Sukses

Boeing Akui Ada Masalah pada 737 MAX Sebelum Tragedi Lion Air dan Ethiopian Airlines

Liputan6.com, Washington DC - Sebuah pernyataan baru dari Boeing menunjukkan, pabrikan dirgantara itu tahu tentang adanya masalah pada pesawat 737 MAX, namun terindikasi tidak melakukan apa-apa untuk memitigasinya --bahkan jauh sebelum kecelakaan Lion Air JT 610 terjadi pada Oktober 2018 dan Ethiopian Airlines ET 302 pada Maret 2019.

Boeing, usai dua kecelakaan itu, telah mengakui bahwa sistem peringatan yang seharusnya menjadi fitur standar pada setiap armada "tidak dapat dioperasikan di semua pesawat."

Tetapi, sebuah pernyataan yang rilis pada Minggu 5 Mei 2019 menggambarkan garis waktu yang mengganggu, terutama perihal bagaimana pihak berwenang di perusahaan tersebut telah menyadari dan memutuskan kapan untuk bertindak memitigasi masalah yang telah ada sedari awal pada 737 MAX, demikian seperti dikutip dari CNN, Senin (6/5/2019).

Kendati demikian, tetap dalam pernyataan yang sama, Boeing menyatakan menyatakan bahwa masalah perangkat lunak "tidak berdampak buruk terhadap keselamatan atau operasi pesawat."

Sampai saat ini, masih tidak diketahui apakah masalah pada fitur yang dimaksud benar-benar berdampak langsung dalam kecelakaan Lion Air JT 610 yang menewaskan seluruh 346 penumpang dan kru; atau Ethiopian Airlines ET 302 yang juga merenggut 157 nyawa semua orang di dalam.

Namun, data yang muncul dari fitur tersebut --yang sedari awal telah malfungsi-- bisa memberikan informasi yang salah kepada pilot, sehingga mungkin memicu mereka menerima pesan bahwa ada kesalahan dalam sistem pesawat.

Dalam kedua kecelakaan (ET 302 dan JT 610) investigasi awal menunjukkan: sensor Angle of Attack (AOA) yang sedari awal sudah malfungsi mengeluarkan data yang keliru sehingga memicu perangkat lunak anti-stall bernama MCAS aktif.

Dalam dinamika aviasi, stall adalah pengurangan koefisien gaya angkat yang dihasilkan oleh foil sebagai Angle of Attack (AOA) yang bertambah dari batas normal. Hal ini terjadi ketika sudut kritis AOA pada foil itu telah melewati batas wajar.

Demi keluar dari stall, pilot biasanya meningkatkan AOA dan sudut kritis AOA dengan tujuan untuk memperlambat kecepatan stall dalam level flight.

Namun, jika langkah antisipasi tidak dilakukan, kondisi stallmengakibatkan airflow menjadi terpisah dari airfoil. Itu akan memicu pesawat mengalami hentakan (buffeting) atau perubahan attitude (perubahan pada rotasi tiga dimensi sudut) --yang salah satunya adalah perubahan altitude secara mendadak.

Maneuvering Characteristics Augmentation System (MCAS) yang aktif memicu pesawat melakukan nose-dive (hidung menukik) sebagai sebuah protokol keselamatan --setelah melakukan pembacaan sensor AOA yang keliru.

Padahal, pada kondisi sebenarnya, pesawat sedang tidak dalam kondisi yang membutuhkan protokol keselamatan MCAS.

Namun, para pilot (seluruhnya berpengalaman) terlanjur kewalahan dengan informasi yang keluar dari sensor dan protokol keselamatan yang mendadak berfungsi. Mereka kemudian berjuang keras melakukan tindakan untuk mendapatkan kendali kontrol pesawat. Namun nahas, pesawat tetap jatuh menukik ke laut (JT 610) atau daratan (ET 302).

Boeing mengatakan, kepemimpinan seniornya dan Administrasi Penerbangan Federal Amerika Serikat (FAA) tidak tahu-menahu tentang masalah itu sampai setelah Lion Air jatuh pada Oktober 2018.

Dan, usai kecelakaan Lion Air, baik Boeing dan FAA sama sekali tidak melakukan tindak lanjut apapun, sampai kecelakaan kedua 737 MAX milik Ethiopian Airlines terjadi pada Maret 2019.

Pada kecelakaan kedua itulah badai kritik semakin deras dan tajam menerjang Boeing. Hingga pada akhirnya, pemerintah AS turun tangan mendesak firma penerbangan itu untuk mengandangkan semua 737 MAX di seluruh dunia --menciptakan masalah keuangan dan logistik untuk tiga maskapai utama AS, sementara Boeing terus bekerja untuk memperbaiki masalah tersebut.

