Sukses

Pemanasan Global Bikin 1 Miliar Orang Terancam Gigitan Nyamuk Mematikan

Akibat pemanasan global, diperkirakan sebanyak satu miliar manusia terancam gigitan nyamuk yang mematikan.

Liputan6.com, Miami - Sebuah hasil studi ilmiah terbaru menyebut bahwa sekitar satu miliar orang mungkin akan terancam oleh nyamuk pembawa penyakit serupa demam berdarah, di mana hal itu merupakan akibat dari pemanasan global.

Para ilmuwan mengatakan bahwa kabar tersebut adalah pertanda buruk, bahkan bagi daerah dengan iklim yang kurang cocok untuk habitat nyamuk, demikian sebagaimana dikutip dari media sains Eurek Alert pada Jumat (29/3/2019).

Pasalnya, nyamuk-nyamuk yang hidup saat ini bisa bermutasi dengan cepat di kondisi cuaca tertentu, yang kerap kali berubah dalam siklus waktu yang berdekatan akibat pemanasan global.

"Perubahan iklim adalah ancaman terbesar dan paling komprehensif terhadap keamanan kesehatan global," kata Colin J Carlson, seorang ahli perubahan biologi global, yang juga merupakan rekan pascadoktoral di departemen biologi, Georgetown University.

"Nyamuk hanya bagian dari tantangan, tetapi setelah wabah Zika di Brasil pada 2015, kami semakin khawatir tentang apa yang terjadi selanjutnya," lanjutnya pesimis.

Diterbitkan dalam jurnal akses terbuka PLOS Neglected Tropical Diseases, tim peneliti pimpinan Carlson dan Sadie J. Ryan dari University of Florida, mempelajari apa yang akan terjadi jika dua nyamuk pembawa penyakit paling umum, Aedes aegypti dan Aedes albopictus, bergerak menyebar secara luas seiring perubahan suhu selama beberapa dekade.

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), nyamuk adalah salah satu hewan paling mematikan di dunia, membawa penyakit yang menyebabkan jutaan kematian setiap tahun.

Baik Aedes aegypti dan Aedes albopictus dapat membawa virus dengue, chikunguyna dan Zika, serta setidaknya puluhan penyakit lain yang tidak kalah berbahaya, di mana menurut peneliti, berisiko menjadi ancaman dalam 50 tahun ke depan.

Akibat pemanasan global, masih menurut peneliti, hampir seluruh populasi dunia dapat terpapar oleh risiko penyakit tropis dalam 50 tahun ke depan. Meningkatnya suhu Bumi akan berdampak pada semakin hangatnya wilayah-wilayah subtropis, seperti misaknya Florida dan Mediterania.

"Risiko penularan penyakit adalah masalah serius, bahkan selama beberapa dekade berikutnya," kata Carlson.

"Tempat-tempat seperti Eropa, Amerika Utara, dan dataran tinggi di daerah tropis, yang dulunya terlalu dingin untuk virus berkembang biak, akan menghadapi penyakit baru seperti demam berdarah," lanjutnya memperingatkan.

 

Simak video pilihan berikut: 

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Populasi Nyamuk Tertentu Justru Berkurang di Asia Tenggara

Perubahan iklim yang lebih parah akan memicu peningkatan populasi nyamuk Aedes aegypti, kata para peneliti terkait.

Uniknya, di daerah-daerah dengan peningkatan iklim terburuk, termasuk Afrika barat dan Asia Tenggara, justru terjadi perkiraan penurunan yang serius pada populasi nyamuk Aedes albopictus. Nyamuk ini dikenal membawa virus demam berdarah, chikunguyna, dan Zika.

"Memahami pergeseran risiko secara geografis benar-benar menempatkan kita dalam perspektif baru," kata Carlson.

"Fakta yang terjadi Asia Tenggara dan Afrika Barat mungkin terdengar seperti berita baik, tetapi tetap saja itu skenario buruk, di mana kita belum tahu akan seperti nyamuk-nyamuk mematikan ini berevolusi seiring pemanasan global," lanjutnya menjelaskan.

Tim peneliti mengamati catatan suhu setiap bulannya, untuk memproyeksikan risiko hingga tahun 2050 dan 2080. Pemodelan tersebut tidak memprediksi jenis nyamuk mana yang akan bermigrasi, melainkan memperhitungkan iklim di mana penyebarannya sulit dicegah.

"Berdasarkan apa yang kita ketahui tentang pergerakan nyamuk dari satu daerah ke daerah lain, 50 tahun adalah waktu yang cukup lama dan kami menduga penyebaran yang signifikan dari kedua jenis serangga, terutama Aedes aegypti, tumbuh subur di lingkungan perkotaan," jelas Carlson.

"Ini hanya satu studi untuk mulai memahami tantangan besar yang kita hadapi terkait pemanasan global," lanjutnya.

"Kami perlu mengetahui patogen demi patogen, wilayah demi wilayah, ketika masalah akan muncul sehingga kami dapat merencanakan respons kesehatan global," pungkas Carlson.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini