Sukses

12-12-1948: Kisah Roh Penyelamat di Tengah Horor Pembantaian di Batang Kali Malaysia

Pada 12 Desember 1948, pasukan Scots Guards dari Angkatan Darat Inggris mengepung Batang Kali di Malaysia. Pembantaian pun terjadi.

Liputan6.com, Kuala Lumpur - Batang Kali terletak di Hulu Selangor, Malaysia. Kota kecil itu kini terkenal karena sungainya yang jernih dan keberadaan air terjun yang tersembunyi di tengah hutan. Para wisatawan kerap melewatinya dalam perjalanan dari Kuala Lumpur ke Genting Highlands.

Namun, pada masa lalu, kota tersebut menyimpan kisah mengerikan. Sebuah pembantaian.

Pada tahun 1948, Malaya ditetapkan dalam situasi darurat. Cikal bakal Malaysia itu baru lepas dari empat tahun pendudukan Jepang yang kejam selama Perang Dunia II.

Namun, dominasi Partai Komunis Malaya (CPM) pasca-perang, bertentangan dengan keinginan Inggris untuk merebut kembali wilayah koloninya yang kaya bahan baku,  yang bisa membantu membangun kembali Britania Raya dari puing-puing perang.

Dengan latar belakang itulah, pada hari itu, 12 Desember 1948, anggota pasukan Scots Guards dari Angkatan Darat Inggris yang dipimpin Sersan Charles Douglas mendatangi sebuah permukiman di tengah perkebunan karet di Batang Kali.

"Mereka datang diangkut sejumlah truk," kata Tham Yong, saksi mata, seperti dikutip dari artikel yang dimuat BBC News, tahun 2004 lalu.

Jumlah para serdadu hanya 16 orang. Namun bedil yang disandang bikin mereka unggul dari warga yang jumlahnya lebih banyak.

Dengan wajah garang, tentara-tentara itu menuding warga membantu para pemberontak komunis. Interogasi dilakukan. Para pria dipisahkan dari perempuan dan anak-anak.

Salah satu warga yang kedapatan mengantongi tanda terima pembelian buah dipisahkan dari kumpulan.

"Mereka menuduhnya menyuplai pemberontak komunis dengan makanan," kata perempuan yang saat diwawancara menderita kanker tenggorokan itu.

"Mereka menembaknya di sini," kata Tham Yong, menunjuk punggungnya dengan tangan yang gemetar.

Pagi harinya, para perempuan diangkut dengan truk. Dibawa pergi dari lokasi itu.

Tham Yong sempat bertanya pada tentara yang membawa rombongan tersebut, ke mana gerangan para pria. Kata serdadu itu, mereka terpaksa dibunuh. "Saat itu aku ingin tetap tinggal dan mati bersama mereka."

Perempuan itu kemudian ingat adegan mengerikan saat para pria dipaksa berbaris, dalam kelompok empat atau lima orang. Mereka diminta membalikkan badan dan ditembak dari belakang.

Dua hari kemudian, ia kembali ke dusun. Untuk mencari tunangannya. Tham Yong yang kala itu berusia 16 tahun menyaksikan pemandangan mengerikan. Kampung mereka hancur dan gosong. Di sana-sini ada jasad-jasad yang termutilasi, kepala-kepala yang terpisah dari raga, dengan alat kelamin yang hancur.

Pasukan Inggris menghabisi nyaris menghabisi seluruh pria dewasa, jumlahnya 24 orang. Hanya ada satu yang selamat. Namanya Chong Hong, tunangan Tham Yong.

Chong Hong, yang berusia 20 tahun pada saat itu jadi satu-satunya korban pembantaian yang selamat. Dia pingsan dan dianggap tewas.

Namun, pria itu merasa, ada 'kekuatan' lain yang membantunya. "Aku tak ingat apa yang terjadi. Aku pingsan. Roh-roh mendorongku. Mereka (tentara) menembaki kami," kata Chong Hong, dalam wawancara yang dimuat BBC tahun 2004 lalu.

Pria yang kala itu berusia 70-an tahun itu mengisahkan, roh-roh itu menyelamatkannya dari tembakan peluru yang menewaskan 24 rekan sekerjanya.

Sehari setelah pembantaian terjadi, The Straits Times memuat artikel yang menyebut, Scots Guards dan polisi telah menembak mati 25 dari 26 bandit selama operasi skala besar di Selangor Utara.

Dilaporkan, itu adalah keberhasilan terbesar yang pernah dicapai dalam operasi di Malaya sejak kondisi darurat ditetapkan. Laporan itu dusta besar.

Tham Yong meninggal dunia pada 2010 lalu. Ia adalah orang dewasa terakhir, saat kejadian, yang bisa memberikan kesaksian tentang hari berdarah itu.

"Aku masih marah karena para korban adalah orang-orang tak bersalah yang dilabeli sebagai bandit dan komunis. Padahal apa yang mereka lakukan hanya mengumpulkan durian, bukan menyediakan makanan bagi para komunis," kata dia, seperti dikutip The Star Online.

"Kanker stadium lanjut yang kuderita berarti aku tak akan berumur panjang. Namun, aku berharap orang-orang mengingat apa yang terjadi, agar mereka yang tewas tak akan terlupakan," kata saksi mata pembantaian Batang Kali di Malaysia itu.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Kasus Ditutup

Banyak orang menyamakan insiden Batang Kali dengan My Lai, pembantaian yang dilakukan tentara Amerika Serikat di Vietnam.

Namun, meski ada banyak saksi mata, para pelaku tak pernah dihukum. Niat para keluarga korban untuk memperkarakan kejadian tersebut dipatahkan pengadilan HAM di Eropa pada Oktober 2008.

Seperti dikutip dari The Conversation, pihak keluarga yang dipimpin Nyok Keyu Chong menuntut Inggris menyelidiki pembantaian Batang Kali. Alasannya, pada saat kejadian, tahun 1948, wilayah itu berada di bawah kekuasaan Britania raya.

Memang pernah ada penyelidikan di masa lalu, tetapi Chong menganggap, prosesnya tak cukup baik. Informasi baru dari Kepolisian Kerajaan Malaysia dan sebuah buku tahun 2009 diangkat sebagai bukti penguat.

Namun, pemerintah Inggris menolak penyelidikan baru, dan banding ke Mahkamah Agung Inggris tidak berhasil.

Putus asa, keluarga beralih ke Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa, yang kini telah memutuskan bahwa Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia tidak dapat membantu mereka mendapatkan keadilan bagi para korban.

Pengadilan menjelaskan bahwa mereka tidak memiliki yurisdiksi karena kematian para korban terjadi lebih dari 10 tahun sebelum Inggris mengizinkan individu untuk membawa perkara langsung ke pengadilan Eropa.

Tak hanya pembantaian Batang Kali di Malaysia. Sejumlah kejadian bersejarah juga terjadi pada 12 Desember.

Pada 1991, Candi Borobudur, Candi Prambanan, Taman Nasional Komodo, dan Taman Nasional Ujung Kulon, terdaftar sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO pada Sidang Konferensi Warisan Dunia yang ke-15 di Carthage, Tunisia.

Sementara, pada 12 Desember 1992,t sunami melanda pulau Flores, menewaskan kurang lebih 3.000 orang.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.