Sukses

HEADLINE: Ribuan Orang Tewas dan Kelaparan, Dunia Tak Boleh Abaikan Yaman

Sudah tiga tahun Yaman dilanda perang saudara yang melibatkan negara-negara besar, Arab Saudi hingga AS. Konflik seakan jadi vonis mati bagi anak-anak di sana.

Liputan6.com, Sanaa - Sudah tiga tahun krisis kemanusiaan melanda Yaman. Lebih dari 10.000 orang tewas dalam konflik, sementara kematian membayangi jutaan manusia lain akibat kelaparan dan wabah kolera yang menyebar liar.

Kelaparan massal yang terjadi di Yaman bukan lantaran gagal panen atau bencana alam.

Meski masuk dalam daftar negara termiskin di Jazirah Arab, Yaman punya tanah relatif subur, yang menghasilkan biji-bijian termasuk sorgum, sayuran, buah-buahan, kacang-kacangan, kopi, kapas, hingga khat (qat) yang bisa bikin teler mereka yang mengonsumsinya. Sementara, sektor peternakan menghasilkan produk susu, ikan, ternak (domba, kambing, sapi, unta), serta unggas.

Penduduk di negara itu mati perlahan akibat malapetaka yang dibuat oleh manusia: pertempuran, blokade, dan sanksi yang dikenakan pada penduduk sipil oleh pihak-pihak yang bertikai dalam perang saudara antara pemberontak Houthi melawan loyalis pemerintah yang didukung koalisi Arab Saudi. 

Perang, yang menghalangi masuknya bantuan pangan yang sangat dibutuhkan warga yang terdampak konflik, memicu kelaparan yang berdampak pada 17 juta manusia.

Kurangnya air bersih, yang dipicu air tanah yang terkuras serta kerusakan infrastruktur, mengarah pada penyebaran wabah kolera yang sejauh ini telah merenggut 2.000 nyawa di 21 dari 22 provinsi di Yaman. Sementara, lebih dari 2 juta orang juga terpaksa mengungsi. 

Ibarat ajal tinggal sejengkal bagi ribuan warga sipil. Mereka terjebak di tengah serangan udara, bombardir mortar, dan ranjau darat yang segera meledak saat diinjak. 

Amal Hussein adalah salah satu korban konflik berkepanjangan di Yaman. Tubuh bocah 7 tahun itu tinggal tulang dibalut kulit. 

Fotonya, dengan kedua tangan di dada dan tatapan yang kosong, menjadi simbol konflik berkepanjangan di Yaman. Gambar tersebut diambil jurnalis Tyler Hicks di klinik UNICEF pada 18 Oktober 2018 lalu. Kala itu, Amal dalam kondisi kesakitan. Ia menderita malnutrisi akut. Kurang gizi parah.

Setelah mendapat perawatan, bocah itu kembali ke rumah. Delapan hari kemudian, ia meninggal dunia. 

"Amal selalu tersenyum. Kini, saya khawatir dengan nasib anak-anak kami yang lain," kata sang ibu, Mariam Ali seperti dikutip dari CNN.com.

Setelah foto Amal dalam kondisi menyedihkan dipublikasikan oleh The New York Times, di tengah kehebohan internasional atas pembunuhan brutal terhadap wartawan Jamal Khashoggi di Konsulat Arab Saudi di Istanbul, Menteri Pertahanan AS Jim Mattis dan Menlu Mike Pompeo pun menyerukan gencatan senjata "dalam 30 hari ke depan."

Amal hanya satu dari 2 juta bocah yang menjadi korban kelaparan di Yaman. Pada November 2018, organisasi kemanusiaan Save the Children mengungkap, lebih dari 85.000 anak di bawah usia 5 tahun atau balita diperkirakan tewas akibat kelaparan. Jumlah itu belum termasuk kematian di luar kategori umur tersebut.

Seorang gadis yang menderita gizi buruk ditimbang di Pusat Kesehatan Aslam di Hajjah, Yaman, 25 Agustus 2018. Kelaparan diperparah dengan meningkatnya harga kebutuhan pokok dan turunnya nilai mata uang Yaman akibat konflik. (AP Photo/Hammadi Issa)

"Saya takut dengan perang dan khawatir kami tak akan punya makanan sama sekali. Ini sangat menyedihkan," kata Suad seperti dikutip dari The Guardian.

