Sukses

Penyelidik Temukan Kesamaan Ethiopian Airlines dan Lion Air yang Berakhir Nahas

Kemiripan antara kecelakaan Ethiopian Airlines ET 302 dan Lion Air JT 610 terus bertambah ketika penyelidik menemukan bukti baru dari lokasi kecelakaan pesawat yang terjadi pekan lalu.

Liputan6.com, New York - Kemiripan antara kecelakaan Ethiopian Airlines ET 302 dan Lion Air JT 610 terus bertambah --di samping keduanya sama-sama terbang dengan pesawat Boeing 737 MAX 8-- ketika penyelidik menemukan bukti baru dari lokasi kecelakaan pesawat yang terjadi pekan lalu.

Menurut sebuah laporan The New York Times, para penyelidik di lokasi kecelakaan penerbangan Ethiopian Airlines yang menewaskan 157 orang, menemukan bukti yang menunjukkan bahwa stabilisator pesawat dimiringkan ke atas.

Pada sudut itu, stabilisator otomatis akan memaksa hidung jet melakukan nosedive, mirip dengan pesawat Lion Air yang menabrak Laut Jawa 12 menit setelah lepas landas, menewaskan semua 189 penumpang dan awak, The Times melaporkan, seperti dikutip dari Vox, Minggu (17/3/2019).

"Kedua penyelidikan sama-sama masih dalam tahap awal, tetapi bukti baru berpotensi menunjukkan bahwa kedua pesawat keduanya memiliki masalah dengan sistem otomatis yang baru dipasang, Maneuvering Characteristics Augmentation System (MCAS) atau Sistem Augmentasi Karakteristik Manuver," The Times melaporkan.

MCAS adalah sistem anti-stalling otomatis Boeing 737 MAX yang dirancang untuk menjaga pesawat agar tidak berada dalam kondisi stall.

Dalam dinamika aviasi, stall adalah pengurangan koefisien gaya angkat yang dihasilkan oleh foil sebagai Angle of Attack (AOA) yang bertambah dari batas normal. Hal ini terjadi ketika sudut kritis AOA pada foil itu telah melewati batas wajar.

Demi keluar dari stall, pilot biasanya meningkatkan AOA dan sudut kritis AOA dengan tujuan untuk memperlambat kecepatan stall dalam level flight.

Namun, jika langkah antisipasi tidak dilakukan, kondisi stall mengakibatkan airflow menjadi terpisah dari airfoil. Itu akan memicu pesawat mengalami hentakan (buffeting) atau perubahan attitude (perubahan pada rotasi tiga dimensi sudut) --yang salah satunya adalah penurunan altitude secara mendadak.

Boeing merancang mesin MAX lebih besar dan dipasang lebih jauh ke depan pada sayapnya, sebuah konfigurasi yang dapat mendorong hidung ke atas menuju sebuah kondisi stall dalam keadaan tertentu.

Untuk mengimbangi itu, Boeing memasang MCAS untuk secara otomatis mendorong hidung ke bawah untuk menangkal kekuatan-kekuatan yang menyebabkan stall, dengan harapan membuat 737 MAX lebih aman.

Tetapi dua kecelakaan dalam beberapa bulan terakhir mengkhawatirkan tanda-tanda bahwa sistem MCAS itu bisa memiliki risiko yang tidak terduga.

Dalam kasus penerbangan Ethiopian Airlines yang jatuh, penyelidik di lokasi kecelakaan secara khusus melihat peralatan yang dikenal sebagai jackscrew, yang mengontrol sudut stabilisator horisontal. Stabilisator bisa dimiringkan karena alasan lain, tetapi mereka dapat dipicu oleh MCAS.

Dan dalam kecelakaan Lion Air, para penyelidik juga memeriksa apakah MCAS memicu pergulatan antara sistem kontrol penerbangan baru dan pilot.

"Sistem otomatis (MCAS), yang mungkin telah mendorong hidung pesawat dalam kecelakaan Lion Air, menjadi aktif jika hanya satu dari dua sensor yang dipasang di bagian luar pesawat mengatakan hidung pesawat terlalu tinggi. Itu berarti satu sensor yang tidak berfungsi dapat memaksa pesawat ke arah yang salah, seperti yang telah diteorikan dalam kecelakaan Lion Air," The Times melaporkan.

Boeing dan Administrasi Penerbangan Federal Amerika Serikat (FAA) mengatakan bahwa mereka terus mendukung keselamatan pesawat 737 MAX. Meski begitu, perusahaan berusaha untuk menyelesaikan pembaruan perangkat lunak dan mendorongnya pada bulan April yang akan memodifikasi fitur jet di sekitar sistem otomatis MCAS.

 

Simak video pilihan berikut:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Kebertanggungjawaban Boeing?

Kevin Durkin, seorang pengacara penerbangan, mengatakan hubungan itu bisa menjadi penting dalam setiap kasus pengadilan. Jika Boeing mengetahui adanya cacat pada armada 737 MAX, pabrikan pesawat bisa menghadapi dakwaan tambahan dalam tuntutan hukum. Pengetahuan perusahaan tentang cacat itu mungkin ditunjukkan oleh pernyataannya bahwa mereka membuat perubahan perangkat lunak setelah Lion Air JT 610, katanya.

"Jika Anda memiliki produk yang cacat dan ternyata Boeing tahu tentang hal itu, ini dapat dengan mudah membuat mereka terkena hukuman," kata Durkin, seorang mitra di Kantor Hukum Clifford di Chicago, seperti dikutip dari CBS News.

"Standarnya adalah apakah perusahaan terlibat dalam perilaku dalam ketidakpedulian yang disengaja terhadap keselamatan orang lain," lanjut Durkin.

Boeing mengatakan bahwa cukup dengan mengikuti prosedur lama seharusnya cukup untuk mencegah kecelakaan yang melibatkan kegagalan MCAS.

Pada hari Rabu, pabrikan yang berbasis di Chicago mengeluarkan pernyataan yang mengatakan masih memiliki "kepercayaan penuh" pada pesawat produksi mereka.

"Kami mendukung langkah proaktif ini dengan kehati-hatian," kata Kepala Eksekutif Boeing Dennis Muilenburg dalam pernyataan itu, merujuk pada tindakan FAA. "Kami melakukan segala yang kami bisa untuk memahami penyebab kecelakaan dalam kemitraan dengan para penyelidik, menyebarkan peningkatan keselamatan dan membantu memastikan ini tidak terjadi lagi.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.