pengembangan nuklir.

Seorang mullah ternama di Iran, seperti dikutip dari kantor berita negara ISNA, mengatakan bahwa armada AS "bisa dihancurkan dengan satu rudal kami".

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

AS dan Iran Kian Memanas

AS mengumumkan sanksi baru yang keras terhadap Iran, di mana memicu ketegangan meningkat di antara kedua negara, dalam konflik yang telah berlangsung puluhan tahun lamanya.

Presiden AS Donald Trump mengeluarkan perintah eksekutif pada Rabu 8 Mei, untuk menjatuhkan sanksi terhadap Iran dalam industri baja, aluminium, tembaga, dan besi, yang merupakan pendapatan mata uang asing paling utama bagi lumpuhnya perekonomian Teheran.

Dikutip dari Al Jazeera pada Kamis 9 Mei, Trump juga mengancam tindak lanjutan yang lebih keras, kecuali Iran "secara fundamental" mengubah perilakunya.

Menurut Gedung Putih dalam sebuah pernyataan, sektor logam adalah sumber pendapatan ekspor non-minyak terbesar bagi Iran, yang menyumbang sekitar 10 persen dari pendapatan ekonomi nasional.

"Karena kebijakan kami, rezim Iran kesulitan mendanai kampanye teror yang kejam karena ekonominya menuju depresi yang belum pernah terjadi sebelumnya, pendapatan pemerintah mengering, dan inflasi tidak terkendali," kata Trump dalam sebuah pernyataan.

3 dari 3 halaman

Iran Keluar dari Kesepakatan Nuklir

Langkah AS untuk menjatuhkan sanksi baru kepada Iran dilakukan setelah Teheran mengatakan pihaknya akan menghentikan bagian dari perjanjian nuklir 2015, yang ditinggalkan AS pada 2018 dan memicu krisis saat ini.

Iran mengatakan, pengumuman penarikan diri akan disampaikan oleh Rouhani, termasuk akan menyinggung bagian 26 dan 36 dari Kesepakatan Nuklir Iran (JCPOA). Dalam artikel itu dibahas langkah yang memungkinkan Iran untuk mengambil kebijakan tertentu jika satu pihak menarik diri dari perjanjian.

Langkah Iran tersebut dapat dilihat sebagai bukti adanya tekanan yang masif dari dalam negeri. Presiden Hassan Rouhani telah barkali-kali didorong untuk mengambil kebijakan konkret menyusul keluarnya AS dari kesepakatan nuklir.

Negeri Persia itu tampaknya telah kehilangan kesabaran dalam usaha menciptkan mekanisme finansial dengan negara-negara Eropa --yang sampai saat ini masih bertahan dalam JCPOA. Mekanisme yang dimaksud khususnya terkait kerja sama perdagangan obat dan barang-barang pokok, sebagai alternatif sanksi AS.

Lambatnya Eropa bukan tanpa alasan. Pemerintahan Trump telah berkali-kali memperingatkan region itu untuk tidak membantu Iran menghadapi sanksi AS, atau mereka akan berhadapan dengan konsekuensi buruk.

Sebagai implikasinya, banyak negara Eropa yang menarik diri dari berdagang dengan Teheran.

Lebih lanjut, Menteri Luar Negeri Iran Javad Zarif mengatakan langkah itu diambil untuk mengurangi beberapa komitmen "sukarela" dalam kesepakatan nuklir.

"Uni Eropa dan lainnya ... tidak memiliki kekuatan untuk melawan tekanan AS, oleh karena itu Iran ... tidak akan melakukan beberapa komitmen sukarela," lanjut Zarif.

Sekilas JCPOA

JCPOA atau "Iran nuclear deal", merupakan pakta kesepakatan yang dibentuk pada 2015, antara Iran dan lima anggota tetap Dewan Keamanan PBB (China, Prancis, Rusia, Inggris, AS) plus Jerman dan Uni Eropa.

Menurut pakta itu, Iran dituntut untuk mengurangi stok uranium (bahan baku pembuat nuklir) hingga 98 persen dan berhenti menjalankan program pengembangan senjata nuklir. Kepatuhan Iran akan ditukar dengan pencabutan sanksi dari para negara penandatangan.

Namun, AS mengundurkan diri dari JCPOA pada 8 Mei 2018, sebuah langkah yang amat disayangkan oleh seluruh penandatangan dan dikecam keras oleh Iran. Usai keluar, Washington pun segera menetapkan sanksi terhadap Negeri Para Mullah.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.