Buah hatinya, Nusair yang berusia 13 tahun, dirawat Save the Children karena mengalami malnutrisi akut. "Saya tak bisa tidur. Ini sangat menyiksa...," tambah dia.

Juru bicara Save the Children, Bhanu Bhatnaga mengungkapkan, konflik di Yaman seakan menjadi badai yang memaksa negara itu terseret jurang kelaparan. Kekerasan yang melibatkan senjata-senjata canggih mengganggu produksi pangan, menghancurkan rumah sakit dan pusat kesehatan di mana orang-orang yang lemah mendapatkan perawatan.

Bhatnagar menambahkan, hambatan untuk mengimpor dan mendistribusikan pasokan memicu kondisi rawan pangan. Kalaupun ada bahan pangan di pasar, warga tak mampu membelinya. Gaji para pegawai tak dibayar selama berbulan-bulan, sementara nilai mata uang kian jatuh.

"Untuk para balita di Yaman, situasi ini bak hukuman mati bagi mereka," kata Bhatnagar. "Yang mengejutkan adalah, 85 ribu kematian anak di bawah usia lima tahun bukan akibat kekeringan atau perubahan iklim. Itu adalah hasil dari konflik yang dipicu oleh negara-negara yang sejatinya memiliki kekuatan untuk menghentikannya."

Perang saudara di Yaman tak hanya melibatkan kubu pemerintah melawan pemberontak. Ada negara-negara lain yang terlibat, diakui atau disangkal, langsung atau tak langsung: Arab Saudi, Amerika Serikat, Iran, Uni Emirat Arab, Qatar, Inggris...

Membunuh Atau Dibunuh

Usia Mohammed masih bau kencur. Namun sudah dua tahun ia terjun ke zona konflik, sebagai tentara cilik di kubu Houthi. Menyandang bedil AK-47 sungguhan, bocah itu mengaku pernah menyiksa bahkan membunuh manusia.

Mohammed mengaku tak peduli, ia hidup atau mati. Kalaupun tewas, gelang dengan 'nomor jihad' di telapak tangannya konon akan menjamin jasadnya bakal dipulangkan ke rumah.

Bocah laki-laki itu adalah satu dari 18 eks tentara cilik yang bicara dengan Associated Press (AP). Setelah ditangkap pihak koalisi, mereka dimasukkan ke kamp konseling di kota Marib.

Kedua pihak yang bertikai di Yaman mengorbankan anak-anak dengan cara paling biadab: mengubah mereka jadi sosok bengis di medan pertempuran. Tindakan yang jelas-jelas menyalahi konvensi hukum internasional.

Mantan tentara cilik, Kahlan (12) mendemonstrasikan bagaimana cara menggunakan senjata di Marib pada Juli 2018 (AP Photo/Nariman El-Mofty)

PBB mengonfirmasi ada, 2.721 anak yang direkrut sebagai tentara di dua kubu. Namun, jumlah sebenarnya mungkin lebih besar karena banyak keluarga yang memilih diam demi selamat.

Kepada AP, seorang pejabat militer Houthi mengaku merekrut 18.000 anak sejak 2014. Ia tak mau menyebut nama.

Secara resmi, kubu Houthi mengklaim tak pernah meminta para bocah bergabung jadi serdadu berani mati.

"Tak ada kebijakan untuk menggunakan anak-anak dalam pertempuran," kata petinggi Houthi, Jenderal Yahia Sarie pada AP. Ia menyebut, pengakuan para bocah pada AP sebagai propaganda.

Namun, sejumlah penduduk di Sanaa mengaku, pemberontak datang dari rumah ke rumah, meminta para orangtua menyerahkan putra mereka atau menyerahkan harta mereka.

Sejumlah anak mengaku bergabung demi iming-iming uang atau kesempatan membawa senjata sungguhan. Lainnya, terpaksa.

Saleh, bocah 13 tahun, mengaku bahwa pasukan Houthi datang ke rumahnya, meminta ia dan ayahnya pergi ke garis depan.

Sang ayah menolak. Dan ini yang kemudian terjadi: "Saya mendengar bunyi peluru ditembakkan, lalu ayah ambruk dan tewas."

Saleh akhirnya bergabung dengan pemberontak. Ia tak mau menemui nasib yang sama.

