Sukses

Begini Proses Munculnya Atmosfer yang Menyelimuti Bumi

Pernahkah terbesit dalam pikiran Anda tentang asal mula atmosfer Bumi?

Liputan6.com, Tokyo - Pernahkah Anda berpikir tentang asal keberadaan atmosfer yang menyelimuti Bumi? Apakah ini juga ada di planet lain yang ada di Tata Surya?

Para ilmuwan mengatakan, atmosfer Bumi sangat luas, sampai sejauh ini bahkan memengaruhi rute Stasiun Angkasa Luar Internasional atau ISS. Namun, bagaimana gas pembungkus raksasa ini terbentuk? Mengapa Bumi memiliki atmosfer?

Singkatnya, atmosfer Bumi tercipta karena adanya gaya gravitasi. Ketika Bumi terbentuk, sekitar 4,5 miliar tahun lalu, planet yang meleleh ini nyaris tidak memiliki atmosfer.

Tetapi ketika dunia mendingin, atmosfernya terbentuk. Sebagian besar berasal dari gas yang keluar dari gunung berapi, menurut Smithsonian Environmental Research Center (SERC).

Atmosfer pada zaman dahulu kala amat berbeda dengan hari ini. Dulu, atmosfer mengandung hidrogen sulfida, metana dan 10 hingga 200 kali lebih banyak karbon dioksida daripada atmosfer sekarang, menurut SERC.

"Kami yakin bahwa Bumi dahulunya punya sedikit atmosfer seperti Venus, dengan kandungan nitrogen, karbon dioksida, mungkin metana yang mendominasi," kata Jeremy Frey, seorang profesor kimia fisik di University of Southampton, Inggris.

"Kehidupan kemudian dimulai, entah bagaimana, hampir pasti berasal dari dasar laut di suatu tempat," lanjutnya, sebagaimana dikutip dari Live Science, Minggu (24/2/2019).

Setelah sekitar 3 miliar tahun, sistem fotosintesis berkembang, yang berarti bahwa organisme bersel tunggal menggunakan energi matahari untuk mengubah molekul karbon dioksida dan air menjadi gula dan gas oksigen.

"Proses ini secara dramatis meningkatkan kadar oksigen," ungkap Frey kepada Live Science. "Dan itu adalah peristiwa polusi terbesar, Anda bisa mengatakan, bahwa kehidupan pernah terjadi dalam konteks apa pun, karena perlahan-lahan mengubah planet ini."

Saat ini, atmosfer Bumi terdiri dari sekitar 80 persen nitrogen dan 20 persen oksigen. Selain itu, atmosfer juga merupakan rumah bagi argon, karbon dioksida, uap air, dan banyak gas lainnya, menurut National Center for Atmospheric Research (NCAR).

Gas-gas tersebut menguntungkan makhluk hidup yang ada di Planet Biru ini, sebab atmosfernya melindungi Bumi dari sinar matahari yang menyengat dan mengurangi suhu ekstrem, juga bertindak seperti selimut yang membungkus planet ini.

Melindungi Kehidupan dari Efek Rumah Kaca

Sementara itu, atmosfer juga mampu menghalangi efek rumah kaca. Dalam artian, energi matahari yang mencapai Bumi terhalang di atmosfer, diserap dan dilepaskan oleh gas rumah kaca.

Menurut NCAR, ada beberapa jenis gas rumah kaca, yakni karbon dioksida, uap air, metana dan dinitrogen oksida. Tanpa efek rumah kaca, suhu Bumi akan berada di bawah titik beku.

Namun, pada masa kini, gas rumah kaca sudah tidak dapat dikendalikan. Ketika manusia melepaskan lebih banyak karbon dioksida ke atmosfer, efek rumah kaca di Bumi semakin kuat. Pada gilirannya, iklim di planet ini menjadi lebih hangat.

Akan tetapi, sisi menariknya ialah tidak ada satu pun planet lain di alam semesta ini yang memiliki atmosfer seperti Bumi. Mars dan Venus memiliki atmosfer, tetapi gas yang terkandung di dalamnya tidak dapat mendukung kehidupan, karena tidak memiliki cukup oksigen.

Contoh saja atmosfer Venus, yang didominasi oleh karbon dioksida dengan awan asam sulfat. Udara di planet kedua terdekat dengan mentari ini begitu tebal dan panas, sehingga tidak ada manusia yang bisa bernapas di sana.

Menurut NASA, atmosfer karbon dioksida tebal di Venus membekap panas di dalam efek rumah kaca yang tak terkendali, sehingga menjadikannya planet terpanas di tata surya. Suhu permukaan di Venus bahkan cukup panas untuk melelehkan timbal.

"Fakta bahwa Bumi memiliki atmosfer adalah sesuatu yang sangat luar biasa, karena Bumi amat berbeda dari planet-planet lain," Frey menyebut. Misalnya, tekanan udara di Venus sekitar 90 atmosfer, setara dengan menyelam 3.000 kaki (914 meter) di bawah lautan di Bumi.

"Pesawat ruang angkasa Rusia pertama yang pernah pergi ke Venus baru merekam permukan planet ini selama beberapa detik, namun kemudian hancur lebur. Sampai sekarang, belum ada satu pun ilmuwan yang mengetahui tingkat kepanasan di Venus," pungkas Frey.

 

Saksikan video pilihan berikut ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Pemanasan Global Bisa Picu Seluruh Lautan di Muka Bumi Mendidih?

Sementara itu, suhu laut disebut oleh para ilmuwan berada pada titik tertinggi sejak pengukuran akurat dimulai pada pertengahan Abad ke-20. Lantaran adanya perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia, maka segala sesuatunya diprediksi akan kian buruk di tahun-tahun mendatang.

Lantas, bila manusia terus menciptakan gas rumah kaca yang berdampak pada atmosfer Bumi, bisakah seluruh lautan yang ada di jagat raya ini menjadi begitu panas dan mulai mendidih?

Jawabannya adalah "tidak". Untungnya, kegiatan-kegiatan merugikan yang dibuat oleh manusia itu, diklaim tidak akan pernah cukup untuk memanaskan dunia.

"Bahkan jika kita membakar semua cadangan bahan bakar fosil yang diketahui, kita tidak akan mendapatkan kehangatan itu," Zeke Hausfather, ahli iklim di Berkeley Earth (organisasi nirlaba yang menganalisis data suhu), mengatakan kepada Live Science

"Meski begitu, perlu disebutkan bahwa ada banyak dampak buruk bagi iklim yang terjadi jauh, jauh sebelum permukaan Bumi benar-benar cukup panas untuk mendidihkan air," lanjutnya, yang dikutip pada Jumat, 22 Februari 2019.

Gas rumah kaca seperti karbon dioksida dan metana meningkatkan suhu Bumi dengan menjebak energi matahari di atmosfer dan permukaan planet --energi yang akan memancar ke angkasa luar. Sekitar 93 persen dari panas tambahan ini diserap oleh permukaan laut, kata Hausfather.

Panas dengan cepat bercampur melalui air setinggi 100 meter, sebuah wilayah yang dikenal sebagai "lapisan campuran," membutuhkan waktu lebih lama untuk mencapai lebih jauh ke bawah, tambahnya.

Tetapi dalam beberapa tahun terakhir, para ilmuwan telah mengamati peningkatan suhu di samudera terdalam. Karena air lebih tebal daripada udara, ia memiliki kemampuan untuk menyerap banyak panas.

"Bagian atas samudera setinggi 2,5 meter memegang jumlah panas yang sama dengan seluruh atmosfer di atasnya," kata Hausfather.

Jadi, secara teori dimungkinkan bahwa lautan Bumi bisa menjadi cukup panas untuk mulai mendidih. Molekul air hangat menguap dari permukaan laut sepanjang waktu. Uap air itu sendiri adalah gas rumah kaca, sehingga jumlah air yang lebih besar di atmosfer akan menciptakan siklus umpan balik yang ganas, dan dunia yang lebih panas secara keseluruhan.

Hal serupa diduga terjadi di Venus sejak lama, menyebabkan lautan di planet ini mendidih. Tetapi karena jarak Bumi ke matahari lebih jauh daripada Venus, maka akan dibutuhkan lebih banyak gas rumah kaca bagi Planet Biru ini untuk mencapai titik suram itu.

Sebuah makalah yang diterbitkan pada 2013 dalam jurnal Nature Geoscience mengungkapkan bahwa, untuk mendorong efek rumah kaca yang "berlarian" ini, Bumi akan membutuhkan sejumlah karbon dioksida sekitar 10 kali lebih besar dari apa yang bisa dilepaskan dari pembakaran semua cadangan batu bara, minyak dan gas yang tersimpan di tubuhnya.

Sementara analisis ini masih tidak pasti, Hausfather berkata, secara historis, lautan di seluruh Bumi cukup tangguh untuk menghadapi iklim ekstrem. Sebagai contoh, ratusan juta tahun yang lalu, dunia kita mengalami skenario "Bumi bola salju" di mana seluruh permukaan planet ditutupi es.

Sedangkan sekitar 55 juta tahun yang lalu, suhu global rata-rata adalah 9 hingga 14 derajat Fahrenheit (5 hingga 8 derajat Celsius), lebih panas selama Paleocene-Eocene Thermal Maximum (PETM), tetapi suhu yang relatif stabil beberapa kali kembali, Hausfather menjabarkan.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.