Sukses

Pengadilan Brasil Tutup Perbatasan dari Serbuan Pengungsi Venezuela

Pangadilan Brasil memutuskan untuk menutup perbatasan dari serbuan pengungsi Venezuela yang kelaparan dan rawan terkena kesulitan besar.

Liputan6.com, Brasilia - Seorang hakim di Brasil memutuskan untuk menutup area perbatasan di negara bagian Roraima di wilayah utara. Hal itu dimaksudkan untuk menyetop serbuan pengungsi asal Venezuela yang berupaya lari dari ancaman kelaparan dan kesulitan lain di kampung halaman mereka.

Hakim Helder Barreto mengatakan dia telah menangguhkan masuknya imigran Venezuela sampai kondisi "penerimaan kemanusiaan" diciptakan, tetapi aktivis yang bekerja memantau nasib migran menyerang keputusan sebagai "tidak masuk akal".

Suster Telma Lage dari Lembaga Migrasi dan Hak Asasi Manusia, yang membantu para migran rentan di ibukota Roraima, Boa Vista, mengatakan hakim telah melanggar kewenangannya.

"(Venezuela) memasuki Brasil dan mencari perlindungan karena situasi rentan yang mereka hadapi," katanya. "Apa yang kami takutkan adalah kurangnya pilihan bagi mereka yang dekat dengan perbatasan."

Sejak 2015, sebagaimana dikutip dari The Guardian pada Selasa (7/8/2018), lebih dari 56.000 orang Venezuela mencari perlindungan atau tempat tinggal di Brasil, di tengah berlanjutnya gejolak politik dan keruntuhan ekonomi di negara asal mereka.

Namun di satu sisi, banjir migran Venezuela itu justru kian memperparah kondisi layanan kesehatan dan pendidikan di negara bagian Roraiman yang miskin.

"Tidak ada gunanya menerima imigran Venezuela jika mereka akan mengalami kondisi yang sama atau lebih buruk di sini," kata Hakim Barreto.

Suely Campos, gubernur negara bagian Roraima, menyambut keputusan itu dan menyalahkan pemerintah federal karena kurangnya dukungan "total".

"Dalam hal ini, kami yang berurusan dengan tragedi sosial di perbatasan, bukan pemerintah federal," kata Campos dalam sebuah pernyataan.

Campos telah mendesak mahkamah agung Brasil untuk menutup perbatasan melalui gugatan, di mana juga meminta pemerintah mengembalikan dana senilai US$ 49 juta (setara Rp 707 miliar) yang dihabiskan untuk mengurusi pengungsi.

Salah satu dari gugatannya tersebut berhasil meyakinkan pemerintah untuk mengeluarkan dekrit, yang memerintahkan setiap orang menunjukkan identitas lengkap, termasuk paspor, sebelum mengakses layanan kesehatan dan sosial.

 

Simak video pilihan berikut: 

 

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Oposisi Mengajukan Banding

Negara mengatakan permintaan layanan kesehatan telah meningkat 6.500 persen tahun lalu, bersamaan dengan naiknya tingkat kejahatan menjadi 132 persen sejak 2015, dan hal itu salah satu pemicu utamanya brkaitan dengan isu migran.

Tetapi Sister Lage mengatakan bahwa kebanyakan migran tidak memiliki paspor, sehingga kebijakan pemnbatasan dari peemrintah mengecualikan mereka dari hak menerima perawatan kesehatan.

Jaksa dan Kantor Pertahanan Umum Brasil mengajukan banding ke pengadilan untuk mencoba membatalkan keputusan terkait, dengan alasan bahwa imigran yang memasuki Brasil di Roraima berada dalam situasi "kerentanan ekstrim".

Ditambahkan pula bahwa larangan mengakses layanan kesehatan akan memicu risiko epidemi, terutama karena Roraima saat ini sedang berjuang melawan wabah campak.

Pada Minggu 5 Agustus, Hakim Barreto setuju untuk menunda klausul keputusan tentang paspor dan deportasi, namun tetap menutup perbatasan dengan Venezuela.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.