Anak-anak yang direkrut Houthi menjalani cuci otak di 'pusat kebudayaan' selama sekitar sebulan. Dipaksa percaya bahwa mereka bergabung dalam perang suci, melawan pihak Yahudi, Kristen, dan negara-negara Arab yang dipengaruhi Barat. Jika nantinya tewas di tengah pertempuran, konon mereka akan masuk surga.

Setelah menjalani pelatihan militer, mereka kemudian dikirim ke medan konflik. Menjadi martir -- tergantung versi kubu yang menyalahgunakan mereka.  

 

Saksikan video terkait konflik Yaman berikut ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Jejak Amerika di Perang Yaman

Pada 9 Agustus 2018, serangan udara yang dilancarkan koalisi Arab Saudi meledakkan sebuah bus berisi anak-anak sekolah yang baru pulang piknik di wilayah Dahyan, Yaman.

Akibatnya, tragis. Dari 51 korban jiwa, 40 di antaranya adalah anak-anak.

Bekerja sama dengan sejumlah jurnalis di Yaman dan beberapa ahli amunisi, investigasi CNN menemukan bahwa senjata yang menyebabkan puluhan anak tewas dalam serangan udara itu adalah bom MK 82 yang dipandu laser, seberat 500 pon atau 227 kilogram buatan Lockheed Martin, salah satu kontraktor pertahanan utama AS.

Bom tersebut mirip dengan sejata yang memicu kerusakan luar biasa dalam serangan di balai pemakaman di Yaman pada Oktober 2016 di mana 155 orang tewas dan ratusan lainnya terluka. Kala itu, koalisi Arab Saudi menyalahkan 'informasi salah' dan mengaku bertanggung jawab atas serangan tersebut.

Sebelumnya, pada Maret 2016, serangan di sebuah pasar di Yaman dilaporkan menggunakan bom MK 84. Sebanyak 97 orang tewas saat itu.

Pasca-serangan 2016 tersebut, mantan Presiden AS Barack Obama melarang penjualan teknologi militer dengan panduan presisi ke Arab Saudi terkait kekhawatiran soal isu hak asasi manusia.

Pemakaman massal yang disiapkan untuk para korban serangan udara di Yaman (AFP)

Larangan tersebut dicabut pemerintahan Donald Trump pada Maret 2017 oleh Menlu saat itu, Rex Tillerson.

Selain meledakkan bus berisi anak-anak, bom-bom made in America juga dipakai untuk menghancurkan pabrik, jalan, jembatan, rumah sakit, sumur, pemakaman, pernikahan, pertemuan yang hadirinnya semua perempuan.

Pad November 2018, PBB dilaporkan telah mendokumentasikan sekitar 18.000 kematian warga sipil dan kasus cedera yang disebabkan oleh pertempuran di Yaman. Hampir 11.000 di antaranya jatuh dari serangan udara saja, demikian seperti dikutip dari The New York Times, Kamis (27/12/2018).

Dalam kampanye di Yaman, Arab Saudi mendapat bantuan dari sejumlah negara koalisi, seperti Uni Emirat Arab, Bahrain dan Kuwait, serta negara-negara Afrika terdekat, seperti Sudan dan Mesir.

Tetapi, sumber dukungan terpentingnya adalah sekutu dekatnya: Amerika Serikat.

"Tanpa dukungan AS, tak mungkin Saudi melanjutkan bantuannya terhadap pemerintah Yaman untuk melawan Houthi hingga hampir tiga tahun lamanya," kata Zuhairi Misrawi, analis Timur Tengah, kepada Liputan6.com, Kamis (27/12/2018).

Pada 2015, AS mengirim kapal induk, kapal penjelajah rudal berpemandu dan tujuh kapal perang lainnya untuk membantu Saudi melakukan blokade terhadap kota pelabuhan vital Hodeidah yang diperebutkan dua kubu.

Ketika Saudi mulai menjalankan serangan mendadak ke Yaman, Komando Sentral Amerika Serikat menerbangkan Stratotanker untuk misi pengisian bahan bakar setiap hari, sampai bulan November 2018.

Itu memungkinkan jet-jet Saudi bertahan lebih lama di udara untuk mengincar target-target serangan.

Mungkin, bantuan yang paling penting dari Negeri Paman Sam berupa skema penjualan teknologi tinggi bernilai miliaran dolar kepada Saudi.

