Sukses

Kisah Wanita Arab Saudi Cari Suaka ke Australia karena Takut Dibunuh Keluarga

Seorang perempuan Arab Saudi ingin mencari suaka ke Australia usai mengaku dirinya hendak dibunuh keluarganya.

Liputan6.com, Bangkok - Seorang perempuan Arab Saudi ingin mencari suaka ke Australia usai mengaku hendak dibunuh keluarganya. Tapi, upaya Rahaf Mohammed al-Qunun tersebut harus terhenti di tengah jalan --tepatnya di Bangkok, Thailand.

Otoritas Bangkok --kota transit sebelum ia melanjutkan penerbangan ke Negeri Kanguru-- menghentikan langkah Qunun pada Minggu 6 Januari 2019. Aparat kemudian memutuskan pada 7 Januari bahwa mereka akan mendeportasi perempuan itu, demikian seperti dikutip dari Channel News Asia, Senin (7/1/2019).

Sebelumnya, Rahaf Mohammed al-Qunun mengatakan bahwa dia melarikan diri dari keluarganya saat bepergian di Kuwait beberapa waktu lalu karena mereka melakukan pelecehan fisik dan psikologis terhadapnya.

Wanita berusia 18 tahun itu mengatakan bahwa dia berencana untuk pergi ke Australia dan mencari suaka di sana, dan khawatir dia akan dibunuh jika dia dipulangkan oleh petugas imigrasi Thailand yang menghentikannya saat transit pada hari Minggu 6 Januari.

Kepala imigrasi Thailand, Surachate Hakparn mengatakan bahwa Qunun saat ini "menunggu keberangkatan, petugas imigrasi kami dan pejabat kedutaan Arab Saudi."

"Dia membeli tiketnya sendiri kemarin, dia sedang menunggu untuk naik (penerbangan ke) Arab Saudi," katanya tentang penerbangan Kuwait Airways ke Kuwait yang dijadwalkan berangkat pada pukul 04.15 GMT 7 Januari 2019.

Ditanya apakah perempuan itu hendak mencari suaka, Hakparn berkata, "kita tidak tahu tetapi jika ada yang ingin mencari suaka, mereka harus menunggu negara-negara itu untuk menjawab".

Seorang pejabat senior imigrasi Thailand mengatakan pada hari Minggu bahwa Qunun ditolak masuk Thailand karena ia tidak memiliki "dokumen lebih lanjut seperti tiket pulang atau uang", dan Thailand telah menghubungi "kedutaan Arab Saudi untuk berkoordinasi".

Pengakuan yang Berbeda

Kendati demikian, Rahaf Mohammed al-Qunun menyampaikan pengakuan berbeda.

Ia menjelaskan bahwa dirinya dihentikan oleh pejabat Arab Saudi dan Kuwait ketika dia tiba di bandara Suvarnabhumi di ibu kota Thailand dan dokumen perjalanannya diambil secara paksa darinya, sebuah klaim yang didukung oleh Human Rights Watch.

"Saya meminta .... pemerintah Thailand ... untuk menghentikan deportasi saya ke Kuwait," katanya di Twitter. "Saya meminta polisi di Thailand untuk memulai proses suaka saya (ke Australia)."

Sesaat sebelum jadwal keberangkatan, Qunun memposting pembelaan bagi orang-orang di "daerah transit di Bangkok untuk memprotes mendeportasi saya".

"Tolong, aku butuh kalian semua," tulisnya. "Aku berteriak minta tolong kemanusiaan."

Jika dikirim kembali, dia mengatakan dia kemungkinan akan dipenjara, dan "yakin 100 persen" keluarganya akan membunuhnya, katanya.

 

Simak video pilihan berikut:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Laporan Human Rights Watch

Phil Robertson dari Human Rights Watch mengatakan Qunun "menghadapi bahaya besar jika dia dipaksa kembali ke Arab Saudi", dan bahwa Thailand harus mengizinkannya untuk menemui Komisaris Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR) dan mengajukan permohonan suaka.

"Mengingat rekam jejak panjang Arab Saudi dalam mencari cara lain dalam apa yang disebut insiden kekerasan kehormatan, kekhawatirannya bahwa dia bisa dibunuh jika kembali," katanya.

UNHCR mengatakan bahwa sesuai dengan prinsip non-refoulement, pencari suaka tidak dapat dikembalikan ke negara asal mereka jika nyawa mereka dalam ancaman.

"Badan Pengungsi PBB telah mengikuti perkembangan dari dekat dan telah berusaha mencari akses dari pemerintah Thailand untuk bertemu dengan Rahaf Mohammed Alqunun, untuk menilai kebutuhannya akan perlindungan internasional," katanya dalam sebuah pernyataan Senin 7 Januari 2019.

Kerajaan Arab Saudi yang berpaham ultra-konservatif telah lama dikritik karena memaksakan beberapa pembatasan terberat di dunia pada perempuan.

Itu termasuk sistem perwalian yang memungkinkan pria untuk menjalankan wewenangnya untuk membuat keputusan atas nama kerabat perempuan mereka.

Selain menghadapi hukuman karena kejahatan "moral", perempuan juga bisa menjadi sasaran "pembunuhan demi kehormatan" di tangan keluarga mereka, kata para aktivis.

Abdulilah al-Shouaibi, kuasa hukum di kedutaan Saudi di Bangkok, mengakui dalam sebuah wawancara dengan saluran TV milik Saudi, Rotana Khalijial bahwa ayah wanita itu telah menghubungi misi diplomatik untuk "bantuan" untuk membawanya kembali.

Tetapi dia membantah bahwa paspornya telah disita dan bahwa petugas kedutaan hadir di dalam bandara.

Perempuan Saudi lainnya, Dina Ali Lasloom, pernah dihentikan saat transit di Filipina pada April 2017 ketika dia berusaha untuk melarikan diri dari keluarganya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.