Sukses

Unicef: Hampir 3.000 Anak Militan ISIS Hidup dalam Kondisi Sangat Mengerikan

Unicef mengatakan bahwa terdapat hampir 3.000 anak militan ISIS yang kini terjebak dalam kondisi sangat mengerikan.

Liputan6.com, Damaskus - Baru-baru ini, Unicef memperkirakan sebanyak hampir 3.000 anak yang lahir dalam keluarga militan ISIS ditempatkan di kamp-kamp di Suriah timur laut, di mana banyak di antara mereka yang berusia di bawah enam tahun, hidup dalam "kondisi sangat mengerikan".

Angka tersebut jauh lebih tinggi dari penilaian sebelumnya, yang sebagian didorong oleh kedatangan sekitar 30.000 orang ke kamp al-Hawl, dari kantong terakhir ISIS di Baghuz.

Dikutip dari The Guardian pada Kamis (14/3/2019), meningkatnya jumlah pengungsi membuat para pejabat kamp kelimpungan dalam ​membuat catatan yang akurat, menyediakan tempat tinggal, dan mendistribusikan makanan.

Sekitar 1.000 anak lainnya, yang setidaknya lahir dari orangtua sekutu ISIS, diyakini masih tertahan di Irak. Banyak dari mereka tinggal bersama ibu-ibu yang dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan setempat, setelah persidangan singkat yang seringkali tidak punya cukup banyak bukti.

Nasib anak-anak dari pengikut ISIS telah menjadi masalah serius bagi banyak negara yang warganya bepergian untuk bergabung dengan kelompok militan itu, dan sekarang ingin kembali ke temmpat asalnya.

Ada beberapa pertimbangan untuk mengizinkan anak-anak mereka kembali, tetapi tidak denhan ayah atau ibu mereka, yang banyak di antaranya menghadapi tuntutan pidana dan dianggap menimbulkan risiko keamanan.

Keberadaan yang Tidak Diinginkan

Direktur regional Unicef ​​untuk Timur Tengah, Geert Cappelaere, mengatakan banyak anak-anak di Suriah tidak diinginkan di kamp, dan hal tersebut ​​menambah kerentanan mereka. Sejauh ini, hanya sedikit negara pihak ketiga yang bersedia menerima para bocah tersebut.

"Kami memperkirakan bahwa hampir 3.000 anak berkebangsaan asing hidup dalam kondisi yang sangat mengerikan," katanya.

"Ini adalah anak-anak, bukan teroris. Ini adalah anak-anak yang berhak mendapatkan masa kecil mereka, layak mendapat kesempatan yang adil dalam hidup," lanjut Cappelaere.

"Kami ingin perhatian khusus diberikan kepada anak-anak di bawah usia 18 tahun, perempuan dan laki-laki. Mereka seharusnya tidak pernah dipisahkan dari keluarga mereka."

Nasib anak-anak yang lahir dari orang asing pendukung ISIS mengemuka kuat pekan lalu, menyusul kematian putra Shamima Begum, remaja Inggris yang melarikan diri ke Suriah saat berusia 15.

Kewarganegaraan Begum dicabut setelah dalam sebuah wawancara, dia mengingkari hubungannya dengan Inggris, sementara pada saat yang sama meminta untuk diizinkan kembali ke kampung halamannya.

Putranya yang berumur tiga minggu meninggal setelah berjuang untuk bernapas selama beberapa hari.

Keputusan untuk membatalkan paspor Begum banyak dikritik setelah kematian bayi itu, dan Inggris telah didesak untuk menghormati kewajiban perlindungan bagi anak-anak.

 

Simak video pilihan berikut: 

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Takut Terhadap Hukuman Kolektif

Cappelaere menegaskan kembali bahwa negara-negara yang warganya dalam tahanan di Suriah, memiliki tanggung jawab utama untuk membuat anak-anak aman.

"Mereka perlu mengambil tanggung jawab untuk melindungi anak-anak dan memulangkan mereka, jika ini demi kepentingan terbaik anak," kata Cappelaere.

"Tanpa dukungan itu, tindakan kemanusiaan berprinsip untuk anak-anak akan tetap menjadi ilusi," lanjutnya.

Sementara itu, Komite Internasional Palang Merah mengatakan pada hari Rabu, bahwa sebanyak 20.000 warga Irak dapat dipulangkan dari kamp al-Hawl ke tanah air mereka, setelah kesepakatan dicapai dengan otoritas Irak.

Fabrizio Carboni, direktur regional ICRC untuk Timur Tengah, mengatakan kepada kantor berita Reuters, bahwa pemulangan tersebut bisa terjadi dalam hitungan minggu atau bulan.

Banyak keluarga militan Irak telah berada di al-Hawl, jauh sebelum hancurnya wilayah terakhir yang dikuasai ISIS.

Sejumlah besar dari mereka tidak mau kembali, karena takut terhadap hukuman kolektif di tangan pemerintah Irak, yang telah mengatakan kepada ICRC, akan melakukan proses penyaringan keamanan ketat.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.