Sukses

Palang Merah: Tingkat Kasus Malanutrisi Akibat Kemarau di Pakistan Meningkat

Meminum air yang tercemar, katanya, bisa mengakibatkan muntah-muntah, diare dan demam yang bisa mengakibatkan kondisi malanutrisi.

Liputan6.com, Dhaka - Tingkat kasus malanutrisi dan penyakit di kawasan-kawasan yang dilanda kemarau di Pakistan luar biasa tinggi.

Hal ini disampaikan Dr. Thomas Gurtner, Direktur Federasi Internasional Perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah (IFRC) cabang Pakistan, demikian dikutip dari laman VOA Indonesia, Senin (4/3/2019).

Ia mengungkapkan, risiko yang dihadapi perempuan dan anak lebih tinggi dibanding laki-laki karena laki-laki sering bekerja di kota di mana tersedia akses yang lebih luas ke makanan dan air besih.

Menurut Gurtner, perempuan dan anak sering terpaksa meminum air dari sumber-sumber yang sudah terkontaminasi dan menyebabkan malanutrisi.

Meminum air yang tercemar, katanya, bisa mengakibatkan muntah-muntah, diare dan demam yang bisa mengakibatkan kondisi malanutrisi.

Provinsi Sindh dan Provinsi Balochistan di Pakistan selatan merasakan akibat paling buruk dari kemarau itu.

Diperkirakan lima juta orang terdampak kemarau, kata IFRC, yang menyebutkan bahwa kemarau itu diakibatkan suhu udara yang tidak biasanya tinggi dan curah hujan yang di bawah rata-rata.

Gurtner mengatakan, IFRC telah menyerahkan bantuan sekitar 315.000 dolar untuk organisasi Sabit Merah Pakistan yang bisa dipakai memenuhi kebutuhan sekitar 15.000 orang yang paling parah terdampak kemarau itu.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

85.000 Balita Yaman Tewas Akibat Gizi Buruk Akut

Masih seputar kasus gizi buruk, diperkirakan sekitar 85.000 anak di bawah usia lima tahun meninggal karena malanutrisi akut, sebagai imbas dari perang di Yaman yang telah berlangsung sejak 2014, kata badan amal terkemuka berbasis di Inggris, Save the Children.

Laporan itu melengkapi imbauan PBB yang telah memperingatkan bulan lalu bahwa hingga 14 juta orang Yaman berada di ambang kelaparan, demikian seperti dikutip dari BBC.

Save the Children mengatakan, laporan itu berlandaskan pada angka kematian untuk kasus-kasus medis malanutrisi berat akut pada balita, berdasarkan data yang dikumpulkan oleh PBB. Menurut perkiraan kasar, lembaga swadaya itu menghitung bahwa sekitar 84.700 balita mungkin telah meninggal antara April 2015 dan Oktober 2018.

Data-data yang disajikan ditujukan untuk menggalakkan pembicaraan antara berbagai pihak yang berkonflik untuk mengakhiri perang tiga tahun yang telah menyebabkan krisis kemanusiaan terburuk di dunia.

Yaman telah hancur oleh konflik itu. Pertempuran meruncing pada tahun 2015 ketika koalisi pimpinan Arab Saudi melancarkan rangkaian serangan udara terhadap gerakan pemberontak Houthi yang memaksa Presiden Abdrabbuh Mansour Hadi melarikan diri ke luar negeri.

Setidaknya 6.800 warga sipil telah tewas dan 10.700 terluka dalam perang, menurut PBB.

Pertempuran dan blokade parsial oleh koalisi juga telah menyebabkan 22 juta orang yang membutuhkan bantuan kemanusiaan, menciptakan keadaan darurat keamanan pangan terbesar di dunia, dan menyebabkan wabah kolera yang telah mempengaruhi 1,2 juta orang.

Kondisi semakin diperparah ketika hanya setengah dari fasilitas kesehatan negara yang masih berfungsi untuk menangani keluarga yang mengalami gizi buruk. Dan, banyak orang yang hidup di bawah garis kemiskinan untuk mengakses layanan kesehatan yang masih beroperasi.

Meningkatnya harga pangan dan turunnya nilai mata uang negara akibat perang saudara membuat lebih banyak keluarga berisiko mengalami kekurangan pangan dan mengalami gizi buruk.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.