Sukses

RI Kecam Vanuatu Menyusupkan Figur Separatis Papua ke Pertemuan PBB

Pemerintah Indonesia mengecam keras langkah delegasi Vanuatu yang 'menyusupkan' figur separatis Papua ke dalam pertemuan Dewan HAM PBB di Jenewa.

Liputan6.com, Jenewa - Pemerintah Indonesia, pada 29 Januari 2019, mengecam keras langkah delegasi Vanuatu yang 'menyusupkan' figur separatis Papua ke dalam pertemuan Dewan HAM PBB di Jenewa pada 25 Januari pekan lalu.

Sebelumnya muncul pemberitaan di beberapa media asing bahwa Ketua United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), Benny Wenda telah menyerahkan petisi dengan 1,8 juta tanda tangan, yang berisi permintaan referendum kemerdekaan kepada Komisioner Tinggi Badan HAM PBB, Michelle Bachelet pada Jumat 25 Februari 2019.

Dikabarkan bahwa Benny juga berbicara dengan Bachelet "terkait situasi di Nduga" --mereferensi kasus penembakan kelompok bersenjata terhadap puluhan pekerja PT Istaka Karya pada Desember 2018 silam.

Merespons kabar tersebut, Perwakilan Tetap RI (PTRI) untuk PBB di Jenewa menilai bahwa langkah Vanuatu yang menyusupkan Benny ke Dewan HAM merupakan pelanggaran terhadap Piagam PBB.

"Indonesia mengecam keras tindakan Vanuatu yang dengan sengaja telah mengelabui KTHAM dengan melakukan langkah manipulatif melalui penyusupan Benny Wenda ke dalam delegasi Vanuatu," kata PTRI untuk PBB di Jenewa dalam pernyataan tertulis pada 29 Januari, yang dimuat Liputan6.com pada Rabu (30/1/2019).

"Menurut keterangan Komisioner Tinggi HAM PBB (KTHAM), tanpa sepengetahuan kantor KTHAM, Benny Wenda dimasukkan dalam delegasi Vanuatu yang melakukan kunjungan kehormatan ke kantor KTHAM pada hari Jumat, 25 Januari 2019."

Kunjungan kehormatan itu dilakukan dalam rangka pembahasan UPR (Universal Periodic Review) Vanuatu di Dewan HAM.

Tapi, "nama Benny Wenda tidak masuk dalam daftar resmi delegasi Vanuatu untuk UPR. Kantor KTHAM bahkan menyatakan pihaknya sangat terkejut mengingat pertemuan semata-mata dimaksudkan untuk membahas UPR Vanuatu," lanjut pernyataan dari PTRI untuk PBB di Jenewa.

"Tindakan Vanuatu tersebut merupakan tindakan yang sangat tidak terpuji dan sangat tidak sesuai dengan prinsip-prinsip fundamental Piagam PBB," tambah PTRI.

"Indonesia tidak akan pernah mundur untuk membela dan mempertahankan kedaulatan wilayah NKRI," lanjutnya.

Bukan Kali Pertama

Ini bukan kali pertama Ketua ULMWP Benny Wenda mengklaim telah mengirim petisi seputar Papua ke PBB. Ia pernah melakukan hal serupa pada 2017 silam, mengirim petisi referendum kepada Komite Khusus Dekolonisasi PBB (C-24).

Namun, komite membantah pernah menerima petisi dari ULMWP.

"Saya maupun Sekretariat Komite C-24 tidak pernah menerima secara formal maupun informal petisi atau siapapun mengenai Papua seperti yang diberitakan dalam koran Guardian," kata Ketua Komite Rafael Ramirez dalam keterangan tertulis pada Jumat 29 September 2017, mereferensi surat kabar Inggris, The Guardian, yang merilis pemberitaan pertama tersebut dengan mengutip pernyataan Benny.

Ini juga bukan kali pertama Vanuatu menyuarakan seputar isu Papua di PBB. Salah satunya pada 2016 di Majelis Umum, ketika Vanuatu dan lima negara Pasifik melayangkan tuduhan pada Indonesia atas dugaan 'pelanggaran HAM' di Bumi Cendrawasih.

Kritik paling keras atas sikap Vanuatu datang dari Wakil Presiden RI Jusuf Kalla pada September 2018 di debat Sidang Majelis Umum Ke-73 PBB di Markas Besar PBB New York. Wapres mengatakan bahwa Port Vila telah "melakukan tindakan permusuhan" dan "melanggar prinsip-prinsip PBB" atas sikap mereka terhadap isu Papua di PBB.

 

Simak video pilihan berikut:

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Laporan Media Asing soal Petisi Pekan Lalu

Reuters, mengutip Ketua ULMWP Benny Wenda, melaporkan bahwa pria itu mengklaim telah menyerahkan petisi dengan 1,8 juta tanda tangan, yang berisi permintaan referendum kemerdekaan kepada Komisioner Badan HAM PBB, Michelle Bachelet pada Jumat 25 Februari 2019.

Benny juga mengklaim bahwa dirinya berharap PBB dapat mengirim misi tim pencari fakta ke Papua untuk memperkuat dugaan pelanggaran hak asasi manusia di sana.

"Hari ini adalah hari bersejarah bagi saya dan rakyat saya," kata Wenda kepada Reuters, setelah mengaku bertemu dengan Dewan HAM PBB di Jenewa, demikian seperti dikutip dari Channel News Asia, Senin (28/1/2019).

Benny menambahkan bahwa orang Papua Barat tidak memiliki kebebasan berbicara atau berkumpul, dan satu-satunya cara agar mereka didengar adalah melalui petisi itu.

Ketua ULMWP itu juga mengklaim bahwa ia telah berbicara dengan Bachelet "terkait situasi di Nduga" --mereferensi kasus penembakan kelompok bersenjata terhadap puluhan pekerja PT Istaka Karya-- dan melontarkan tuduhan bahwa TNI punya andil dalam insiden itu.

Sementara itu, Kepala Penerangan Kodam (Kapendam) Cendrawasih, Kolonel (INF) Muhammad Aidi menolak tuduhan Benny.

"(Dia) tidak punya bukti atas tuduhannya. Organisasi Papua Merdeka (OPM)-lah yang membunuhnya," kata Kolonel Aidi pada 27 Januari 2019 seperti dikutip dari Channel News Asia.

Bulan lalu, sayap militan OPM, Tentara Pembebasan Papua Barat, menyatakan bertanggungjawab atas pembantaian yang menewaskan 31 pekerja Istaka Karya pada Desember 2018.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.