Sukses

NASA Temukan Bakteri Infeksi di Stasiun Angkasa Luar Internasional

NASA menemukan banyak mikroba yang ditemukan di Stasiun Angkasa Luar Internasional atau ISS.

Liputan6.com, New York - Selama sekitar dua puluh tahun terakhir, Stasiun Angkasa Luar Internasional (ISS) telah disinggahi oleh ratusan astronaut dari berbagai lembaga antariksa di dunia.

Namun, meski lebih dari dua dekade telah berlalu, namun ada 'pengunjung' lain yang kedapatan tetap berada di ISS.

Sebuah permukaan luas di ISS detemukan terdapat banyak jenis bakteri dan jamur yang berkembang biak. Menurut NASA, bakteri-bakteri ini sebagian besar berasal dari tubuh kosmonaut.

Mikroba ada di mana-mana di Bumi dan tidak semuanya buruk, tetapi beberapa yang ditemukan di ISS, termasuk Staphylococcus dan Enterobacter, diketahui bersifat oportunistik. Terkadang menyebabkan infeksi pada manusia.

"Kami belum mengetahui apakah seluruh bakteri oportunistik ini dapat menyebabkan penyakit pada astronaut di ISS," kata Aleksandra Checinska Sielaff, seorang ahli mikrobiologi di Washington State University.

"Tergantung pada sejumlah faktor, termasuk status kesehatan setiap individu dan bagaimana organisme ini berfungsi saat berada di antariksa," lanjutnya, seperti dikutip dari Science Alert, Rabu (10/4/2019).

Mikroba dikenal sanggup bertahan hidup di kondisi lingkungan yang ekstrem. Ruang hampa, menurut Sielaff, adalah tempat yang cukup menantang.

Bahkan di dalam sistem ISS yang terisolasi, kuman-kuman ini mampu beradaptasi dalam mikro gravitasi, radiasi, karbon dioksida tinggi, dan resirkulasi udara melalui filter HEPA.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Waspada Kuman Ada di Mana Saja

Ketika manusia berkeinginan untuk menjelajah ke angkasa luar, adalah sesuatu yang penting untuk memahami apa yang terjadi dengan kuman yang menempel pada tubuh saat berada di sana.

"Astronaut harus tahu selama mereka terbang ke antariksa, karena mereka telah mengubah kekebalan tubuh dan tidak memiliki akses ke intervensi medis canggih yang tersedia di Bumi," ujar Kasthuri Venkateswaran, seorang ahli mikrobiologi di Jet Propulsion Laboratory (JPL) NASA.

Sebuah studi ekstensif dijalankan guna mengukur komunitas mikroba di ISS selama 14 bulan dengan 'mencicipi' permukaan di delapan lokasi di seluruh ISS, termasuk jendela penglihatan, toilet, platform olahraga, meja makan, dan tempat tidur, 

Dalam riset tersebut, mereka menemukan komunitas mikroba yang berkembang, tetapi untuk kelompok jamur, mereka tumbuh relatif stabil dari waktu ke waktu. Sedangkan untuk gerombolan bakteri, mereka tampak berfluktuasi bersama sejalan dengan kru astronaut yang datang dan pergi silih berganti.

Sebanyak 26 persen bakteri yang paling menonjol adalah Staphylococcus, diikuti oleh Enterobacter dengan jumlah 23 persen dan Bacillus pada 11 persen. Sementara itu, jamur yang paling banyak dilihat yaitu Rhodotorula dengan total 40 persen dari keseluruhan komunitas.

3 dari 3 halaman

Membentuk Lendir

Keempat mikroba tersebut dikaitkan dengan infeksi di Bumi. Tapi bukan hanya kesehatan astronaut yang menjadi perhatian para penulis.

Mereka berpendapat bahwa integritas ISS itu sendiri juga harus diselidiki, mengingat bahwa beberapa mikroba yang mereka temukan terkait dengan korosi (perusakan yang disebabkan oleh reaksi kimia).

"Selain memahami dampak yang mungkin ditimbulkan dari organisme mikroba dan jamur pada kesehatan astronaut, kami pun mencari tahu dampak yang dibuat terhadap ISS, sebab pemeliharaan rutin dalam ruang hampa tidak mudah dilakukan," ucap Camilla Urbaniak, ahli mikrobiologi di JPL NASA.

Banyak mikroba yang terdeteksi pada ISS diketahui membentuk biofilm --lapisan tipis berlendir yang melekat pada permukaan pesawat tersebut.

Para penulis menjelaskan bahwa cairan ini dapat menyebabkan masalah bagi para astronaut jika mereka terinfeksi, karena biofilm diketahui mampu meningkatkan daya tahan bakteri.

"Biofilm sanggup menurunkan stabilitas infrastruktur dengan menyebabkan penyumbatan mekanis, mengurangi efisiensi perpindahan panas, dan menginduksi korosi yang dipengaruhi mikroba," tambah para penulis.

Studi ini telah dipublikasikan di Microbiome.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini