Sukses

Kisah Sebuah Desa di Afghanistan yang Dibangun dari Deretan Amunisi Aktif

Di Afghanistan, terdapat sebuah desa yang dibangun dengan deretan amunisi aktif sebagai material bangunan. Ini kisahnya.

Liputan6.com, Kabul - Selama beberapa dekade, sebuah desa kecil di provinsi Balkh, Afghanistan utara, puluhan keluarga telah tinggal di rumah berlantai satu dan dua yang terbuat dari amunisi.

Beberapa di antaranya bahkan ada yang menjadikan roket hidup sepanjang tiga meter sebagai balok langit-langit, demikian sebagaiamana dikutip dari VOA News pada Kamis (14/2/2019).

Namun, setelah beberapa insiden ledakan, penduduk desa sekarang ingin agar pemerintah Afghanistan menyingkirkan deretan senjata aktif tersebut.

Qand Agha, pemimpin desa Qazi Abad, mengatakan kepada VOA bahwa beberapa orang telah terluka atau terbunuh akibat roket yang meledak.

"Seorang warga desa terbunuh ketika dia mencoba untuk bergerak dan menempatkan salah satu roket di atap rumahnya," kata Agha.

Sekitar 400 roket BM-21 buatan Rusia telah digunakan sebagai balok di sekitar 40 rumah. Penduduk desa berusaha merahasiakan senjata tersebut, karena mereka tidak ingin kehilangan bahan-bahan murah untuk membangun rumah mereka.

Tetapi ledakan berkala memaksa mereka untuk memberi tahu pemerintah Afghanistan, dengan harapan mendapat alternatif pengganti yang lebih aman.

Mohammad Zarif, seorang gembala setempat, mengatakan sebuah roket meledak ketika dia mengumpulkan mereka untuk komposisi bangunan rumah.

"Saya merawat ternak, dan biasa mengumpulkan roket. Suatu hari, salah satunya meledak, dan saya kehilangan salah satu mata saya," katanya.

Menjadi Perhatian Global

Sayed Mohammad Yazdanparast, juru bicara Jaringan Advokasi untuk Disabilitas di Balkh, mengatakan ada banyak tempat tinggal seperti itu di provinsi terkait.

"Orang-orang ini miskin, dan takut kehilangan rumah mereka, sehingga terpaksa tidak melaporkan penggunaan roket-roket itu kepada pihak berwenang," kata Yazdanparast

Baru-baru ini, sebuah tim di Danish Demining Group, sebuah unit kerja kemanusiaan terhadap isu ranjau di Dewan Pengungsi Denmark, mengunjungi desa terkait dan berjanji memindahkan serta menetralkan roket.

Mereka juga berjanji untuk membangun ulang rumah-rumah di salah satu kawasan termiskin di Afghanistan itu dengan material yang aman.

"Penggunaan amunisi sagatlah mengancam jiwa bagi penduduk desa setempat, terutama bagi anak-anak yang tinggal di sana," kata Abdul Hakim Noorzai, kepala operasi DDG.

Menghapus semua roket dari 40 rumah bisa memakan waktu hingga dua bulan, lapor DDG.

 

Simak video pilihan berikut: 

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Sisa-Sisa Perang

Afghanistan adalah salah satu negara yang paling banyak menyimoan jejak amunisi sisa perang 

Sejak 1979, ketika Uni Soviet menyerbu negara itu, sekitar 640.000 ranjau darat telah "tenggelam di banyak lahan" di seluruh negeri, lapor HALO Trust, sebuah organisasi pembersihan ranjau internasional.

Organisasi penghapus ranjau lokal dan internasional, termasuk Halo Trust, telah bekerja selama beberapa dekade untuk membersihkan amunisi yang tidak meledak di Afghanistan.

Mereka telah membersihkan sejumlah besar wilayah di negara itu, tetapi sisa-sisa perang, termasuk persenjataan yang tidak meledak, terus membunuh dan melukai orang-orang Afghanistan.

Meskipun beberapa bahan peledak yang ditemukan di Afghanistan berasal dari invasi Soviet, sebagian yang lain berasal dari perang baru-baru ini, termasuk perang saudara tahun 1990-an dan pemberontakan Taliban yang sedang berlangsung.

Sementara itu, Taliban sangat bergantung pada alat peledak improvisasi untuk melakukan pemboman pinggir jalan di beberapa bagian negara itu.

Setiap tahun, persenjataan yang tidak meledak membunuh ratusan warga sipil, termasuk anak-anak. Korban sering kehilangan anggota badan atau penglihatan atau menderita cedera yang mengubah hidup lainnya.

Pada 2017, Misi Bantuan AS Afghanistan mencatat 639 korban sipil (164 tewas dan 475 luka-luka) karena ledakan; 81 persen dari korban adalah anak-anak.

Angka-angka di atas tidak termasuk korban yang disebabkan oleh serangan teror oleh Taliban atau ISIS.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.