Simak video pilihan berikut:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Krusial, Namun Tidak Bertindak

Seluruh pesawat Boeing 737 MAX diketahui memiliki sensor pembaca AOA, yakni MCAS. Namun, ada satu sub-sensor yang tidak terpasang, yaitu 'AOA Disagree Alert'

"'AOA Disagree Alert' hanya bekerja pada pesawat jika maskapai telah membeli fitur tambahan opsional, yang dikenal sebagai 'Indikator AOA'," kata Boeing dalam laporannya.

"'Indikator AOA' membuat pilot tahu jika salah satu sensor AOA tidak berfungsi, sedangkan 'AOA Disagree Alert' menunjukkan jika ada sensor yang saling bertentangan," lanjut firma itu.

Boeing berpendapat bahwa fungsi itu tidak diperlukan dalam protokol keselamatan pesawat.

Tetapi, mantan insinyur Boeing dan analis penerbangan yang diwawancarai oleh CNN mengkritik desain perangkat lunak asli Boeing karena hanya mengandalkan data dari sensor AOA tunggal. Ia mengklaim bahwa perangkat tunggal tersebut rentan cacat.

Boeing juga tidak melakukan uji terbang untuk sistem MCAS seandainya ada sensor AOA yang gagal, CNN sebelumnya melaporkan.

Benar saja, pada tahun 2017, setelah pengiriman perdana dimulai, insinyur Boeing "mengidentifikasi" bahwa perangkat lunak sistem tampilan kokpit 737 MAX tidak memenuhi persyaratan untuk menampilkan data yang semestinya dibaca oleh sensor 'AOA Disagree Alert', pernyataan itu berbunyi.

Namun, setelah ditinjau, para insinyur Boeing memutuskan untuk tidak segera memperbaiki masalah, menyimpulkan bahwa "fungsi yang ada dapat diterima sampai peringatan dan indikator dapat dihapus dalam pembaruan perangkat lunak sistem tampilan yang direncanakan berikutnya."

Kemudian, satu pekan setelah kecelakaan Lion Air JT 610 pada 29 Oktober 2018, Boeing menambahkan analisis dalam laporan kelayakan kepada FAA yang menjelaskan bahwa "Sensor 'AOA Disagree Alert'" itu bersifat wajib alias non-opsional.

Tidak jelas apakah Boeing memberi tahu pelanggan maskapai tentang masalah tersebut.

Boeing juga mengadakan pertemuan Safety Review Board (SRB) untuk mempertimbangkan apakah absennya sensor AOA Disagree Alert dari 737 MAX tertentu akan menampilkan masalah keselamatan, kata pernyataan itu.

Ketika SRB mengonfirmasi kesimpulan Boeing, pihak firma membagikannya --bersama dengan analisis dukungan dari SRB-- kepada FAA, kata pernyataan itu.

Boeing belum memberikan komentar terkait laporan CNN tersebut.

3 dari 3 halaman

Boeing 737 MAX Dilarang Terbang, 3 Maskapai Rugi Rp 8,6 Triliun

Boeing 737 MAX masih dilarang terbang oleh berbagai negara akibat insiden jatuhnya pesawat itu di Etiopia dan Indonesia. Pendapatan Boeing turun 21 persen dalam tiga bulan pertama 2019 akibat krisis ini, tetapi maskapai yang membeli pesawat 737 MAX juga memikul kerugian.

Dilaporkan CNN, tiga maskapai mengungkap kerugian sekitar USD 608 juta atau Rp 8,6 triliun (USD 1 = Rp 14. 148) akibat pelarangan Boeing 737 MAX. Tiga maskapai itu adalah maskapai American Airlines, Southwest Airlines, dan Norwegian.

American Airlines memiliki 24 Boeing 737 Max dan mengestimasi kerugian akan mencapai USD 350 juta (Rp 4,9 triliun) tahun ini. Pasalnya, 115 penerbangan harian batal hingga 19 Agustus mendatang akibat pelarangan Boeing 737 MAX.

Southwest yang memiliki 34 pesawat Boeing 737 MAX menyebut maskapai kehilangan USD 200 juta (Rp 2,8 triliun) pada kuartal I 2019. Masalah lain seperti penutupan pemerintah Amerika Serikat (AS) juga menjadi faktor negatif bagi Southwest.

Sementara, maskapai bertarif murah Norwegian menyebut pelarangan Boeing 737 MAX akan membuat perusahaan rugi USD 58 juta (Rp 822,5 miliar) tahun ini. Maskapai Norwegian memiliki 18 pesawat Boeing 737 MAX.

CEO Southwest Gary Kelly menyebut tidak senang akan pelarangan Boeing 737 MAX, tetapi hubungan dan negosiasi maskapai dengan Boeing akan terus dilaksanakan secara tertutup.

Di lain pihak, CEO Norwegian Bjørn Kjos berkata mereka sudah bertemu dengan pihak Boeing. Mereka membahas kerugian dan ganti rugi akibat pelarangan Boeing 737 MAX.

"Jelas kami tidak akan menanggung biaya terkait armada baru yang kami harus sementara kandangkan. Kami akan mengirim tagihan ke pembuat pesawat ini," ujar Kjos bulan lalu.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.