Sukses

Australia dan AS Tantang China dalam Proyek Infrastruktur Komunikasi di Papua Nugini

Diplomat AS di Australia mengonfirmasi, kedua negara bersaing dengan China dalam mengejar proyek jaringan internet di Papua Nugini.

Liputan6.com, Canberra - Diplomat Amerika Serikat di Australia mengonfirmasi secara terbuka bahwa kedua negara sedang bersaing dengan perusahaan telekomunikasi asal China, Huawei, dalam mengejar proyek pembangunan jaringan kabel internet domestik di Papua Nugini.

Pemerintah Federal Australia melibatkan diri untuk membangun kabel internet bawah laut di Papua Nugini dan Kepulauan Solomon - sebagian karena sejumlah badan keamanan tak mau memberi Huawei akses ke infrastruktur internet Australia.

Namun Canberra menanggapi dengan waspada ketika Pemerintah Papua Nugini mengumumkan Huawei akan membangun jaringan domestik, yang memicu kekhawatiran bagi Australia dalam hal keamanan siber.

Sebelumnya, pemerintah Federal Australia pun juga telah melarang Huawei ambil bagian dalam peluncuran jaringan seluler 5G Australia, karena itu bisa terkena "kebijakan ekstra-yudisial" dari Beijing.

Australia telah mencoba untuk menghadang China dengan menawarkan untuk membiayai jaringan Papua Nugini dari dana infrastruktur bersama dengan AS dan Jepang.

Menteri-menteri Australia telah menolak berkomentar secara terbuka tentang pergulatan geopolitik itu, tetapi Kuasa Usaha AS, James Carouso, memberikan jawaban yang gamblang ketika ditanya tentang jaringan tersebut.

"Kami sedang memberikan tawaran tandingan. Ini adalah negosiasi yang sedang berlangsung," kata Carouso, seperti dikutip dari ABC Indonesia, Senin (1/10/2018).

"Akhirnya itu semua terserah kepada Pemerintah Papua Nugini, Tapi idenya adalah untuk memberi alternatif."

"Ini bukan untuk mengatakan jangan berbisnis dengan China. Penawaran China sudah disampaikan. Terserah kami untuk bersaing."

AS dan Australia sama-sama terkesima dengan peningkatan investasi infrastruktur China di kawasan itu. Mereka melontarkan tudingan bahwa Beijing mendorong korupsi dan membebani negara-negara kecil dengan utang yang tidak berkelanjutan.

Pada bulan Mei, AS, Australia dan Jepang mengumumkan kemitraan trilateral untuk "investasi infrastruktur di Indo-Pasifik".

Menteri Luar Negeri AS, Mike Pompeo, juga mengatakan pada saat itu bahwa Amerika Serikat akan menghabiskan lebih dari US$ 113 juta (atau setara Rp 1,62 triliun) untuk proyek-proyek infrastruktur di seluruh kawasan tersebut.

Kendati demikian, total fulus US$ 113 juta terbilang kecil jika dibandingkan dengan miliaran dolar dana yang telah digelontorkan Beijing --dalam bentuk proyek pembangunan infrastruktur, transportasi, dan investasi-- ke negara-negara di kawasan tersebut. Demikian seperti dikutip dari BBC.

Proyek yang berada di bawah payng besar kebijakan Belt and Road Initiative itu, dipandang oleh Barat sebagai upaya China untuk meningkatkan pengaruh politik dan strategisnya secara global melalui insentif-insentif finansial dan bantuan pembangunan infrastruktur di Asia-Pasifik.

 

Simak video pilihan berikut:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

AS Tetapkan Skema Donor yang Rumit, China Tawarkan Sebaliknya

Beberapa pulau di Pasifik dan negara-negara Asia Tenggara telah mengeluhkan bahwa mencari pendanaan infrastruktur dari Amerika Serikat dan donor tradisional lainnya seperti Bank Dunia, karena bisa memakan waktu dan rumit.

Carouso mengakui bahwa beberapa paket pembiayaan "sulit untuk digunakan" dan terlalu kompleks.

"Ketika kami membiarkan sistem saat ini terus berjalan, ada perusahaan swasta luar negeri kami, perusahaan swasta dan Bank Pembangunan Asia serta Bank Dunia, semua maju secara terpisah," katanya, seperti dikutip dari ABC Indonesia.

"Sedangkan skema pendanaan China itu bermodel 'hanya tanda tangan di sini' - tidak ada studi kelayakan, tidak ada pernyataan dampak lingkungan - 'cukup tanda tangan di sini dan Anda akan mendapatkan pelabuhan atau bandara, atau apa pun yang Anda inginkan'," klaimnya.

Ia mengatakan Amerika Serikat tidak akan meninggalkan sistem 'checks and balances', tetapi akan berbuat lebih banyak untuk membantu negara-negara yang lebih kecil menegosiasikan prosesnya.

"Jadi apa yang akan kami lakukan adalah mengatakan kami akan membantu Anda, kami akan membimbing anda di sepanjang prosesnya, di sepanjang proses transparan yang memberi tahu Anda apa yang akan Anda dapatkan," katanya.

"Berapa biayanya, bagaimana Anda akan membayar kembali pinjaman apapun, apakah itu pinjaman atau hibah, berapa banyak konten domestik yang akan ada dari negara Anda termasuk tenaga kerja, material, dan jasa. Apa yang ditimbulkan terhadap PDB Anda?.”

"Berbeda dengan model 'tanda tangan di sini dan bangun pelabuhan'. Kami pikir itu model yang cukup bagus".

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.