Sukses

Kota Australia Ini Pakai Jaring Inovatif untuk Saring Sampah Plastik di Sungai, Bisa Ditiru Indonesia?

Musim panas ini, otoritas dari Kota Kwinana, Australia, memasang sistem penyaringan limbah inovatif di sungai lokal.

Liputan6.com, Kwinana - Musim panas ini, otoritas dari Kota Kwinana, Australia Barat, memasang sistem penyaringan sampah baru nan inovatif di sungai lokal di wilayah hijau Henley Reserve. Sistem penyaringan itu tampak dipasok oleh perusahaan bernama Old Castle Infrastructure dan Storm Water Systems.

Seperti dikutip dari Brightside.me (25/11/2018), desain sistemnya luar biasa sederhana dan bermanfaat, serta berbeda dengan teknik penyaringan sampah di sungai pada umumnya.

Sistem tersebut terdiri dari jaring yang ditempatkan di pipa drainase yang membantu menangkap puing-puing besar dan melindungi lingkungan dari kontaminasi limbah plastik.

Pipa-pipa itu mengalirkan air dari daerah pemukiman ke daerah-daerah alami dan sampah dari tempat-tempat tersebut dapat menjadi luar biasa dan berbahaya bagi lingkungan.

Selain itu, sampah tersebut biasanya hanyut oleh hujan lebat yang menarik semuanya ke sistem drainase.

Pemerintah kota mulai dengan memasang 2 jaring dan takjub dengan hasilnya - sistem penyaringan baru mereka berhasil menangkap lebih dari 800 pon (362,8 kg) sampah dalam beberapa pekan.

Jaring penyaring Limbah Plastik di kawasan hijau Henley Reserve, Kota Kwinana, Australia Barat (Facebook / City of Kwinana)

Otoritas Kwinana telah memutuskan untuk memasang "perangkap" sampah itu di seluruh kota dan meminimalkan pencemaran terhadap satwa liar dan lingkungan sekitarnya.

Meskipun instalasi dan pembuatan jaring ini menghabiskan uang sekitar US$ 10.000 (Rp 145,4 juta) per unit, sistem keseluruhan masih cukup menguntungkan karena mereka memberikan penghematan biaya yang signifikan ke depan.

Misalnya, mereka sekarang menghemat biaya tenaga kerja yang sebelumnya harus mereka bayar untuk orang-orang yang mengumpulkan semua sampah secara manual.

Ketika jaring penuh, mereka kemudian diangkat dan sampah dibuang ke truk pengumpul sampah khusus dan diangkut ke pusat pemilahan sampah. Di sana, semuanya dipisahkan menjadi bahan yang tidak dapat didaur ulang dan didaur ulang.

Jaring-jaring tersebut kemudian ditempatkan kembali di pipa drainase dan terus melakukan pekerjaan mereka.

Sistem filtrasi baru ini membuktikan sekali lagi bahwa hal-hal kecil dapat memiliki dampak besar dan positif terhadap lingkungan dan kemanusiaan secara umum.

 

Simak video pilihan berikut:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

17,6 Miliar Ton Plastik di Buang ke Laut Tiap Tahun

Organisasi konservasi laut global Oceana mendukung sepenuhnya upaya peningkatan transparansi perikanan dunia dan pengurangan produksi plastik pada pertemuan Our Ocean Conference yang dilaksanakan pada 29-30 Oktober 2018 di Nusa Dua, Bali.

Pada keterangan resminya di Nusa Dua, Chief Policy Officer Oceana, Jacqueline Savitz menuturkan, saat ini lautan kita menerima ancaman yang harus kita hadapi, yaitu sampah plastik.

"Setidaknya ada 17,6 miliar ton sampah plastik masuk ke lautan tiap tahunnya," kata Jacqueline, Minggu (28/10/2018). Sampah plastik, ia melanjutkan, tak hanya mengancam secara langsung lautan Indonesia, tapi juga hampir seluruh negara di dunia.

"Banyak perusahaan yang terus-menerus menggunakan kemasan plastik menghancurkan tempat-tempat yang indah seperti Bali. Kita telah membuang satu truk sampah plastik ke lautan setiap menitnya," ujarnya.

Katanya, mendaur ulang dan pengunaan kembali (reuse) sampah plastik bukan merupakan jalan keluar dari masalah ini.

Yang harus dilakukan adalah mendorong perusahaan-perusahaan untuk mengurangi jumlah plastik yang mereka produksi dan mencari solusi alternatif untuk mengirimkan produk mereka ke tempat yang tak akan mencemari lingkungan, khususnya laut.

Chief Executive Officer Oceana, Andrew Sharpless mengungkap fakta lain dari laut kita. Ia mengatakan, sekitar sepertiga dari stok ikan dunia telah ditangkap secara berlebihan. "Bajak laut modern’ terus menjarah lautan kita, mengancam negara-negara yang bergantung pada makanan laut sebagai sumber utama protein mereka," kata Andrew di tempat sama.

Metode penangkapan ikan yang merusak seperti pukat harimau (bottom trawling) terus merusak karang-karang yang sudah berumur lama dan spesies di bawahnya. "Nelayan terus membuang makanan laut dan satwa liar yang secara tidak sengaja ditangkap digunakan sebagai umpan," papar dia.

Kehidupan laut yang penting seperti hiu terus-menerus menurun jumlahnya akibat dari penangkapan yang berlebihan. Yang mengerikan adalah praktik pemotongan sirip ikan hiu yang brutal dan membuang tubuhnya begitu saja di lautan.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.