Sukses

Ini Tanggapan Warga Sri Lanka soal Larangan Mengenakan Burka

Pelarangan burka mendapatkan berbagai tanggapan dari warga Sri Lanka

Liputan6.com, Jakarta Pemerintah Sri Lanka baru-baru ini mengesahkan hukum pelarangan burka, menyusul serangan teror yang menewaskan lebih dari 250 orang pada Minggu Paskah, 21 April 2019. Kebijakan itu mendapatkan tanggapan yang beragam, dengan para aktivis mengatakan langkah itu "melanggar hak perempuan muslim untuk mempraktikkan ajaran agama mereka secara bebas."

Meski demikian perlu diketahui, aturan yang mulai berlaku sejak Senin, 29 April 2019 itu tidak secara eksplisit melarang burka, niqab, cadar, maupun jilbab. Larangan itu menyatakan "Tidak seorangpun dapat mengaburkan wajahnya yang menjadikan identifikasi menjadi sulit," disampaikan oleh Presiden Maithripala Sirisena pada Minggu.

Banyak warga Sri Lanka, termasuk All Ceylon Jamiyyathul Ulama (ACJU), mendukung langkah negara dengan alasan keamanan, mengutip Al Jazeera pada Selasa (30/4/2019). ACJU sendiri adalah badan cendekiawan Islam di negara pulau Asia Selatan itu.

ACJU sebelumnya pernah mengeluarkan panduan yang meminta perempuan muslim untuk menghindari mengenakan cadar di depan umum, tapi baru-baru ini menambahkan hal itu sebagai hal yang bertentangan dengan undang-undang.

Sheikh Arkam Nooramith dari ACJU mengatakan organisasinya telah membahas masalah ini dengan Kementerian Kehakiman.

Tanggapan Beragam

Sementara itu, dari wawancara yang dilakukan oleh Al Jazeera terhadap sejumlah warga Sri Lanka, ternyata terdapat tanggapan yang sangat beragam.

Zainab Hussein, bukan nama sebenernya, seorang aktivis sosial terkemuka di Kolombo mengatakan tidak banyak hal yang bisa ia lakukan untuk melawan larangan itu.

"Namun saya mengerti, bagaimana menghindari burka akan membantu meredakan beberapa ketakutan," katanya. "Namun, akanah para petugas keamanan berhenti pada apa yang telah ditentukan oleh pemerintah (pelarangan niqab) atau akan melangkah lebih jauh?"

Menurutnya, pemerintah dan komunitas muslim harus melakukan komunikasi yang intensif agar kebijakan dapat berjalan dengan baik.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Dilihat Negatif

Tehane Ariyatne, seorang aktivis hak-hak perempuan memandang negatif pelarangan burka tanpa berkonsultasi dengan mereka yang terkena imbas secara langsung. Menurutnya, langkah itu tanpa berkomunikasi terlebih dahulu adalah respons reaksioner negara.

"Ini tidak bisa diterima. Ini merupakan pelanggaran terhadap hak mereka untuk menjalankan agama mereka secara bebas, dan mereka harus menjadi pemangku kepentingan utama dalam diskusi terkait kebijakan ini," kata Ariyatne.

"Sebagai gantinya, sekali lagi, wanita muslim tersingkir dalam keputusan yang memengaruhi kehidupan mereka sendiri."

Pendapat Ariyatne seolah senada dengan Qaanita Razeek (33), salah satu pendiri Soup Kitchen Sri Lanka yang membantu kaum lemah terlepas dari ras dan agama.

"Saya membuat pilihan untuk mengenakan niqab 16 tahun lalu dan meminta saya untuk melepaskannya sekarang seperti meminta saya untuk melepaskan identitas saya sendiri," kata Razeek.

Ia mengatakan bahwa akan mencoba mencari jalan keluar dari permasalahan yang tengah menimpanya tersebut.

Sementara itu Kalana Senaratne, dosen senior Departemen Hukum, Universitas Peradeniya mengatakan pelarangan harus disambut "jika menandai perubahan dalam masyarakat Sri Lanka menuju yang lebih sekuler".

"Jika pelarangan itu dimotivasi oleh kebencian, itu akan memiliki dampak yang sangat negatif terutama pada komunitas Muslim dalam jangka panjang," kata Senaratne.

 

3 dari 3 halaman

Tanggapan Politikus

Harshana Rajakaruna, seorang anggota parlemen dari Partai Persatuan Nasional yang tengah berkuasa memberikan komentar yang sudah dapat ditebak. Ia mengatakan, "mayoritas komunitas muslim sangat positif dan senang dengan larangan tersebut," katanya dengan percaya diri.

Ia mengaku telah berbicara dengan anggota komunitas muslim. Menurutnya, mereka yang diajaknya berdialog menjawab: "Kami tidak pernah memiliki budaya (burka) ini di Sri Lanka. Ini adalah sesuatu yang telah datang ke komunitas kami melalui pengaruh (luar), 10 hingga 15 tahun terakhir."

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini