Sukses

Mantan Presiden Taiwan Serukan Jajak Pendapat Tentang Kebijakan Satu China

Mantan presiden Taiwan Chen Shui-bian menyerukan pemerintahan saat ini untuk melakukan referendum tentang isu gabung dengan China.

Liputan6.com, Taipei - Mantan presiden Taiwan Chen Shui-bian menyerukan referendum mengenai apakah negara pulau itu ingin menjadi bagian dari China, atau tidak.

Chen, yang komentarnya dilaporkan di surat kabar Jepang, juga mengatakan bahwa pemimpin yang sekarang Tsai Ing-wen, seharusnya tidak berharap terlalu banyak dari Presiden AS Donald Trump, yang memperlakukan pulau itu sebagai pion.

Dikutip dari South China Morning Post pada Rabu (5/9/2018), Chen mengambil bagian dalam apa yang digambarkan sebagai "pembicaraan" dengan warga Taiwan-Jepang di hadapan seorang wartawan dari surat kabar Sankei.

Namun, pernyataan itu --yang dibuat di kota Kaohsiung di Taiwan-- merupakan pelanggaran terhadap kondisi pembebasan bersyarat, di mana ia mendapat remisi dari total 19 tahun penjara atas kasus korupsi.

Chen mengatakan bahwa Presiden Tsai, dari Partai Progresif Demokrat yang condong ke arah kemerdekaan, harus mendorong referendum agar dunia tahu bahwa "rakyat Taiwan tidak ingin menjadi bagian dari China".

Menekankan bahwa Taiwan menghadapi tantangan serius dari China, yang telah meningkatkan tekanan militer dan diplomatik di pulau itu, dia mengatakan sudah waktunya bagi Presiden Tsai untuk mengambil tindakan daripada mempertahankan status quo.

"Kami tidak memiliki kekuatan militer (kuat), tetapi apa yang bisa kami lakukan adalah menggunakan cara-cara demokratis untuk melawan (China)," katanya menegaskan.

China menganggap Taiwan sebagai provinsi yang akhirnya harus dipersatukan kembali dengan daratan, jika perlu dengan kekerasan.

Anggapan ini telah menargetkan negara pulau itu dengan berbagai cara, mulai dari merebut para sekutu diplomatiknya yang sedikit, hingga menuntut bisnis swasta --seperti maskapai penerbangan dan perusahaan internasional-- merujuk Taiwan sebagai bagian dari Beijing, dalam upaya untuk membuat Presiden Tsai menerima one-China policy atau kebijakan satu-China.

Beijing telah menekankan bahwa kebijakan tersebut adalah landasan politik untuk memulai kembali hubungan lintas-selat, tetapi Presiden Tsai menolak untuk menerimanya sejak menjabat pada tahun 2016.

Mengenai hubungan dengan AS, Chen mengatakan pemerintahan Presiden Donald Trump dinilainya kian ramah kepada Taiwan, tetapi dalam kenyataannya "Taiwan telah lama tetap sebagai kartu AS (untuk bermain) melawan China".

"Presiden Tsai seharusnya tidak berharap terlalu banyak dari pemerintahan Trump," jelas Chen.

"Dengan Trump melancarkan perang dagang melawan China, hubungan antara Taiwan dan AS justru menghangat," lanjutnya.

 

Simak video pilihan berikut:

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Komentar yang Memicu Pro dan Kontra

Komentar Chen diperkirakan akan mendorong tuduhan bahwa ia telah melanggar ketentuan pembebasan bersyarat medisnya, yang melarangnya berbicara kepada media berita dan membuat pidato publik untuk acara politik apa pun.

Surat kabar Sankei mengatakan komentar itu dibuat ketika Chen bertemu teman-teman dari Jepang.

Lee Chin-kuo, wakil kepala penjara Taichung, di mana Chen telah dipenjara, mengatakan mantan pemimpin itu tidak secara aktif mencari wawancara dengan media. Ia juga menambahkan bahwa otoritas hukum tidak akan mengambil tindakan lebih lanjut atas hal tersebut.

Tetapi Lee Yen-hsiu, seorang anggota parlemen Kuomintang, mengkrtik bahwa pemerintahan Presiden Tsai menutup mata terhadap kegiatan Chen, dan tidak ada tahanan lain yang dibebani secara medis, yang diizinkan untuk berperilaku dengan cara yang sama.

"Dia sedang dalam pembebasan bersyarat medis dan seharusnya mengikuti peraturan dan tetap diam di rumah, tetapi dalam beberapa tahun terakhir, dia tidak hanya membuat sejumlah penampilan publik tetapi juga tetap sangat vokal di media sosial dan publikasi lainnya," dia berkata.

Chen, mantan anggota DPP Tsai, mengkritik secara tajam penggantinya, Ma Ying-jeou, dari Kuomintang yang ramah daratan, dan menudingnya melukai Taiwan.

Chen, yang dibebaskan setelah menjalani hukuman lima tahun pada tahun 2015, juga mengatakan hukuman penjaranya karena korupsi adalah hasil dari perburuan politik. Tetapi, ia mengaku bersedia menjadi "salib demokratis" demi Taiwan.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

  • Negara dengan penduduk terbanyak di seluruh dunia. Negara ini telah berganti nama menjadi Republik Rakyat Tiongkok.
    Negara dengan penduduk terbanyak di seluruh dunia. Negara ini telah berganti nama menjadi Republik Rakyat Tiongkok.

    China

  • taiwan