Sukses

5 Momentum Langka Saat Amerika Mengaku Salah dan Meminta Maaf pada Dunia

Berikut adalah beberapa contoh ketika Amerika Serikat mengakui sejumlah kesalahan dan meminta maaf kepada dunia.

Liputan6.com, Washington DC - Pada era pemerintahan Barack Obama, Amerika Serikat pernah mencatat sejarah baru. Presiden ke-44 Amerika Serikat ini menjadi pemimpin pertama Negeri Paman Sam yang mengunjungi Hiroshima di Jepang --kota di mana pasukan AS menjatuhkan bom atom pada 6 Agustus 1945 selama akhir Perang Dunia II.

Dalam sebuah artikel yang ditulis pada Smithsonianmag.com dan dikutip pada Rabu (14/11/2018), saat Obama menginjakkan kakinya di kota bersejarah tersebut dan menyampaikan pidato, ia tidak menyampaikan permohonan maafnya kepada rakyat Negeri Skaura, termasuk Perdana Mentei Shinzo Abe yang kala itu mendampingi Obama, meski Obama menyampaikan simpati terhadap para korban meninggal.

Meskipun tidak akan ada permintaan maaf karena telah menghancurkan Hiroshima dan Nagasaki, namun dalam beberapa dekade terakhir, Amerika Serikat telah mengambil beberapa langkah untuk meminta maaf atas beberapa tindakan yang dilakukan berabad-abad silam.

Berikut 5 contoh saat pemerintah Amerika Serikat secara resmi meminta maaf atas sesuatu.

 

Saksikan video pilihan berikut ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 6 halaman

1. Melindungi Gestapo Nazi yang Jadi Buron

Selama pendudukan Jerman di Prancis dalam Perang Dunia II, Klaus Barbie menjadi salah satu perwira Gestapo (polisi rahasia resmi Nazi) yang paling terkenal.

Dijuluki "The Butcher of Lyon", Barbie adalah sosok yang bertanggung jawab untuk mengawasi pembunuhan dan penyiksaan terhadap orang Yahudi Prancis, anggota French Resistance atau Perlawanan Prancis, serta mendeportasi ribuan orang Yahudi dan nonkombatan ke kamp konsentrasi.

Ketika perang berakhir, Barbie menyelinap keluar dari Jerman dan melarikan diri ke Italia, kemudian ke Bolivia pada tahun 1951.

Dalam sebuah penyelidikan yang dilakukan oleh Prancis pada 1983, negara ini menuduh pemerintah Amerika Serikat (AS) telah melindungi Barbie.

Pemerintah dan Departemen Kehakiman AS menemukan bahwa Barbie, pada kenyataannya, telah mendapat perlindungan dari beberapa anggota berpangkat tinggi yang ada di Angkatan Darat AS usai Perang Dunia II. Temuan ini dilaporkan oleh Stuart Taylor, Jr., yang mengatakan untuk New York Times.

Penyelidikan tersebut juga menemukan bahwa Angkatan Darat AS memanfaatkan Barbie sebagai informan bayaran selama beberapa tahun terakhir Perang Dunia II. Mereka membantunya untuk kabur ke Bolivia agar bisa menyembunyikan fakta ini dari publik.

Untuk memperlancar aksi tersebut, Angkatan Darat AS terpaksa berbohong saat menanggapi pertanyaan tentang keberadaan Barbie, meskipun laporan itu sudah menyertakan bukti akurat bahwa pasukan tersebut telah memutuskan hubungan dengan perwira Nazi setelah memindahkan Barbie ke Amerika Selatan.

Pada 1983, Barbie akhirnya diekstradisi ke Prancis untuk menghadapi sidang di pengadilan, dengan dakwaan kejahatan perang. Lalu, AS mengeluarkan permintaan maaf resmi kepada seluruh masyarakat internasional karena telah sengaja menyembunyikan buronan tersebut kala itu.

3 dari 6 halaman

2. Pengasingan Penduduk Jepang-Amerika

Sepuluh minggu setelah peristiwa pengeboman Pearl Harbor, Franklin Delano Roosevelt (presiden ke-32 Amerika Serikat) memerintahkan otoritas AS untuk merelokasi paksa dan menginternir sekitar 120.000 orang Jepang-Amerika dan orang Jepang penduduk AS.