"Arab Saudi ingin sekali mendikte politik di Yaman, agar bersih dari Houthi yang didukung Iran. AS juga punya kepentingan yang sama untuk menekan pengaruh Iran di Timur Tengah," tambah Zuhairi.

AS punya sejarah panjang menjual senjata ke Saudi sejak era Presiden Bill Clinton, Presiden George W Bush, dan Presiden Barack Obama.

Bush misalnya, berdalih bahwa penjualan senjata ke Saudi adalah upaya untuk 'menyeimbangkan' geopolitik di Timur Tengah setelah invasi Irak tahun 2003, yang menggulingkan pemerintahan Sunni dan mengizinkan pemerintah Syiah untuk menggantikannya.

Bush secara tidak sengaja memberdayakan Iran, dan dia pikir menjual senjata ke Arab Saudi dapat menangkal pengaruh Teheran.

Itu berlanjut hingga era Obama. Namun pada 2016 --satu tahun setelah Saudi melancarkan serangan udara di Yaman-- jelas bagi pemerintahan AS saat itu bahwa Riyadh tidak menggunakan senjata yang dibelinya untuk meminimalkan korban sipil.

Jadi, sebelum lengser, Obama menangguhkan penjualan bom pintar ke Saudi.

Namun, Presiden Donald Trump segera membalikkan penangguhan tersebut. Dalam perjalanan luar negeri pertamanya sebagai presiden -- yakni ke Arab Saudi-- ia mengumumkan akan melanjutkan dan memperluas penjualan senjata ke Negeri Petrodollar. Pengaruh Iran dan penciptaan lapangan kerja di Amerika jadi dalih.

Sempat ada upaya di Kongres AS untuk membatalkan rencana Trump pada 2017 lalu. Senator Rand Paul -- wakil Republik dari Kentucky, yang ikut mensponsori sebuah RUU untuk menghentikan penjualan senjata ke Saudi -- terang-terangan menentang.

Bersama Senator Chris Murphy, wakil Demokrat dari Connecticut, ia berpidato di Senat, membawa foto seorang anak Yaman yang kelaparan.

"Sungguh mengherankan apa yang terjadi di sana (Yaman)," kata Paul. "Itu memang dilakukan tanpa seizin Anda, namun dengan senjata Anda." Kata-kata itu ia tujukan untuk Donald Trump.

Resolusi yang diajukan kalah, 47 melawan 53. Sebagian besar politikus Partai Republik menentang Paul dan mendukung presiden.

Tapi, itu tahun lalu, ketika Senat AS yang didominasi Republik masih dibutakan oleh janji bahwa penjualan senjata akan membuka lapangan pekerjaan besar di dalam negeri. Namun, pada penghujung 2018, semua berubah.

Nasib tragis Jamal Khashoggi, jurnalis yang sering mengkritik rezim Saudi dan pemimpin de facto-nya, Mohammed bin Salman, membuat sejumlah politisi menuntut AS mengevaluasi hubungannya dengan Riyadh.

Pada 28 November, Senat AS (yang masih didominasi kuat oleh Republik, partai pengusung Trump), meloloskan resolusi untuk memangkas peran Amerika di Yaman. House of Representatives atau Kongres yang didominasi Demokrat diperkirakan akan mendukungnya.

Kendati demikian, resolusi tersebut dianggap belum menyentuh hal yang signifikan, seperti penghentian total penjualan senjata AS ke Arab Saudi atau Uni Emirat Arab yang digunakan dalam perang di Yaman.

Gedung Putih telah mengancam akan memveto resolusi (yang akan menjadi rancangan undang-undang) ketika itu sampai di Kongres AS. Donald Trump bersikukuh mempertahankan hubungan dekatnya dengan Arab Saudi.

Menurut Zuhairi Misrawi, besar kemungkinan bahwa AS akan memangkas atau menghentikan total dukungannya terhadap Saudi di Perang Yaman --dipicu oleh faktor pembunuhan Jamal Khashoggi dan desakan komunitas internasional yang ingin menghentikan krisis kemanusiaan di sana.

"Kalau itu terjadi," kata Zuhairi, "kemungkinannya ada dua. Perdamaian yang diusulkan oleh PBB akan disepakati atau, Riyadh tetap melanjutkan perang tanpa dukungan AS dengan kemungkinan Saudi akan kalah."

"Karena dukungan senjata yang diberikan AS ke Saudi untuk Yaman ini besar sekali," tambahnya.

