Sukses

Dituduh Larang Warganya Laksanakan Ibadah Haji, Ini Kata Pemerintah Qatar

Kementerian Urusan Agama Qatar mengatakan, pihaknya terus bekerja dengan otoritas Arab Saudi.

Liputan6.com, Doha - Qatar membantah tuduhan yang menyebut pemerintah mencegah warga melakukan haji tahunan ke Mekah. Demikian kantor berita resmi Qatar News Agency melaporkan, sebagaimana melansir Al Jazeera, Jumat (3/8/2018).

Otoritas di Kementerian Urusan Agama juga menampik sentimen tersebut melalui sebuah pernyataan pada Rabu, 1 Agustus. Mengatakan bahwa bukan melarang kepada setiap orang, kementerian hanya menyesalkan mereka yang menyalahgunakan ibadah haji untuk tujuan politik.

Departemen tersebut mengklaim, mereka telah melakukan sejumlah upaya bersama pihak berwenang Arab Saudi untuk menghilangkan segala hambatan bagi warga negara Qatar dan siapa saja yang bersedia ikut serta dalam ibadah haji tahun ini, yang diatur untuk dimulai pada 19 Agustus.

Gubernur Provinsi Mekah menuturkan bahwa belum ada jemaah dari Qatar yang datang ke Arab Saudi hingga saat ini.

"Tidak ada jemaah Qatar yang tiba hingga hari ini," kata Gubernur Khalid bin Faisal Al Saud.

Arab Saudi, Uni Emirat Arab dan Bahrain memberlakukan blokade darat, laut dan udara di Qatar pada bulan Juni 2017. Warga Qatar kemudian diberi waktu selama 14 hari untuk meninggalkan Arab Saudi, Uni Emirat Arab dan Bahrain.

Selain Mesir, tiga negara Teluk menuduh Qatar mendukung terorisme dan mendestabilisasi kawasan itu. Meski demikian, segala anggapan itu ditepis Qatar.

 

Saksikan video pilihan berikut ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Merasa Nyawanya Terancam, Pangeran Uni Emirat Arab Kabur ke Qatar

Qatar tengah mengalami hubungan tak harmonis dengan Uni Emirat Arab (UEA) sejak Krisis Diplomatik Teluk 2017, namun ada satu laporan mengejutkan beberapa bulan lalu.  Seorang pangeran dari UEA dikabarkan mencari suaka ke Qatar, menyusul ketegangan hubungan antara yang bersangkutan dengan emir top di negara monarki tersebut.

Pangeran Syekh Rashid bin Hamad al-Sharqi (31) menjelaskan, tindakan itu dilakukan karena ia merasa nyawanya terancam jika harus terus menetap di UEA. Tak ayal, kedatangan Syekh Rashid ke Doha menimbulkan dilema bagi Qatar.

Arab Saudi dan UEA telah memimpin kampanye untuk mengisolasi Qatar, memotong semua hubungan diplomatik dan perdagangan dalam upaya guna menekan monarki kecil kaya minyak itu untuk mematuhi kebijakan luar negeri bersama dan bergabung dengan tindakan keras mereka terhadap konservatisme.

Qatar, bagaimanapun, telah menolak untuk secara terbuka mengakui kehadiran Syekh Rashid. Anggota kerajaan Qatar yang anonim menegaskan bahwa negaranya telah mengizinkan Syekh Rashid untuk tinggal, namun ia tak menyebut soal rencana Qatar untuk memberikan suaka.

Ia juga mengatakan bahwa Doha pun merasa 'tak nyaman' soal rincian perselisihan Syekh Rashid dengan Abu Dhabi.

Seperti dilaporkan The New York Times, dikutip pada Selasa 16 Juli 2018, "kaburnya sang pangeran" mengindikasikan potensi gejolak politik di internal tujuh federasi emirat (kerajaan) --yang membentuk UEA.

Uni Emirat Arab merupakan negara monarki yang terdiri dari federasi tujuh emirat: Abu Dhabi, Ajman, Dubai, Fujairah, Ras al-Khaimah, Sharjah dan Umm al-Quwain.

Syekh Rashid merupakan anak kedua dari Emir (Raja) Fujairah, Syekh Hamad bin Mohammed Al Sharqi. Fujairah merupakan emirat terkecil (dari segi wilayah dan ekonomi) di UEA.

Pada 16 Mei 2018, Syekh Rashid mendadak muncul di Bandara Internasional Doha. Sejumlah kabar menyebut, pada hari yang sama, Syekh Rashid segera meminta suaka kepada pejabat Qatar.

Dia mengatakan kepada pejabat Qatar bahwa nyawanya terancam usai berselisih dengan penguasa Abu Dhabi --emirat kaya minyak, ibu kota, sekaligus satu dari tujuh monarki yang mendominasi UEA.

Pejabat Qatar yang bersangkutan pun mengonfirmasi bahwa Syekh Rashid telah meminta suaka.

The New York Times melaporkan, Syekh Rashid menjadi figur pertama sepanjang 47 tahun sejarah Uni Emirat Arab, di mana seorang anggota dari tujuh emirat secara terbuka mengkritik pemerintahan dan anggota monarki di negaranya.

Dalam sebuah wawancara dengan The New York Times, Syekh Rashid juga menuduh penguasa UEA melakukan pemerasan dan pencucian uang. Namun, sang pangeran itu tak menyajikan bukti atas tuduhannya.

Syeikh Rashid menuduh badan intelijen Abu Dhabi memerasnya dengan ancaman merilis video pribadi yang memalukan. Dia menyebut video itu "palsu" tetapi dia menolak untuk mengungkapkan isinya.

Ia juga mengklaim bahwa badan-badan intelijen telah menekannya untuk mentransfer puluhan juta dolar kepada orang-orang yang tidak dikenalnya di negara lain, yang tampaknya melanggar hukum UEA dan internasional soal pencucian uang.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.