Sukses

17-6-1814: Petaka Gelombang Banjir Bir London yang Merenggut 8 Nyawa

Tiba-tiba terdengar suara ledakan besar dari dalam gudang. Ternyata, wadah berisi lebih dari 473.000 liter bir jebol.

Liputan6.com, London - 204 tahun silam, bencana banjir tak biasa melanda London, Inggris. Minuman mengandung alkohol yang dibuat dengan peragian lambat alias bir yang memicu petaka dan menelan sejumlah korban jiwa.

Peristiwa tragis pada 17 Oktober 1814 itu, seperti dikutip dari History.com, bermula dari laporan seorang pengawas gudang di Bainbridge Street milik Messrs. Henry Meux and Co. Perusahaan yang berdiri sejak zaman Raja George III dan menghasilkan lebih dari 100.000 barel nektar berwarna gelap setiap tahunnya.

Saat itu pengawas gudang yang bertugas adalah George Crick. Dalam pengawasannya sekitar pukul 16.30, ia menginspeksi gentong-gentong raksasa terbuat dari kayu yang jadi tempat fermentasi bir hitam.

George Crick melihat ke dasar gentong, mengamati cincin gentong seberat 318 kilogram yang longgar dari wadah penyimpanan bir yang sudah berproses selama 10 bulan.

Dari pengalamannya selama 17 tahun di perusahaan, ia maklum bahwa hal itu bisa terjadi 2 atau 3 kali dalam setahun, dan ia pun tidak terlalu khawatir. Walaupun bahan bir hanya tinggal 10 cm dari puncak wadah setinggi 6,7 meter, atasannya meyakinkan bahwa tidak ada masalah dan kerenggangan cincin gentong yang bisa diperbaiki belakangan.

Baru saja George Crick menuliskan catatan temuannya sekitar pukul 17.30, tiba-tiba terdengar suara ledakan besar dari dalam gudang. Ternyata, wadah berisi lebih dari 473.000 liter bir jebol dan merusak katup di wadah-wadah lain yang juga berisi ribuan barel bir.

Terjadilah reaksi berantai dan sebanyak 570 ton cairan membludak bersamaan, menciptakan gelombang bir yang mematikan.

Kekuatan ledakan itu bahkan mampu melontarkan sejumlah batu bata ke atap rumah-rumah di Great Russell Street dan merobohkan tembok bata tinggi menimpa Eleanor Cooper (14), sehingga ia tewas seketika.

Gelombang cairan bir berwarna hitam itu mendesak ke jalur-jalur sempit di sekitar tempat itu dan menelan segala sesuatu yang berada di alirannya.

Karena tidak ada sistem selokan di jalan-jalan kota, gelombang cairan bir hitam itu mau tidak mau masuk ke dalam rumah-rumah di sekitar pabrik. Wargapun terpaksa memanjat meja dan perabotan lain untuk menyelamatkan diri ketika bir itu meluap di dalam rumah mereka.

Kerusakan terburuk terjadi di New Street.

Gelombang dadakan ini bahkan menyapu Hannah dan Mary Banfield yang sedang menikmati waktu minum teh sore. Mereka tenggelam di dalam air bah bir hitam itu.

Gelombang bir itu juga sangat kuat sehingga atap rumahnya runtuh dan menewaskan Anne Saville serta empat orang lainnya.

Lingkungan St. Giles pun terendam banjir bir.

Regu penolong berusaha mencari mereka yang terjebak dalam banjir setinggi pinggang, padahal cairan bir itu masih bersuhu tinggi. Belum lagi pihak kerabat dan teman yang berteriak-teriak karena khawatir.

"Pemandangan ini menampilkan hal yang paling mengerikan, seperti kebakaran atau gempa bumi," demikian dilaporkan Morning Post.

Walaupun banjir bir London sepertinya sepele dan mirip dengan kejadian serupa di Boston pada 1919, penderitaan yang diakibatkannya tidak terbayangkan.

Laporan Morning Post menyebutkan bahwa "salah satu kecelakaan menyedihkan yang selalu dikenang." Walaupun semua orang di dalam pabrik selamat, ada 8 orang wanita dan anak-anak yang menjadi korban tewas di lingkungan sekitarnya.

Lima orang yang melayat ke rumah duka John Saville juga dilaporkan menjadi korban yang dilayat di balai umum Ship di Bainbridge Street. Peti mati Anne Saville kemudian ditaruh dekat peti mati berisi jasad putranya, berdekatan dengan peti mati Elizabeth Smith, Catherine Butler, Mary Mulvey dan putranya Thomas Murray (3).

Sementara peti mati Eleanor Cooper, Hannah Banfield, dan Sarah Bates (3) ditempatkan di halaman di dekatnya dan dilayat oleh warga London yang memberikan penghormatan terakhir sambil menyumbangkan recehan uang duka untuk biaya pemakaman para korban.

Dua hari setelah malapetaka itu, seorang juri pengadilan memerintahkan untuk menyelidiki peristiwa itu. Setelah mampir ke tempat kejadian, memeriksa jasad-jasad para korban, dan mendengarkan kesaksian dari George Crick sang pengawas gudang, sang juri menyimpulkan bahwa para korban meninggal secara "tidak sengaja dan sedang sial".

Begitulah. Selain lolos dari kewajiban membayar ganti rugi, perusahaan itu malah mendapatkan pengecualian pajak dari Parlemen Inggris sehubungan dengan ribuan barel bir perusahaan tersebut yang terbuang sia-sia.

 

 

Saksikan juga video berikut ini:

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.