Sukses

Paus Fransiskus Takut Krisis Venezuela jadi Pertumpahan Darah

Pemimpin Gereja Katolik Dunia, Paus Fransiskus, mengaku khawatir akan terjadi pertumpahan darah di Venezuela.

Liputan6.com, Panama City - Pemimpin Gereja Katolik Dunia, Paus Fransiskus, mengaku khawatir akan terjadi pertumpahan darah di Venezuela ketika negara itu bersiap menghadapi protes baru selama sepekan terhadap presidennya, Nicolas Maduro.

Berbicara di pesawat kepausan ketika dia kembali dari kunjungan lima hari ke Panama, Paus Fransiskus mengatakan kepada wartawan: "Pada saat ini, saya mendukung semua orang Venezuela karena mereka adalah orang yang menderita."

"Saya menderita atas apa yang terjadi di Venezuela," tambahnya. "Apa yang membuatku takut? Pertumpahan darah," demikian seperti dikutip dari The Guardian, Selasa (29/1/2019).

Paus Fransiskus menolak untuk memihak Juan Guaido, pemimpin oposisi yang pekan lalu menyatakan dirinya sebagai 'presiden interim' Venezuela yang sah.

Ia juga tak mendukung Maduro, yang telah memerintah sebagai presiden Venezuela sejak terpilih setelah kematian Hugo Chavez 2013.

Rusia dan China telah mendukung Maduro, sementara AS, Kanada dan lebih dari selusin negara Amerika Latin mengatakan mereka mendukung Guaido.

Negara-negara Uni Eropa, termasuk Inggris, Prancis, Jerman dan Spanyol pada Sabtu 26 Januari 2019 mengultimatum Maduro untuk mengadakan pemilihan baru dalam delapan hari mendatang. Ancaman itu muncul setelah Eropa menuduh Maduro terpilih untuk kedua kali pada Mei 2018 lewat sebuah pemilu curang.

"Jika saya berkata, 'dengarkan negara-negara ini' atau 'dengarkan negara-negara itu' saya akan menempatkan diri saya dalam suatu peran yang tidak saya ketahui, itu akan menjadi kelalaian pastoral di pihak saya dan saya akan menyebabkan kerusakan," kata Paus Fransiskus.

Dalam sebuah misa di Panama City yang dihadiri oleh sekitar 700.000 orang pada Minggu 27 Januari, Paus Fransiskus mengatakan dia "meminta Tuhan untuk mencari dan menemukan solusi yang adil dan damai untuk mengatasi krisis yang menghormati hak asasi manusia dan secara eksklusif mencari kebaikan semua orang."

 

Simak video pilihan berikut:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Kekhawatiran Perang Saudara

Paus Fransiskus tidak sendirian dalam ketakutan akan kekerasan di negara Amerika Selatan yang kaya minyak tetapi hancur secara ekonomi.

"Saya khawatir tentang sebuah negara yang dapat terpecah-pecah di bawah pemimpin yang berbeda dan panglima perang dan jenderal dan pedagang gelap dan kelompok gerilya ... Venezuela menjadi seperti permadani dari pusat-pusat kekuatan yang berbeda," mantan menteri perdagangan Panama, Moises Naím, mengatakan kepada The Guardian pekan lalu.

Eric Farnsworth, mantan diplomat AS dan wakil presiden Dewan Amerika, mengatakan: "Saya pikir ada potensi kekacauan aktual di lapangan."

"Hal-hal di lapangan sangat buruk. Warga telah pergi. Tapi yang belum kita lihat adalah gangguan otoritas sipil ... Saya pikir Anda bisa membuat pasukan keamanan saling bertarung. Anda dapat melakukan protes jalanan lebih lanjut dan saya pikir kita harus sangat berhati-hati terhadap Caracas."

"Saya tidak mau berkomitmen pada tahap ini bahwa (perang saudara) adalah tujuan Venezuela tetapi saya pikir itu adalah salah satu skenario yang mungkin," tambah Farnsworth.

Namun, dalam sebuah wawancara dengan Guardian, Guaido menepis ketakutan itu.

"Saya kira kita tidak akan mencapai titik itu. Idenya adalah untuk meningkatkan tekanan," katanya.

Pada Senin 28 Januari 2019, para aktivis mengatakan setidaknya 44 orang telah terbunuh oleh pasukan keamanan sejak pergolakan politik terbaru Venezuela yang dimulai sepekan yang lalu.

"Apa yang kita saksikan hari ini di Venezuela dalam hal hak asasi manusia adalah horor," kata Ana Leonor Acosta, seorang pengacara hak asasi manusia, mengklaim "pembantaian" sedang berlangsung.

Alfredo Romero, seorang pembela hak asasi manusia terkemuka yang mengelola kelompok Foro Penal, mengatakan 850 pemrotes telah ditahan sejak 21 Januari. Romero mengatakan mereka termasuk 77 anak di bawah umur, beberapa berusia 12 tahun.

Berbicara kepada anggota pasukan keamanan Venezuela pada konferensi pers, anggota parlemen oposisi Delsa Solorzano mengatakan pesannya adalah: "Hentikan penindasan.

"Bergabunglah dengan demokrasi, letakkan diri Anda di sisi kanan sejarah," tambah Solorzano.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.