Dari 2010 hingga 2017, menurut data dari Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI) yang dikutip dari The New York Times, Amerika Serikat mengirim 30 pesawat jet F-15 dalam konfigurasi F-15SA yang paling canggih, serta 84 helikopter tempur, 110 rudal jelajah udara-ke-permukaan dan hampir 20.000 bom berpemandu untuk Arab Saudi -- termasuk 11.320 Paveways.

Secercah Harap

Mayjen Patrick Cammaert dari Belanda (tengah) yang memimpin tim advance PBB disambut saat tiba di Bandara Sana’a, Yaman, 22 Desember 2018. (AP File)

Dialog damai antara kelompok pemberontak Houthi dengan pemerintah Yaman, yang digelar di Swedia pada awal bulan ini, telah menghasilkan kemajuan positif pada beberapa isu kunci, kata diplomat PBB pada Sabtu 8 Desember 2018.

Kemajuan itu meliputi prospek pembukaan kembali bandara di ibu kota Yaman --Sanaa-- yang selama ini diblokade, pertukaran tahanan, dan beberapa kesepakatan lain yang bisa disetujui oleh kedua belah pihak, demikian seperti dikutip dari The Associated Press (AP).

Seorang pejabat PBB yang berbicara dengan syarat anonimitas pada hari Minggu 9 Desember, dalam sela dialog damai Houthi-Yaman di Rimbo, Swedia mengatakan, pemerintah Yaman dan Houthi akan bertemu lagi pada awal 2019.

Kabar terbaru menyebut, sebuah tim PBB yang bertugas memantau gencatan senjata dalam perang Yaman, bertemu di kota zona merah di Hodeidah yang diperebutkan, pada Rabu 26 Desember 2018.

Komite berkumpul untuk membicarakan tentang implementasi gencatan senjata dan penarikan pasukan yang direncanakan.

Menurut Zuhairi Misrawi, peran PBB dalam membuka dialog damai antara Houthi dengan pemerintahan Presiden Yaman Mansur Hadi "berpotensi membuka jalan untuk masuknya bantuan kemanusiaan terhadap warga sipil yang terdampak di Yaman."

"Tapi untuk urusan perdamaian politik, konsolidasi murni ada di tangan Houthi dan pemerintahan Presiden Yaman, Abdrabbuh Mansour Hadi," kata Zuhairi.

"Dalam proses itu tidak boleh ada campur tangan Saudi, Iran, apalagi AS. Sebuah proses yang netral non-partisan diperlukan untuk membangun kembali Yaman yang hancur dilanda perang. Kita tunggu saja kelanjutannya."

 

3 dari 3 halaman

Asal-Usul Perang Yaman

Konflik Yaman berawal dari persoalan politik. Kala itu, gelombang Musim Semi Arab atau Arab Spring pada 2011 memaksa Presiden Ali Abdullah Saleh menyerahkan kekuasaan pada wakilnya, Abdrabbuh Mansour Hadi.

Tak hanya kekuasaan yang didapat, Hadi juga mewarisi banyak masalah dari pendahulunya seperti serangan militan, gerakan separatis di selatan,korupsi, pengangguran, dan kerawanan pangan. Sementara, loyalitas personel keamanan, termasuk para jenderal, masih kepada Saleh.

Mantan Presiden Yaman Ali Abdullah Saleh (AP Photo/Muhammed Muheisen, File)

Gerakan Houthi, yang memperjuangkan kepentingan minoritas Zaidi Syiah di Yaman dan memicu serangkaian pemberontakan selama dekade sebelumnya, memanfaatkan sisi lemah penguasa baru. Caranya dengan mengambil kendali atas jantung provinsi Saada dan wilayah sekitarnya.

Merasa kecewa dengan transisi politik yang terjadi, banyak warga Yaman biasa, termasuk dari kalangan Sunni, menyatakan dukungan pada kelompok Houthi. Dan, pada awal 2014 dan awal 2015, kubu pemberontak mengambil alih Sanaa, ibu kota Yaman.

Kubu Houthi, yang berkomplot dengan pasukan keamanan yang loyal terhadap Saleh, kemudian berupaya merebut kekuasaan dan mengendalikan seluruh wilayah di Yaman. Pada Maret 2015, Abdrabbuh Mansour Hadi pun terpaksa lari dari negaranya.

