Sukses

Ketakutan, Sanak Eks-Terpidana Kasus Penistaan Agama di Pakistan Minta Suaka

Keluarga eks-terpidana kasus penistaan agama di Pakistan, Asia Bibi, meminta suaka ke Inggris, AS, dan Kanada, karena takut oleh amuk massa.

Liputan6.com, Islamabad - Suami eks-terpidana mati kasus penistaan agama di Pakistan, telah memohon suaka kepada Inggris, Amerika Serikat atau Kanada karena khawatir akan keselamatan keluarganya jika terus bertahan di tanah air.

Ashiq Masih --suami dari Asia Bibi yang telah dibebaskan oleh Mahkamah Agung dari vonis hukuman mati pada 31 Oktober lalu-- mengatakan dia khawatir akan keselamatan keluarganya.

Mahkamah Agung membatalkan vonis hukuman mati yang ditetapkan oleh pengadilan rendah, dengan mengatakan bahwa kasus terhadap Asia Bibi didasarkan pada bukti yang lemah. Tapi, perempuan itu belum dibebaskan dari penjara.

Pembatalan vonis memicu protes massal dari kelompok garis keras yang mendukung undang-undang penistaan agama. Mereka terus menekan pengadilan untuk tetap menghukum mati Asia Bibi.

Akhirnya, pada Jumat 2 November 2018, pemerintah Pakistan mencapai kesepakatan dengan massa. Hal itu dilakukan karena mereka terus menggelar demonstrasi besar dan blokade jalan, sebagai bentuk protes atas keputusan Mahkamah Agung Pakistan.

Para anggota kelompok militan Tehreek e-Labbaik, memblokir sejumlah jalan raya di kota-kota terbesar Pakistan seperti di Karachi, Lahore, Peshawar dan Multan selama tiga hari. Para pengunjuk rasa juga menuntut agar para hakim Mahkamah Agung yang membatalkan vonis terhadap Asia Bibi, mati.

Dalam kesepakatan hari Jumat 2 November, pemerintah setuju untuk melakukan peninjauan kembali kasus Asia Bibi dan memberlakukan larangan perjalanan bagi ibu empat anak itu hingga proses peninjauan selesai. Sebagai imbalannya, kelompok garis keras diminta untuk menghentikan protes mereka, yang telah memblokir jalan dan membuat kehidupan terhenti di beberapa bagian negara.

Belum diketahui apakah Mahkamah Agung Pakistan akan membalikkan keputusannya, tetapi, peninjauan kembali oleh pengadilan biasanya memakan waktu bertahun-tahun. Cobaan untuk Asia Bibi sepertinya akan berlanjut sampai peninjauan selesai.

Ibu empat anak itu beserta keluargaya kini dirundung ketakutan atas kemungkinan reaksi keras dari para ekstremis.

"Saya meminta Perdana Menteri Inggris membantu kami dan sejauh mungkin memberi kami kebebasan," kata suami Asia Bibi, Ashiq Masih, seperti dikutip dari BBC, Minggu (4/11/2018). Dia juga meminta pemimpin Kanada dan AS untuk membantu.

"Kesepakatan (antara pemerintah dan kelompok massa) itu telah membuat bulu kuduk saya merinding," kata Ashiq Masih kepada media Jerman Deutsche-Welle.

"Adalah salah untuk menetapkan preseden hukum di mana Anda menumpuk tekanan ke peradilan."

"Situasi saat ini sangat berbahaya bagi kami. Kami tidak punya keamanan dan bersembunyi di sana-sini, sering mengubah lokasi kami."

Dia menambahkan: "Istri saya, Asia Bibi, sudah sangat menderita. Dia telah menghabiskan kurang dari 10 tahun di penjara. Anak perempuan saya sangat ingin melihatnya bebas, tapi sekarang upaya peninjauan ini akan memperpanjang derita."

Tanggapan Inggris

Anggota parlemen Inggris Tom Tugendhat, yang memimpin Komite Urusan Luar Negeri di Parlemen, mengatakan bahwa dia telah meminta UK Home Office (Kementerian Bbidang Keimigrasian, Keamanan, Hukum, dan Ketertiban) untuk "mengevaluasi situasi yang mendesak itu", lapor The Guardian. Ia juga mendesak Perdana Menteri Pakistan Imran Khan untuk segera bertindak.

Sementara itu, Menteri Informasi Pakistan Fawad Chaudry mengatakan kepada BBC bahwa keamanan telah "ditingkatkan" untuk melindungi Asia Bibi.

"Ya, ada situasi dan kami berurusan dengan itu, tapi saya jamin bahwa hidupnya tidak dalam bahaya," katanya kepada program Newshour BBC.

Dia juga menggambarkan kesepakatan yang dibuat antara pemerintah dengan para pengunjuk rasa sebagai upaya untuk "memadam kebakaran", mengatakan itu membantu "menyelesaikan situasi tanpa menggunakan kekerasan".

Di sisi lain, pengacara Asia Bibi, Saiful Malook telah melarikan diri dari Pakistan setelah menerima ancaman pembunuhan dari kelompok garis keras.

Malook mengatakan kepada The Associated Press awal pekan ini bahwa ia harus meninggalkan Pakistan karena pengikut ulama garis keras Khadim Hussain Rizvi --yang terafiliasi dengan Tehreek e-Labbaik-- telah mengancam akan membunuhnya serta hakim yang membatalkan vonis hukuman mati terhadap Asia Bibi.

Surat kabar Italia Corriere della Sera melaporkan bahwa Malook telah berada di Amsterdam dan akan berbicara dalam sebuah konferensi di sana. Setelah itu, ia akan pindah ke London secara permanen. Tapi, ia juga dikabarkan akan kembali ke Pakistan untuk melanjutkan pekerjaannya dalam kasus Asia Bibi apabila diberikan perlindungan oleh pasukan keamanan.

Dampak terkelam dari kasus itu pernah terjadi pada 2010 silam, tak lama setelah Asia Bibi dijatuhi vonis hukuman mati. Seorang politikus terkemuka, Gubernur Punjab Salman Taseer, dibunuh karena menyuarakan dukungannya terhadap Asia Bibi dan mendesak reformasi undang-undang penistaan agama.

Pembunuh Taseer, Mumtaz Qadri, divonis hukuman mati atas perbuatannya. Namun, oleh kelompok garis keras, pria itu dikultuskan, sampai-sampai, mereka membuat 'kuil' besar yang didedikasikan untuknya di pinggiran Islamabad.

Para pendukungnya juga menciptakan partai politik Tehreek e-Labbaik, berkampanye untuk melestarikan undang-undang penistaan agama dan mengumpulkan sekitar dua juta suara dalam pemilihan umum tahun ini. Mereka adalah partai yang sama yang menggelar kerusuhan dalam beberapa hari terakhir usai putusan pembatalan hukuman mati terhadap Asia Bibi.

 

Simak video pilihan berikut:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Kasus Asia Bibi

Asia Bibi (47) divonis hukuman mati oleh pengadilan tingkat pertama pada tahun 2010 setelah dituduh menghina Nabi Muhammad dalam sebuah adu mulut pada Juni 2009.

Kala itu, ia dituduh melakukan penistaan agama saat cek-cok dengan sekelompok perempuan muslim yang merupakan tetangganya. Mereka sedang memanen buah bersama ketika adu mulut pecah akibat perdebatan soal air yang diminum Asia Bibi.

Sekelompok perempuan itu mengatakan, Asia Bibi telah minum dari sumber mata air setempat menggunakan cangkir, sehingga mereka tidak bisa lagi menyentuhnya. Para lawan debatnya beralasan, perbedaan keyakinan yang dianut Asia Bibi membuat najis sumber mata air itu.

Dalam pengadilan, jaksa menuduh bahwa dalam adu mulut yang terjadi kemudian, sekelompok perempuan itu mengatakan Asia Bibi harus masuk Islam. Membalas komentar itu, Asia Bibi dituduh membuat tiga komentar ofensif tentang Nabi Muhammad sebagai jawaban.

Asia Bibi kemudian dipukuli di rumahnya, di mana para penuduhnya mengatakan bahwa dia mengaku melakukan penistaan agama. Dia ditangkap setelah penyelidikan polisi.

Ibu empat anak itu selalu mempertahankan ketidakbersalahannya selama delapan tahun terakhir, di mana ia telah mendekam di sel isolasi, guna menunggu hasil upaya banding hingga ke Mahkamah Agung Pakistan.

Hingga akhirnya pada Rabu 31 Oktober 2018, Hakim Agung Saqib Nisarm, membacakan putusan pembatalan vonis hukuman mati terhadap perempuan itu. Ia juga mengatakan bahwa Asia Bibi bisa segera bebas dari penjara di Sheikupura, dekat Lahore, jika tidak ada lagi dakwaan terhadapnya sehubungan dengan kasus lain, demikian seperti dikutip dari BBC.

Para Hakim Mahkamah Agung Pakistan mengatakan bahwa dakwaan jaksa yang dirumuskan di pengadilan rendah telah "gagal membuktikan kasusnya tanpa bukti yang logis".

"Kasus ini didasarkan pada bukti yang lemah tanpa ada prosedur penyelidikan yang laik," kata para hakim mahkamah agung.

Pengakuan terdakwa yang digunakan sebagai alat bukti juga tidak sah secara hukum, kata hakim mahkamah agung, karena "disampaikan di depan orang banyak yang tengah mengancam hendak membunuhnya."

Menutup putusan pembatalan vonis hukuman mati terhadap Asia Bibi, hakim mahkamah agung mengutip salah satu hadis Nabi Muhammad yang menyerukan agar umat non-muslim diperlakukan dengan baik.

Hukum di Pakistan mengatur sejumlah ancaman bagi terdakwa kasus penistaan agama.

Pengkritik undang-undang penistaan agama di Pakistan mengatakan, pasal tersebut sering digunakan (atau disalahgunakan) sebagai balas dendam yang dipicu percekcokan pribadi dan sepele. Pembuktian atas kasus tersebut pun seringkali didasari pada bukti-bukti yang tidak kuat.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.