Sukses

Banyak Perempuan Irlandia Utara Memilih Melakukan Aborsi di Inggris, Ini Alasannya

Semakin hari, semakin banyak perempuan Irlandia Utara yang memilih Inggris untuk lokasi praktik aborsi.

Liputan6.com, Belfast - Jumlah perempuan asal Irlandia Utara yang pergi ke Inggris untuk melakukan aborsi dilaporkan melonjak drastis, setelah pemerintah Negeri Britania Raya menetapkan kebijakan sambungan langsung (hotline) khusus pada Maret lalu.

Menurut lembaga pemerintah untuk advokasi isu aborsi, British Pregnancy Advisory Service (BPAS), sebanyak 342 orang perempuan melakukan tindak aborsi legal di London, meningkat tajam dari sekitar 190 pasien yang melakukan hal serupa pada sembilan bulan sebelumnya.

Dikutip dari The Guardian pada Minggu (22/7/2018), laporan angka tersebut dirilis menyusul desakan kepada pemerintah untuk mencabut undang-undang Abad ke-19, yang melarang perempuan melakukan aborsi di Irlandia Utara.

Saat ini, Irlandia Utara, bersama Malta adalah wilayah di Eropa yang sepenuhnya melarang praktik aborsi. Bahkan, jika ketahuan melakukan hal tersebut secara ilegal, ancamannya bisa denda bernilai tinggi dan kurungan penjara.

Di lain pihak, Perdana Menteri Theresa May dijadwalkan akan bertemu dengan pemimpin Irlandia Utara, Leo Varadkar, pada Rabu mendatang di Belfast. Pertemuan itu merupakan yang pertama kalinya terjadi sejak 2007 silam.

Selain isu aborsi, pembicaraan tersebut juga akan menyinggung tentang beberapa hal terkait beberapa kendala pelaksanaan kebijakan Brexit, yang telah dimulai sejak tahun lalu.

Sebelumnya, sebuah surat yang dikirim ke Downing Street 10 --kantor PM Inggris-- dan ditandatangani oleh 173 anggota parlemen dari setiap partai politik besar di Irlandia dan Inggris, menyerukan pencabutan pasal 58 dan 59 dari Undang-Undang Pelanggaran Pribadi Tahun 1861.

Di Inggris, Wales dan Skotlandia, aturan hukum tersebut telah digantikan oleh Undang-Undang Aborsi 1967, dan beberapa undang-undang lain yang terkait, tetapi itu tidak berlaku di Irlandia Utara.

 

Simak video pilihan  berikut:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Desakan Terhadap Perhatian Pemerintah Inggris

Para aktivis termasuk salah seorang anggota Parlemen Britania Raya, Stella Creasy, mengatakan bahwa perbedaan undang-undang aborsi di Irlandia dan Irlandia Utara merupakan pelanggaran perjanjian Jumat Agung, yang menyebut kedua pemerintah untuk memiliki aturan hukum setara di kedua sisi berbatasan.

Creasy menyebut surat kepada Downing Street 10 sebagai intervensi yang belum pernah terjadi sebelumnya. Dia berkata: "Kita tidak bisa membiarkan hak asasi perempuan di Irlandia Utara terlupakan. Tugas kita di bawah perjanjian Jumat Agung adalah untuk melindungi mereka, tidak membiarkan Theresa May mengorbankan mereka untuk kepentingan politik, karena Partai Serikat Demokrat (DPU) menopang pemerintahannya."

"Tanpa tindakan, jelas ratusan perempuan dipaksa melakukan perjalanan ke luar negeri untuk perawatan kesehatan, dan banyak lagi yang mungkin terpaksa melanjutkan kehamilan yang tidak diinginkan sebagai hasilnya. Pemerintah harus memastikan dapat mencabut undang-undang yang kejam ini, atau berisiko membuat korban perkosaan harus pergi ke pengadilan untuk membela hak asasi perempuan di Irlandia Utara," lanjutnya menegaskan.

Sementara itu, pada 6 Maret lalu, Departemen Kesehatan dan Perawatan Sosial menghadirkan sebuah sistem pemesanan terpusat, yang memberikan akses bagi perempuan di Irlandia Utara, untuk membuat janji tindakan aborsi melalui BPAS.

Setelah kebijakan itu berlaku, dilaporkan bahwa rata-rata 28 orang perempuan terbang ke Inggris setiap harinya untuk aborsi melalui BPAS, antara Maret dan Mei. Lebih dari mereka diketahui berpendapatan kruang dari 15.276 pound sterling per tahunnya (setara Rp 288 juta), yakni mendekati standar pendapatan minimun nasional.

Pada 2017, sebanyak 919 orang perempuan asal Irlandia Utara pergi ke Inggris untuk melakukan aborsi, kebanyakan menggunakan klinik yang dijalankan oleh BPAS atau Marie Stopes, sebuah lembaga advokasi swasta pada isu ibu dan anak.

Di lain pihak, pada Juni lalu, mahkamah agung mengatakan hukum aborsi di Irlandia Utara tidak sesuai dengan konvensi Eropa tentang hak asasi manusia.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.