Sukses

Imigran Muslim Naturalisasi Wajib Salaman ke Wali Kota Denmark, Kenapa?

Pemerintah sayap kanan di Denmark ingin menetapkan aturan baru tentang jabat tangan. Kegiatan ini akan diwajibkan dalam upacara naturalisasi bagi imigran Muslim.

Liputan6.com, Copenhagen - Oposisi yang sedang berkembang di Denmark ---bersama koalisi sayap kanan yang berkuasa-- berencana tidak akan mengesahkan kewarganegaraan bagi imigran Muslim yang menolak untuk berjabat tangan dengan wali kota saat upacara naturalisasi.

Sebuah jajak pendapat yang diterbitkan pada hari Kamis, 20 September 2018, menunjukkan 52% responden menentang proposal itu. Aturan baru --yang diperkenalkan oleh pemerintah konservatif minoritas pada bulan Juni-- dianggap mempersulit imigran untuk memperoleh kewarganegaraan Denmark.

Beberapa wali kota bahkan menegaskan, mereka akan mengabaikan persyaratan itu jika undang-undang benar-benar disahkan.

"Sangat tidak masuk akal bahwa menteri imigrasi menganggap jabat tangan adalah sesuatu yang penting," kata Wali Kota Kerteminde, Kasper Ejsing Olesen.

"Berjabat tangan tidak menunjukkan apakah Anda terintegrasi atau tidak," imbuhnya, seperti dikutip dari The Guardian, Jumat (21/9/2018).

Seorang wali kota lainnya, Ole Bjoerstorp dari Ishoej, menyebut aturan itu tidak relevan dan tidak konstitusional.

"Saya berkewajiban untuk menegaskan fakta bahwa Denmark adalah negara dengan kebebasan beragama," tuturnya.

Rencana Undang-Undang (RUU) untuk memasukkan jabat tangan sebagai kegiatan wajib dalam upacara pelantikan kewarganegaraan baru telah diajukan oleh Konservatif, anggota dari koalisi tiga partai, dan partai Rakyat Denmark (Danish People's Party), di mana dukungan parlementer akan tergantung pada pemerintah minoritas.

Di satu sisi, RUU ini didukung oleh beberapa tokoh pemerintah terkemuka.

"Jabat tangan adalah cara kita saling menyapa di Denmark," kata Menteri Imigrasi Denmark, Inger Stoejberg yang berasal dari Partai Venstre --mitra koalisi senior. "Itu adalah cara kita menunjukkan rasa hormat satu sama lain di negara ini."

Beberapa Muslim enggan berjabat tangan karena alasan keyakinan. Sebagai gantinya, mereka memilih untuk meletakkan tangan di dada, tanda sapaan sopan. Praktik tersebut memicu kontroversi di beberapa negara, termasuk Denmark.

Di Swiss pada bulan lalu, pasangan Muslim ditolak kewarganegaraannya karena mereka tidak mau bersalaman dengan lawan jenis dalam sesi wawancara di kantor imigrasi.

Di Swedia, seorang wanita didenda 40.000 krona Swedia (SEK) atau Rp 66,6 juta karena menolak berjabat tangan dengan pewawancara pria sebelum wawancara kerja dimulai.

Sedangkan pada tahun ini, pengadilan tinggi Prancis memutuskan untuk menolak kewarganegaraan seorang wanita Aljazair karena alasan serupa --dia enggan bersalaman dengan pejabat imigrasi laki-laki ketika upacara naturalisasi.

Kebijakan imigrasi dan integrasi Denmark dianggap telah bergeser secara signifikan ke sayap kanan dalam beberapa tahun terakhir, disertai dengan peningkatan retorika anti-Islam.

Bahkan dari kubu Sosial Demokrat yang berhaluan kiri, yang telah menyebut agama sebagai penghalang untuk integrasi dan mengatakan beberapa Muslim tidak menghormati Denmark. Imbasnya, beberapa wanita Muslim memilih untuk tidak bekerja karena alasan agama.

 

Saksikan video pilihan berikut ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Dipecat Setelah Menolak Berjabat Tangan

Kasus berjabat tangan di Norwegia ini berakhir tragis: pemecatan dari pekerjaan. Berikut ini kisah selengkapnya.

Ekeberg Primary School di Oslo, Norwegia, menolak untuk memperpanjang kontrak seorang guru honorer karena menolak berjabat tangan dengan rekan-rekan perempuannya. Pria beragama Islam itu menyebut alasannya untuk tidak bersalaman dengan teman wanitanya karena ia adalah seorang Muslim.

Keyakinannya ini mengajarkannya agar tidak melakukan kontak fisik dengan lawan jenis secara langsung lantaran dikhawatirkan akan timbul "godaan", demikian diberitakan oleh surat kabar lokal Dagsavisen.

Menurut keterangan Kepala Sekolah, Bente Alfheim, pria itu telah memberitahu pihak sekolah tentang agama yang dianutnya sebelum diterima bekerja sebagai tenaga pengajar tambahan. Meski demikian, staf sekolah telah menjelaskan bahwa mereka tidak menerima praktik "tidak berjabat tangan dengan wanita".

"Para guru perempuan kesal hanya karena ia menolak bersalaman dengan mereka," ucap Alfheim.

"Kami selalu menegaskan bahwa hal itu adalah sebuah masalah, kami tidak pernah mengatakan kami menerimanya. Namun demikian, kami memberinya kesempatan untuk mempekerjakannya," kata Alfheim kepada radio Norwegia, NRK, yang dikutip Sputnik, Kamis 9 Agustus 2018.

Di satu sisi, guru pria itu menolak anggapan yang menyebut penolakannya merupakan bentuk tidak menghormati wanita. Ia menekankan, sikap tersebut harus dilakukannya karena ia mengikuti ajaran nabi.

Kasus ini memicu reaksi polarisasi di masyarakat. Beberapa politisi mendukung keputusan sekolah-sekolah di Norwegia untuk memecat gurunya yang beragama Islam karena dianggap mendiskriminasi perempuan.

Pemimpin Dewan Kota Oslo, Raymond Johansen dari Partai Buruh, membela keputusan sekolah, dengan alasan bahwa penolakan untuk berjabat tangan dengan lawan jenis seharusnya tidak terjadi di Oslo.

"Anda tidak boleh menolak uluran tangan orang lain yang mengajak bersalaman, karena ini dianggap tidak sopen. Terlebih Anda membawa nama agama," tandas Johansen.

Namun, yang lain berpendapat bahwa pemecatan tersebut merupakan pelanggaran terhadap Undang-Undang Anti-Diskriminasi.

"Kami memiliki kebebasan beragama di Norwegia," kata Akhenaton Oddvar de Leon, pemimpin Organisasi Melawan Diskriminasi Publik (Organization Against Public Discrimination). "Orang-orang berkata bahwa Anda tidak mendapatkan pekerjaan yang diinginkan jika agama yang Anda anut menjadi hambatan untuk pekerjaan itu sendiri, tetapi kasus ini seharusnya tidak terjadi di Oslo," sebutnya.

De Leon juga berkaca pada kasus serupa yang dialami oleh sang guru itu, ketika pengacara Metne Hodne dijatuhi hukuman denda karena menolak melayani kliennya yang Muslim dan berjilbab.

Hodne kemudian mengajukan gugatan atas pencemaran nama baik, tetapi ia kalah.

Bukan Budaya di Norwegia

Ombudsman Urusan Kesetaraan dan Non-Diskriminasi (Equality and Non-Discrimination Ombudsperson) Hanne Bjurstrøm mengatakan bahwa masyarakat harus bisa lebih terbuka dalam menyikapi penolakan tersebut.

"Tentu saja, Anda harus memperlakukan kolega Anda dengan hormat. Ada banyak cara untuk melakukannya selain berjabat tangan. Misalnya, dengan menatap matanya dan mengangguk," Bjurstrøm mengatakan kepada surat kabar Vårt Land.

Kendati demikian, dia mengakui bahwa menolak berjabat tangan dengan teman, orang tua dan anak-anak adalah sesuatu yang berseberangan dengan budaya di Norwegia.

Kasus paling menonjol adalah ketika anggota senior dari Partai Hijau Swedia (Swedish Green Party) Yasri Khan harus mengundurkan diri menyusul penolakannya untuk bersalaman dengan seorang wartawati usai ia diwawancara.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.