Sukses

Dialog Damai AS-Taliban Capai Kemajuan, tapi...

Perwakilan AS dan Taliban mengatakan telah mencapai kemajuan dalam perundingan perdamaian Afghanistan yang mereka lakukan selama enam hari di Doha, Qatar, pekan lalu. Tapi...

Liputan6.com, Doha - Perwakilan Amerika Serikat dan Taliban mengatakan telah mencapai kemajuan dalam perundingan perdamaian Afghanistan yang mereka lakukan selama enam hari di Doha, Qatar, pada pekan lalu.

Akan tetapi, pertemuan itu tidak diiringi dengan pembuatan kesepakatan oleh kedua pihak, meninggalkan kesan bahwa dialog di Doha hanya berjalan di tempat.

Kendati demikian, Utusan Khusus AS untuk Afghanistan, Zalmay Khalilizad mengatakan pada Sabtu, 26 Januari 2019 bahwa pembicaraan dengan Taliban telah "lebih produktif daripada sebelumnya," dan bahwa "kemajuan signifikan pada masalah-masalah vital" telah dibuat, demikian seperti dikutip dari CNN, Senin (28/1/2019).

Dalam serangkaian pesan yang di-posting ke Twitter, Khalilzad juga mengatakan dia akan terbang ke Afghanistan untuk berkonsultasi dengan pemerintahan Presiden Ashraf Ghani dan untuk "membangun momentum serta melanjutkan pembicaraan segera."

Khalilzad memperingatkan bahwa masih ada "sejumlah masalah yang tersisa untuk diselesaikan."

"Tidak ada yang disepakati sampai semuanya disepakati, dan 'semuanya' harus mencakup dialog intra-Afghanistan dan gencatan senjata komprehensif," kata Khalilzad, mereferensi agar pemerintahan Presiden Ghani harus dilibatkan dalam berbagai kesepakatan yang akan dibuat.

Taliban telah sejak lama menyatakan enggan berdialog dengan pemerintahan Ghani.

Para negosiator Amerika menyadari sekat di antara kedua belah pihak, dan oleh karenanya, mereka dikabarkan tengah mengupayakan agar AS menjadi penengah terkait prospek pertemuan Taliban-Kabul yang vital--kata pejabat Amerika anonim yang memahami jalannya perundingan.

Negosiasi yang diupayakan AS juga mencakup gencatan senjata dan penarikan pasukan Amerika dari Afghanistan sebagai prasyarat bagi Taliban untuk melanjutkan dialog ke tahap selanjutnya, tambah pejabat itu.

Namun, sumber itu juga menambahkan bahwa negosiator AS turut mempertimbangkan kemungkinan dampak buruk dari prospek penarikan pasukan Amerika dari Afghanistan.

Satu kekhawatiran, kata sumber itu, adalah bahwa jika AS menyetujui gencatan dan menarik pasukan tanpa mendulang kesepakatan berarti dari Taliban, pemerintah Afghanistan akan jatuh dan berpotensi memicu al-Qaeda kembali menjamur.

Kehadiran al-Qaeda yang dipimpin oleh Osama bin Laden medio 2001 pascateror 9/11 menjadi salah satu alasan bagi AS untuk menginvasi negara itu--membuat mereka tetap bertahan di sana selama hampir dua dekade dan menjadikannya perang terpanjang yang pernah dilakukan oleh militer Amerika.

Sementara itu, pada Sabtu, 26 Januari 2019, juru bicara Taliban Zabihullah Mujahid mengatakan, pembicaraan di Doha "melihat kemajuan" pada masalah-masalah vital, tetapi, bahwa "sampai masalah penarikan pasukan asing dari Afghanistan disepakati, kemajuan dalam masalah lain akan tidak mungkin."

Juru bicara Taliban itu juga mengatakan belum ada kesepakatan gencatan senjata dengan AS maupun Afghanistan.

Di sisi lain, Menteri Luar Negeri AS, Mike Pompeo, menyebut berita itu "menggembirakan," menulis di Twitter bahwa Amerika "serius untuk mengejar perdamaian, mencegah #Afghanistan dari terus menjadi ruang bagi terorisme internasional dan membawa pasukan pulang."

Bulan lalu, militer AS diperintahkan untuk mulai merencanakan untuk menarik sekitar setengah dari pasukannya di Afghanistan, menurut seorang pejabat pertahanan AS dengan pengetahuan langsung tentang masalah tersebut.

Amerika memiliki sekitar 14.000 tentara di Afghanistan, yang sebagian besar hadir sebagai bagian dari misi besar yang dipimpin NATO untuk melatih, memberi nasihat dan membantu militer dan pasukan keamanan Afghanistan.

 

Simak video pilihan berikut:

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Perang Terpanjang Amerika

Konflik di Afghanistan, yang dikenal sebagai perang terpanjang Amerika, telah menelan korban lebih dari 2.400 nyawa putra Negeri Paman Sam, menelan miliaran dolar AS dan telah membentang hingga hampir dua dekade.

Sementara angka korban untuk militer dan polisi Afghanistan telah diklasifikasikan sejak 2017, setidaknya 62.000 nyawa personel militer dan polisi Afghanistan telah hilang, menurut New York Times.

Jumlah warga sipil--kebanyakan wanita dan anak-anak--terbunuh atau terluka oleh serangan udara di Afghanistan telah meningkat 39 persen, menurut angka PBB yang dirilis Oktober lalu.

Dan dalam tiga tahun terakhir, Taliban telah memperkuat cengkeraman mereka menurut laporan terbaru yang dikeluarkan oleh ombudsman pemerintah AS.

Dalam laporan triwulanan untuk Kongres AS, Inspektur Jenderal Khusus untuk Rekonstruksi Afghanistan (SIGAR) mengatakan bahwa pemerintah Afghanistan saat ini mengendalikan atau memengaruhi hanya 55,5 persen dari distrik negara itu, menandai tingkat terendah yang dicatat sejak SIGAR mulai melacak kontrol distrik pada November 2015.

Pada November 2015, pemerintah Afghanistan menguasai 72 persen distrik di negara ini, tetapi sekarang hanya mengendalikan 56 persen dari distrik-distrik tersebut. Pengaruh atau kontrol pemberontak telah meningkat menjadi 12,5 persen dari semula 7 persen (sejak SIGAR memulai penghitungan) dan sekitar sepertiga dari Afghanistan adalah daerah "diperebutkan".

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.