Sukses

Seluruh Pemerintahan Mali Mengundurkan Diri Usai Pembantaian Etnis Fulani

Perdana menteri Mali dan pemerintahnya mengundurkan diri menyusul meningkatnya kekerasan etnis di negara itu.

Liputan6.com, Bamako - Perdana menteri Mali dan pemerintahnya mengundurkan diri menyusul meningkatnya kekerasan etnis di negara itu.

Sebulan lalu, sekitar 160 orang --termasuk anak-anak dan perempuan-- kelompok etnis Fulani menjadi korban pembantaian oleh kelompok etnis Dogon yang main hakim sendiri, menuduh mereka telah disusupi kelompok-kelompok ekstremis.

Insiden itu telah memicu kemarahan domestik dan respons internasional.

Pada Rabu 17 April 2019, mosi tidak percaya diajukan ketika anggota parlemen menyalahkan Perdana Menteri Soumeylou Boubeye Maiga karena gagal menangani eskalasi kekerasan.

Presiden Mali, Ibrahim Boubacar Keita menerima pengunduran diri itu pada Kamis 18 April tanpa memberikan alasan rinci.

"Seorang perdana menteri baru akan segera diumumkan dan pemerintah baru akan diberlakukan setelah berkonsultasi dengan semua kekuatan politik dari kedua pihak yang berkuasa dan oposisi," kata pernyataan dari kantor Presiden Keita seperti dikutip dari Al Jazeera, Jumat (19/4/2019).

Presiden pada Selasa 16 April mengatakan dalam pidato yang disiarkan televisi bahwa ia telah "mendengar kemarahan" dari rakyat kepada pemerintah, namun, ia tak secara eksplisit menyebut perdana menteri.

Legislator telah membahas mosi tidak percaya pada pemerintah karena pembantaian dan kegagalan melucuti kelompok bersenjata atau memukul mundur militan.

Salah Satu Pembantaian Paling Berdarah

Insiden pembantaian yang terjadi pada 23 Maret 2019 dilakukan oleh para pemburu yang dicurigai berasal dari komunitas Dogon di Ogossagou, sebuah desa di Provinsi Mopti, Mali tengah. Mereka menargetkan etnis lokal, Fulani yang nomaden dan hidup sebagai penggembala.

Pihak berwenang Mali telah menahan lima orang yang dicurigai ikut serta dalam pembantaian itu. Tetapi mereka belum berhasil melucuti kelompok yang diyakini banyak orang sebagai dalang utama, meskipun PM Maiga dan Presiden Keita berjanji untuk melakukannya.

Pembantaian itu disebut sebagai salah satu yang paling 'berdarah', bahkan untuk standar di Mali yang kerap dilanda konflik dan kekerasan komunal sejak beberapa tahun terakhir.

Perisitiwa kekerasan itu mengikuti serangan mematikan oleh pejuang bersenjata di sebuah pos militer yang menewaskan sedikitnya 23 tentara, juga di wilayah Mali tengah. Wilayah itu merupakan salah satu sarang Al Qaeda di Maghreb (AQIM) yang barisan militannya beranggotakan beberapa kelompok etnis Fulani.

Mali telah berjuang untuk mengendalikan kekerasan sejak ekstremis yang memiliki hubungan dengan Al-Qaeda mencengkeram gurun utara negara itu pada 2012.

Meskipun ada dorongan militer yang sedang berlangsung dan perjanjian perdamaian 2015, para jihadis masih mendominasi daerah-daerah besar di negara itu, setelah bermigrasi dari utara ke pusat negara yang lebih padat penduduknya. Pemerintah telah mendapat tekanan yang meningkat atas ketidakmampuannya untuk memulihkan stabilitas, terutama setelah pembantaian.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Pembantaian yang Terarah

Fulani, yang sebagian besar beragama Islam, telah dituduh mendukung seorang pengkhotbah yang kejam, Amadou Koufa, yang menjadi terkenal di Mali tengah empat tahun lalu.

Apa yang disebut "kelompok pertahanan diri" telah muncul di komunitas Dogon dengan tujuan menyatakan memberikan perlindungan terhadap kelompok bersenjata Fulani.

"Ada perkembangan stigmatisasi ini ... Mereka sengaja ditargetkan," kata Ravina Shamdasani, juru bicara kantor hak asasi PBB.

Seorang wartawan AFP melaporkan pada Maret 2019 lalu bahwa banyak rumah di desa Ogossagou telah terbakar habis dan tanah penuh dengan mayat.

"Saya belum pernah melihat yang seperti itu. Mereka datang, mereka menembak orang, membakar rumah, membunuh bayi-bayi itu," kata penyintas berusia 75 tahun Ali Diallo.

3 dari 3 halaman

Pemerintah Dianggap Tak Bisa Meredam Situasi

Pembunuhan di Ogossagou, yang membuat tubuh perempuan dan anak-anak yang hangus terbakar di rumah mereka, mengejutkan populasi yang semakin frustrasi dengan kegagalan pasukan pemerintah untuk melindungi mereka dari serangan kelompok bersenjata dan pembalasan etnis.

Para kritikus berpendapat bahwa pemimpin Mali belum melakukan cukup untuk mencegah kekerasan antar-komunal.

Pada saat yang sama, kehidupan orang-orang biasa di Mali semakin buruk. Harga kebutuhan pokok seperti air, listrik, dan makanan telah meningkat sebesar 20 persen pada tahun lalu. PM terpilih pada Agustus dengan janji untuk perubahan tetapi banyak orang Mali tidak melihat perubahan itu, Al Jazeera melaporkan.

"Negara tidak ada lagi di sana; tidak ada perlindungan negara untuk memastikan keamanan dan kehadirannya di daerah-daerah itu," Adama Gaye, analis Afrika Barat dan mantan direktur Komunitas Ekonomi Negara-negara Afrika Barat (ECOWAS) blok regional, mengatakan kepada Al Jazeera.

Ia memperingatkan bahwa serangan terhadap Fulani telah menjadi masalah berulang yang perlu ditangani oleh pemerintah Mali dan di tingkat regional.

"Orang-orang telah menyimpulkan bahwa bahkan ada risiko genosida - mereka menggunakan kata genosida mengenai kaum Fulani ... ini adalah situasi yang sangat serius."

Christophe Boulierac, juru bicara badan anak-anak PBB UNICEF, mengatakan kepada wartawan di Jenewa bahwa sekitar sepertiga dari mereka yang tewas adalah anak-anak, dan 31 anak-anak juga terluka.

"Pembunuhan tragis dan keji pada anak-anak yang tak berdaya ini dalam skala yang belum pernah terjadi sebelumnya," katanya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini