Sukses

Presiden Xi Jinping Pantau Ketat Taiwan dan Laut China Selatan, Siaga Perang?

Presiden China memerintahkan militernya memantau ketat Laut China Selatan dan Taiwan, guna mempersiapkan kemungkinan konflik.

Liputan6.com, Beijing - Presiden Tiongkok Xi Jinping, pekan lalu, memerintahkan Komando Wilayah Selatan Militer China, yang bertanggung jawab memantau Laut China Selatan dan Taiwan, meningkatkan kemampuan militernya guna mempersiapkan kemungkinan konflik, menurut laporan surat kabar Hong Kong.

Selama kunjungan ke wilayah itu pada Kamis 25 Oktober 2018, Xi Jinping mengatakan bahwa China perlu "berkonsentrasi dan bersiap untuk berperang," lapor South China Morning Post, mengutip transkrip pidato Xi Jinping dari televisi pemerintah China Central Television.

Kantor berita China Xinhua juga mencatat pidato itu, melaporkan bahwa Xi Jinping "menggarisbawahi pentingnya mempersiapkan perang dan pertempuran," demikian seperti dikutip dari Quartz, Selasa (30/10/2018).

Pada hari yang sama dengan pidato Xi Jinping, Menteri Pertahanan China Wei Fenghe mengatakan, negaranya tidak akan menyerahkan "satu bagian pun" dari wilayahnya dan memperingatkan bahwa "desakan berulang" dari Taiwan yang 'menagih' kedaulatannya dari China akan "menghasilkan tindakan militer langsung."

Dalam beberapa tahun terakhir, Tiongkok semakin menegaskan kehadirannya di Laut China Selatan, dengan memiliterisasi pulau-pulau dan klaster terumbu karang, serta memperkuat titik-titik lain yang didudukinya.

Tiongkok mengklaim bahwa mereka memiliki hak kedaulatan yang tak terbantahkan atas kawasan Laut China Selatan dan pulau-pulau yang ada di dalamnya.

Beijing melandasi klaim kedaulatan sepihak itu dengan menggunakan konsep demarkasi 'the nine-dash line' atau sembilan garis putus, mencakup seluruh kawasan gugus kepulauan Spratly, Paracel, Pratas, Macclesfield Bank, dan Scarborough Shoal -- secara akumulatif membentuk sebagian besar kawasan Laut China Selatan.

Namun, klaim tersebut ditentang oleh banyak negara, meliputi, Filipina, Vietnam, Taiwan, Brunei Darussalam, Indonesia, termasuk Amerika Serikat -- meski berada jauh dan berbeda kawasan.

Kritik itu berfokus pada pembangunan fasilitas militer China di pulau serta daratan reklamasi di kawasan. Sementara AS menyebut, infrastruktur itu akan membatasi juga membahayakan navigasi perairan internasional.

Pengadilan Arbitrase Internasional di The Hague telah membatalkan klaim sepihak tersebut pada Juli 2016, tetapi, Beijing mengabaikan keputusan itu, dengan terus memodernisasi dan meningkatkan kuantitas serta aktivitas angkatan lautnya di Laut China Selatan, menurut berbagai laporan analis dan organisasi pemantau.

Menanggapi hal itu, Laksamana AL-AS Philip Davidson, yang memimpin Komando Indo-Pasifik AS mengatakan kepada Senat AS pada sebuah rapat dengar pendapat awal tahun ini bahwa Tiongkok "sekarang mampu mengendalikan Laut China Selatan dalam semua skenario singkat perang dengan Amerika Serikat."

Retorika yang dilontarkan Xi Jinping pekan lalu itu tidak sepenuhnya baru. Pada bulan November 2017, misalnya, Xi Jinping mengatakan kepada militer bahwa mereka harus siap untuk "bertarung dan memenangkan perang."

Tetapi, hal itu menambah situasi yang sudah tegang di salah satu titik geopolitik terpanas di dunia.

Terbaru, pada 30 September 2018, sebuah kapal tempur Tiongkok hampir bertabrakan dengan kapal perang AS di Laut China Selatan, setelah melakukan apa yang disebut oleh pejabat militer Amerika sebagai manuver "tidak aman dan tidak profesional".

Di sisi lain, Beijing telah berulang kali memperingatkan AS agar menahan diri dan tidak terlibat di Laut China Selatan. Negeri Tirai Bambu juga mengklaim bahwa kebebasan patroli navigasi -- seperti yang hendak direncanakan AS -- merupakan pelanggaran terhadap kedaulatan China.

 

Simak video pilihan berikut:

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Kapal Perang Tiongkok dan AS Hampir Bersinggungan di Laut China Selatan

Pada September 2018 lalu, sebuah kapal perang Tiongkok berlayar dalam jarak beberapa meter dari kapal perusak milik Amerika Serikat (AS), menyebabkan pertemuan "tidak aman dan tidak profesional" karena keduanya berada di perairan yang diperebutkan di Laut China Selatan.

USS Decatur --kapal perusak milik Angkatan Laut AS-- sedang melakukan operasi militer yang disebutnya sebagai "operasi kebebasan bernavigasi" pada Minggu 30 September, ketika memasuki area 12 mil laut dari karang Gaven dan Johnson di Kepulauan Spratly yang disengketakan.

Dikutip dari The Guardian pada Selasa 2 Oktober 2018 Kementerian Pertahanan China mengatakan bahwa sebuah kapal angkatan laut miliknya telah dikirim untuk mengusir kapal AS. Disebutkan pula bahwa pihaknya dengan tegas menentang operasi militer AS, yang dianggap sebagai ancaman terhadap kedaulatan Beijing.

Kementerian luar negeri di Beijing mengatakan dalam sebuah pernyataan terpisah, bahwa sangatlah mendesak agar AS menghentikan tindakan "provokatif" tersebut di Laut China Selatan.

Jarak 12 mil umumnya diterima sebagai bagian dari wilayah perairan daratan, namun klaim serupa yang dibuat China di Kepulauan Spratly dinilai kontroversial oleh masyarakat global. Beijing mengakui secara sepihak seluruh wilayah gugusan pulau atol itu sebagai area kedaulatannya.

"Selama operasi militer yang dilakukan China, kapal perusak Luyang mendekati USS Decatur dalam manuver yang tidak aman di sekitar Gaven Reef di Laut China Selatan," kata Kolonel AL Nate Christensen, juru bicara Armada Pasifik AS, Senin 1 Oktober.

Kapal China kemudian melakukan serangkaian "manuver yang semakin agresif, dan memperingatkan Decatur untuk meninggalkan daerah itu," tambahnya.

"(Kapal) penghancur China mendekat dalam jarak 45 yard (sekitar 45 meter) dari busur Decatur, setelah itu Decatur melakukan manuver untuk mencegah tabrakan," jelas Christensen.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.