Menurut KBBI, menginternir artinya menempatkan orang atau kelompok (tawanan perang, pelarian, dan sebagainya) di suatu tempat tinggal tertentu dan melarangnya meninggalkan tempat tersebut atau berhubungan dengan orang lain; mengasingkan; memenjarakan.

Selama masa Perang Dunia II, sebanyak 120.000 warga Jepang-Amerika dan penduduk tetap berdarah keturunan Jepang yang hidup di AS, dipaksa untuk meninggalkan rumah dan barang-barang mereka.

Mereka dipindahkan ke kamp-kamp yang disebut "Kamp Relokasi Perang" setelah Angkatan Laut Jepang menyerang Armada Pasifik Angkatan Laut Amerika Serikat yang tengah berlabuh di Pangkalan AL Pearl Harbor, Hawaii, pada hari Minggu pagi, 7 Desember 1941.

Roosevelt memberi otorisasi untuk menginternir orang Jepang-Amerika dengan Executive Order 9066 tanggal 19 Februari 1942. Para komandan militer lokal diberi wewenang untuk menetapkan "kawasan militer" sebagai "zona eksklusi", sehingga sebagian atau semua orang dapat dieksklusi.

Kebijakan tersebut dipakai untuk mengumumkan bahwa semua orang keturunan Jepang harus dieksklusi (dikeluarkan) dari seluruh pesisir Pasifik, termasuk California serta sebagian besar Oregon dan Washington --kecuali mereka yang berada di kamp-kamp interniran.

Mahkamah Agung AS pada tahun 1944 membenarkan perintah eksklusi tersebut sebagai keputusan konstitusional.  Lalu pada tahun 1988, Kongres AS meloloskan rancangan undang-undang (RUU) yang kemudian ditandatangani oleh Ronald Reagan (presiden ke-40 AS) sebagai Undang-undang Kebebasan Sipil.

Isi dari UU tersebut adalah permintaan maaf resmi pemerintah AS atas penginterniran orang-orang Jepang. Dinyatakan pula bahwa tindakan AS kala itu didasarkan pada prasangka rasial, histeria perang dan kegagalan kepemimpinan politik.

Anggaran sebesar lebih dari US$ 1,6 miliar digelontorkan untuk mengganti ganti rugi, yang kemudian dibayarkan oleh AS kepada orang-orang Jepang-Amerika yang telah menjadi korban penginterniran, atau ahli waris mereka --tiap orang menerima US$ 20.000.

4 dari 6 halaman

3. Penggulingan Kerajaan Hawaii

Pada 17 Januari 1893, sekelompok pengusaha kelahiran Amerika sekaligus produsen gula, melancarkan kudeta untuk melawan Ratu Hawaii yang berkuasa kala itu, Lili'uokalani.

Ratu Liliuokalani dimakzulkan di Pulau Oahu oleh warga asing yang menetap di Honolulu (mayoritas merupakan warga negara Amerika Serikat).

Mereka didukung oleh Menteri John L. Stevens, sehingga mereka dapat memanggil marinir Amerika Serikat untuk "melindungi kepentingan Negeri Paman Sam. Para pemberontak memaksa Ratu untuk melepaskan dan menghapus Kerajaan Hawaii.

Setelah sang ratu digulingkan, kelompok itu mendirikan Pemerintahan Sementara Hawaii, yang kemudian berubah menjadi Republik Hawaii.

Tujuan utama mereka adalah untuk menggabungkan kepulauan Hawaii dengan AS atau aneksasi. Mereka akhirnya dapat mewujudkan keinginan mereka pada tahun 1898, ketika Hawaii secara resmi dicaplok oleh AS dan dikelola sebagai wilayah hingga tahun 1959.

Seratus tahun berselang, Kongres AS kemudian mengeluarkan resolusi bersama, yang secara resmi meminta maaf kepada orang-orang Hawaii atas keterlibatan pemerintah AS dalam kudeta pada 23 November 1993. Demikian seperti dicatat pada New York Times.

5 dari 6 halaman

4. Eksperimen Tuskegee

Selama Perang Dunia II, para ilmuwan yang mengabdi untuk Dinas Kesehatan Umum AS, memulai salah satu studi medis yang paling terkenal dan tidak etis, yang dilakukan selama Abad ke-20: Tuskegee Syphilis Experiment atau akrab dikenal sebagai Eksperimen Tuskegee.

Selama 40 tahun, dari 1932 hingga 1972, dokter yang bekerja dengan Tuskegee Institute di Alabama, mulai melakukan penelitian jangka panjang pada ratusan pria kulit hitam di AS untuk mempelajari perkembangan sifilis. Percobaab ini melibatkan 399 orang positif sifilis dan 201 yang negarif.

Para laki-laki tersebut tidak pernah diberitahu sebelumnya oleh ilmuwan-ilmuwan itu bahwa mereka adalah "kelinci percobaan". Mereka juga tidak pernah benar-benar diberikan perawatan khusus yang dijanjikan para dokter kepada mereka.

Sebagai imbalan, sebanyak 399 orang itu diberi makanan, pengobatan, dan asuransi gratis untuk pemakaman mereka. Mula-mula, peserta diberitahu bahwa prosesnya berlangsung hanya 6 bulan, namun proses berlanjut selama 40 tahun.

Percobaan ini resmi diberhentikan setelah ditemukannya penicillin dan perawatan medis lainnya untuk mengobati sifilis, menurut, Centers for Disease Control.

Eksperimen tersebut kemudian ditemukan oleh Associated Press dalam sebuah penggarapan berita investigasi pada tahun 1972. AS harus menebus semua itu dengan biaya anggaran sebesar US$ 10 juta per korban yang masih hidup atau keturunannya.

Presiden AS saat itu, Bill Clinton, secara resmi meminta maaf pada 1997 atas eksperimen yang disebutnya "gila" itu.

6 dari 6 halaman

5. Hukum Jim Crow

Beberapa hal mengkompromikan nilai-nilai pokok Konstitusi AS, selain itu juga meninggalkan jejak pada masyarakat Amerika sebagai pelopor perbudakan selama 246 tahun terhadap penduduk Afrika-Amerika.

Salah satunya terlihat jelas melalui hukum Jim Crow, aturan yang menandai orang Afrika-Amerika sebagai warga negara kelas dua. Ini adalah hukum negara bagian dan lokal yang diterapkan di AS selatan antara 1876 dan 1965.

Isinya mengatur keadaan separate but equal atau segregasi bagi ras negro. Dalam kenyataannya, fasilitas yang disediakan untuk orang negro selalu lebih jelek daripada fasilitas untuk orang kulit putih --misalnya sekolah negeri, ruang publik, fasilitas dan transportasi umum. Semuanya memiliki bagian terpisah untuk orang negro dan kulit putih.

Secara umum, hukum ini dibatalkan oleh Civil Rights Act of 1964 (UU Hak Sipil tahun 1964) dan Voting Rights Act (UU Hak Pemungutan Suara), namun baru diterapkan pada tahun 1970-an.

Setelah 1945, pergerakan Civil Rights mendapat dukungan luas dan menyerang Jim Crow secara nasional. Mahkamah Agung menyatakan pada 1954 bahwa pemisahan sekolah berdasarkan ras, secara de jure, adalah tidak konstitusional.

Namun pada 1954, secara de facto, hal ini masih berlangsung sampai tahun 1970-an.

Presiden AS kala itu, Lyndon B. Johnson, mendesak Kongres untuk mengesahkan UU Hak Sipil tahun 1964 agar membatalkan hukum Jim Crow, tentang pemisahan rumah makan, hotel, dan teater.

Sementaara itu, UU Hak Pemungutan Suara telah mengakhiri diskriminasi dalam pemilu tingkat serikat, negara bagian dan lokal.

Permintaan maaf resmi pemerintah AS atas perbudakan dan penerapan hukum Jim Crow, dikeluarkan oleh Dewan Perwakilan AS pada tahun 2008. Ini belum pernah terjadi sebelumnya, bahkan setelah beberapa dekade para anggota parlemen mencoba mendorong pemerintah untuk mau mengutarakan maaf mereka.

Dalam memperkenalkan resolusi tersebut, anggota dewan Steve Cohen (D-Tenn), mencatat bahwa pemerintah AS tidak pernah mengakui secara formal dan meminta maaf atas perbudakan tersebut. Permintaan maaf itu, kata Cohen, hanya bersifat simbolis.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.