Sukses

Survei: Warga AS Salahkan Donald Trump atas Government Shutdown Terlama dalam Sejarah

Liputan6.com, Washington DC - Dengan selisih persentase yang jauh, warga Amerika Serikat menyalahkan Presiden Donald Trump atas penutupan pemerintah atau government shutdown terlama dalam sejarah AS, menurut sebuah jajak pendapat terbaru Washington Post-ABC News yang diterbitkan Minggu 13 Januari 2019.

Penutupan pemerintahan mempengaruhi sekitar seperempat dari lembaga pemerintah AS dan sekitar 800.000 pekerja federal, di mana mereka belum menerima gaji atau terpaksa dirumahkan sebagai imbas atas shutdown yang bermula sejak 22 Desember 2018 hingga saat ini.

Shutdown yang sekarang memasuki pekan keempat, adalah hasil dari kebuntuan antara presiden dan fraksi Partai Demokrat di Kongres tentang pendanaan untuk dinding perbatasan, yang dijanjikan Trump selama kampanye Pilpres 2016.

Jajak pendapat Washington Post-ABC dilakukan terhadap 788 responden warga AS yang dilakukan pada 8 - 11 Januari 2019 dengan "margin of error 4,5 persen."

Survei itu mengawali jajak dengan mengajukan pertanyan inti: "Menurut Anda, siapa yang paling bertanggung jawab atas situasi ini?"

Hasilnya, 53 persen orang AS mengatakan kepada jajak pendapat bahwa mereka menyalahkan Presiden Trump dan fraksi Partai Republik di Kongres AS, demikian seperti dikutip dari USA Today, Senin (14/1/2019).

Sementara itu, 29 persen responden menyalahkan fraksi Partai Demokrat di Kongres dan 13 persen responden mengatakan masing-masing pihak sama-sama bertanggung jawab. Sedangkan empat persen sisanya memilih tidak menjawab.

Survei juga menggarisbawahi perbandingan persentase responden yang mengidentifikasikan diri sebagai simpatisan dari masing-masing partai.

Menurut survei, 85 persen simpatisan anggota Demokrat menyalahkan Presiden Trump dan Republik atas shutdown saat ini, dengan sisanya menyalahkan partai mereka sendiri.

Sedangkan, ada 68 persen responden simpatisan Republik yang menyalahkan Partai Demokrat.

Di antara responden yang mengidentifikasikan diri sebagai simpatisan Republik, 15 persen menyalahkan Trump dan partai mereka sendiri dan 15 persen lainnya menyalahkan kedua belah partai secara setara.

Sementara responden yang mengidentifikasikan diri sebagai "Independen" atau non-simpatisan Demokrat maupun Republik, menyalahkan Trump dan Republik ketimbang Partai Demokrat dengan selisih persentase 30 persen.

Responden pada dasarnya terpecah hampir 50:50 pada pertanyaan tentang "apakah Demokrat harus mencapai kompromi yang termasuk menyetujui pendanaan tembok perbatasan Trump untuk menyetop shutdown?"

Terkait hal itu, survei menunjukkan bahwa 48 persen mengatakan akan terus menolak permintaan presiden, bahkan jika itu memperpanjang shutdown. Sementara 45 persen lainnya mengatakan mereka harus berkompromi untuk mengakhirinya.

Selain itu, survei juga bertanya soal tingkat persetujuan responden soal rencana pembangunan tembok di perbatasan. Sekitar 54 persen responden mengatakan menentangnya, sementara 42 persen mendukung.

Di antara mereka yang mendukung tembok itu, 52 persen mengatakan presiden harus terus menuntut dana bahkan jika itu memperpanjang penutupan. Empat puluh satu persen menyukai kompromi.

Meskipun 82 persen responden mengatakan penutupan itu tidak mempengaruhi mereka secara pribadi, 38 persen lainnya mengatakan penutupan itu akan menjadi "krisis" jika terus berlanjut dan 41 persen lainnya mengatakan itu akan menjadi "masalah serius tetapi bukan krisis". Sedangkan 18 persen responden mengatakan penutupan yang sedang berlangsung "tidak akan menjadi masalah serius".

Di sisi lain, pada Sabtu 12 Januari 2019, Presiden Donald Trump tetap berprinsip teguh atas keputusannya menetapkan penutupan pemerintahan, dengan menjelaskan bahwa ia --ketimbang Partai Demokrat-- justru mengantongi hati publik atas government shutdown dan upayanya untuk mendapatkan pendanaan dari Kongres atas pembangunan tembok di perbatasan.

"Saya siap, mau, dan bisa menyelesaikan negosiasi (perihl shutdown dan tembok). Tapi mereka tidak," merujuk 'mereka' pada Partai Demokrat.

"Mereka pikir tengah berpolitik, tapi saya pikir itu adalah cara berpolitik yang buruk. Negara ini ingin memiliki perlindungan di perbatasan."

Sementara itu, menurut S&P Global Ratings, shutdown telah membebani ekonomi AS senilai US$ 3,6 miliar. Dan jika shutdown terus berlangsung untuk dua pekan lagi, nominal itu akan melampaui total anggaran yang diajukan Donald Trump untuk membangun temboknya di perbatasan yakni sebesar US$ 5 miliar.

 

Simak video pilihan berikut:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Shutdown Terlama dalam Sejarah AS

Penutupan pemerintahan Amerika Serikat atau government shutdown baru-baru ini menjadi yang terlama dalam sejarah Negeri Paman Sam.

Pada Minggu 13 Januari 2019 waktu lokal, government shutdown telah memasuki hari ke-23, melampaui rekor sebelumnya pada era-Presiden Bill Clinton yang mencapai 21 hari.

Anggota Kongres AS telah mendesak Presiden Donald Trump untuk mencabut keputusan government shutdown, tapi, ia tak tergerak untuk melakukannya.

Keinginan Trump agar House of Representatives (lower-chamber Kongres) --yang dikuasai fraksi Partai Demokrat yang beroposisi-- menyetujui anggaran pembangunan tembok di perbatasan AS - Meksiko belum dikabulkan, maka, ia pun tak mau membalas para legislator dengan memenuhi tuntutan mereka.

Ego Trump mengalahkan keprihatinan yang dirasakan oleh sekitar 800.000 pekerja federal yang terpaksa dirumahkan atau bekerja tanpa upah sejak Desember 2018, dengan beberapa mengalami kesulitan finansial yang meningkat.

Trump menambahkan: "Kami akan tutup untuk waktu yang lama kecuali Partai Demokrat kembali dari 'liburan' mereka dan kembali bekerja. Saya di Gedung Putih siap menandatangani!" ujarnya mendesak Partai Demokrat di House of Representatives mengajukan tawaran negosiasi.

Namun Trump telah berulang kali berjanji untuk menolak negosiasi rancangan undang-undang yang awalnya didukung oleh kedua belah pihak untuk membuka kembali pemerintah, tanpa dana untuk temboknya.

Juru bicara pemimpin fraksi Republik di Senat AS, Mitch McConnell telah menjelaskan bahwa Senat tidak akan menyetujui RUU itu jika Presiden Donald Trump tidak mendukungnya. Namun, McConnell sendiri masih bungkam terhadap situasi shutdown --atau dinilai berlindung untuk menghindari sorotan yang selama ini menyasar kepada sang Presiden.

Tapi, beberapa anggota Partai Republik yang berhaluan moderat tampaknya mulai goyah dengan shutdown yang berlarut-larut --sesuatu hal yang kemudian ditanggapi sinis oleh politisi Partai Demokrat di Senat AS.

Dalam sebuah pernyataan pada hari Sabtu, Senator AS fraksi Partai Demokrat dari Negara Bagian Connecticut, Chris Murphy mengatakan "ini sudah menjadi penutupan paling bodoh yang pernah ada".

"Satu-satunya alasan shutdown adalah karena Presiden Trump menginginkannya seperti itu," katanya. "Mari kita menjadi sangat jelas tentang bagaimana kita sampai di sini. Kembali pada bulan Desember 2018, Gedung Putih mendukung kesepakatan bipartisan (Demokrat-Republik) yang disetujui Senat dengan suara bulat --tapi kemudian Partai Republik berubah pikiran."

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.