Sukses

Demi Jaga Lingkungan, Peneliti Belanda Ajari Sapi Buang Air di Toilet

Seorang penemu asal Belanda menemukan cara mengurangi emisi yang menyebabkan kerusakan lingkungan. Caranya dengan mengajari sapi kencing di toilet.

Liputan6.com, Amsterdam - Mengajar sapi untuk menggunakan toilet bukanlah tugas yang mudah, tetapi seorang penemu asal Belanda berhasil menemukan cara agar kotoran mamalia itu bisa terkumpul. Upaya yang bisa berdampak mengurangi emisi yang menyebabkan kerusakan lingkungan.

Penemu itu membuat toilet untuk sapi, untuk mengumpulkan urine binatang yang mengandung senyawa dengan kandungan mampu merusak lingkungan.

Dikutip dari laman Straitstimes.com, Senin (1/4/2019), uji coba telah dimulai di sebuah peternakan Belanda pada perangkat yang mengumpulkan 15 hingga 20 liter urine yang sapi hasilkan dalam per hari.

Jika dibiarkan, kumpulan urine ini menghasilkan amonia dalam jumlah yang cukup besar.

Amonia adalah senyawa kimia dengan rumus NH3. Biasanya senyawa ini didapati berupa gas dengan bau tajam yang khas (disebut bau amonia).

"Kami sedang menangani masalah sumbernya," kata Henk Hanskpam, penggagas toilet untuk sapi.

Penemu itu menempatkan sebuah kotak di belakang sapi, sementara di depannya diletakkan bak makanan. Setelah selesai makan, sebuah lengan robot menstimulasi saraf di dekat lambung sapi, yang kemudian membuat hewan itu ingin buang air kecil.

Toilet sapi saat ini sedang diuji di sebuah peternakan dekat kota Doetinchem, Belanda timur, dan 7 dari 58 ekor sapi telah belajar menggunakan toilet tanpa perlu stimulasi.

Menurut dokter hewan Jan Velema yang ikut dalam penelitan itu, kandang menjadi lebih bersih dan tanah menjadi lebih kering.

Sebab, sapi tak akan buang air atau buang kotoran di sembarang tempat.

Belanda memang sudah memberlakukan aturan yang lebih ketat tentang emisi amonia, yang dapat menyebabkan polusi pada atmosfer dan mengiritasi mata manusia.

Senyawa ini juga bisa menciptakan kerusakan ganggang yang berkembang ketika bercampur dengan air.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Sapi Sumbang Pemanasan Global

Jika pemanasan global terjadi dipicu dari bahan bakar fosil dan pabrik industri, sapi juga ikut menyebabkan gas efek rumah kaca.

Berdasarkan jurnal berjudul, Beef Consumption Reduction and Climate Change Mitigation, yang ditulis Elham Darbandi dan Sayed Saghaian dari University of Kentucky, Amerika Serikat, para peneliti percaya, emisi gas rumah kaca dari sektor peternakan sapi ikut menyumbang 65 persen.

Dalam hal sapi, gas metana ikut meningkatkan efek rumah kaca. Ternak berkaki empat atau istilahnya ruminansia (sapi, kambing, domba) menghasilkan gas metana yang keluar dari sendawa, kentut, dan kotoran hewan ternak. Sebagaimana dikutip dari tulisan berjudul Animal Agriculture’s Impact on Climate Change, gas metana menyumbang 16 persen dari total efek pemanasan global. Potensi pemanasan global mencapai 28 hingga 36 kali lipat, yang berujung menghasilkan karbon dioksida.

Jika gas metana tidak ditekan dari sapi, maka pemanasan global yang ada pada peternakan sapi bisa meningkat. Apalagi di Indonesia, tingkat konsumsi daging sapi digencarkan terus menerus. Hal ini bertujuan demi ketercukupan nasional terhadap kebutuhan protein hewani dari daging sapi. Kementerian Pertanian mencatat, produksi daging sapi nasional pada tahun 2018 sebesar 403.668 ton.

Peneliti ternak Lies Mira Yusiaiti menjelaskan, ada inovasi kreatif yang bisa dilakukan peternak untuk mengurangi gas metana pada hewan ruminansia. Penggunaan teknologi Natural Methane Reducing (NMR) dari dedauan yang mengandung kandungan tannin. Tannin dapat menekan gas metana yang keluar dari sapi. Dedaunan yang digunakan meliputi daun jati (Tectona grandis), kaliandra (Calliandra calothyrsus), dan mahoni (Swietenia mahagoni).

“Tannin dalam suatu tanaman atau dedauan memiliki jenis berbeda dan tingkat kandungannya pun berbeda. Kombinasi dari berbagai jenis daun punya potensi lebih tinggi dalam menurunkan metan dibandingkan hanya memilih salah satu. Hal ini didasari jenis tannin yang punya mekanisme ikatan yang berbeda beda, tergantung dari jenis daun,” kata Lies kepada Liputan6.com melalui surat elektronik.

Dedaunan banyak ditemukan di sekitar lingkungan peternak, terutama di daerah pedesaan. Di pedesaan kekayaan biodiversity yang tinggi. Teknologi Natural Methane Reducing diterapkan Lies dan tim melalui program Pemberdayaan Kemitraan Masyarakat (PKM) di Desa Banyusoco, Playen, Gunung Kidul dan Desa Bercak, Berbah, Sleman. Peternak sebelumnya sudah memberikan dedaunan, kearifan lokal yang ada di sekitarnya. Namun, peternak belum memahami manfaat dari daun yang diberikan.

"Peternakan sapi, misalnya, di daerah urban (dekat perkotaan) yang sering memiliki kendala dalam mendapatkan daun. Sehingga dikembangkan tanaman yang mudah tubuh dan memiliki kandungan tannin yang tinggi. Kami mencoba memberikan bibit tanaman yang potensial menghasilkan tannin, mengidentifikasi tanaman yang sudah ada, dan memiliki kandungan tannin tinggi," papar Lies, peneliti ternak dari Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada (UGM).

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.