Meyakini bahwa kubu Houthi didukung didukung secara militer oleh kekuatan Syiah Iran, Arab Saudi dan delapan negara sekutunya yang mayoritas Sunni mulai serangan udara ke Yaman. Tujuannya, memulihkan kekuasaan pemerintahan Hadi. Kampanye dilakukan atas restu Putra Mahkota Mohammed bin Salman. 

Koalisi negara-negara Arab yang dipimpin Saudi mendapatkan bantuan logistik dan intelijen dari Amerika Serikat, Inggris, juga Prancis.

Seperti dikutip dari BBC News, awalnya, para pejabat Saudi meramalkan, pertempuran hanya akan berlangsung selama beberapa pekan. Nyatanya, hampir empat tahun berlalu, damai belum terwujud di Yaman.

Pasukan koalisi mendarat di kota pelabuhan, Aden pada Agustus 2015 untuk mengusir pemberontak Houthi dan sekutu mereka dari wilayah selatan.

Pemerintah Yaman juga mendirikan kantor sementara di Aden, meski sang presiden masih berada di pengasingan. 

Sementara itu, kubu Houthi masih bercokol di Sanaa. Mereka juga mengepung kota ketiga terbesar di Yaman, Taiz, bahkan mampu menembakkan rudal balistik, melintasi perbatasan, menuju Arab Saudi. 

Kondisi kian pelik saat militan Al Qaeda di Semenanjung Arab (AQAP) dan kelompok afiliasi ISIS mengambil keuntungan di tengah kekacauan yang melanda Yaman. Mereka merebut sejumlah wilayah di selatan dan melancarkan serangan mematikan, terutama di Aden.

Aliansi antara Houthi dan Saleh kemudian runtuh pada November 2017 setelah bentrokan terkait kendali atas masjid terbesar di Sanaa yang menewaskan puluhan orang.

Houthi, yang melancarkan operasi untuk mengambil kendali penuh atas ibu kota pada pada 4 Desember 2017, kemudian mengumumkan bahwa Ali Abdullah Saleh telah terbunuh.

Blokade Arab

Video Dramatis Rudal Arab Saudi Hentikan Misil Houthi di Langit Riyadh (video grab dari Al Arabiya)

Serangan rudal balistik yang ditembakkan pemberontak Houthi ke Riyadh, Arab Saudi pada November 2017 mendorong koalisi yang dipimpin Arab Saudi untuk memperketat blokade atas Yaman.

Misil dari Yaman kala itu menargetkan Bandara Internasional King Khalid di Riyadh.

"Serangan rudal Yaman ke Riyadh adalah genderang perang," demikian pernyataan koalisi Arab Saudi seperti dikutip dari News.com.au, November 2017 lalu.

Riyadh menuding, misil yang dilancarkan kubu Houthi yang didukung Iran adalah tindakan agresi yang menargetkan negara-negara tetangga, serta mengancam perdamaian dan keamanan, baik di regional maupun global.

Koalisi beralasan, blokade dilakukan untuk menghentikan penyelundupan senjata kepada para pemberontak oleh Iran -- tuduhan itu dibantah Teheran. 

Blokade memicu melonjaknya harga pangan dan pahan bakar. Ribuan bahkan jutaan orang jadi korban kerawanan pangan. Terancam mati kelaparan.

Pada Juni 2018, koalisi berusaha untuk memecahkan kebuntuan di medan perang dengan meluncurkan serangan besar besar ke Hudaydah, kota di pesisir Laut Merah yang dikuasai pemerontak. 

Hudaydah (Hodeida) punya arti penting. Pelabuhan di sana adalah jalur utama bagi hampir dua pertiga populasi di Yaman.

Para pejabat di PBB memperingatkan potensi jatuhnya korban jiwa dalam jumlah besar jika pelabuhan tersebut rusak atau diblokir. 

Namun, beberapa bulan berlalu sebelum pihak-pihak yang bertikai bisa dibujuk untuk menghadiri perundingan di Swedia, sebagai upaya untuk menghindari pertempuran besar-besaran di Hudaydah.

Pada Desember 2018, perwakilan pemerintah dan Houthi sepakat untuk melakukan gencatan senjata di kota dan pelabuhan Hudaydah. Kedua pihak berjanji akan menarik pasukan pada pertengahan Januari 2019.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.