Sukses

18-6-1815: Napoleon Bonaparte Kalah di Waterloo, Gara-Gara Gunung Tambora?

Sabtu 18 Juni 1815 adalah hari paling sial dalam hidup Napolepon Bonaparte. Kekalahan telak dalam Pertempuran Waterloo mengakhiri kekuasaannya untuk selamanya.

Liputan6.com, Paris - Sabtu 18 Juni 1815 adalah hari paling sial dalam hidup Napolepon Bonaparte. Ia, yang berhasil melarikan diri dari lokasi pengasingannya di Pulau Elba dan kembali menguasai Prancis, kalah telak dalam pertempuran di Waterloo.

Segala upaya telah dilakukan. Namun Napoleon gagal mengonsolidasikan pasukannya. Para prajuritnya kocar-kacir di tengah serbuan membabi buta kubu lawan, gabungan antara Inggris, Rusia, Austria, dan Prusia.

Sang kaisar Prancis itu terpaksa melarikan diri dari medan perang, melintasi ladang penduduk, hanya diterangi cahaya Bulan, menuju ke perbatasan negaranya. Para penjaga yang ada di sana hanya bisa terpana menyaksikan raut wajah Napoleon Bonaparte.

"Tak pernah sekalipun, bahkan selama kekalahan di Moskow, aku menyaksikan ekspresi sebingung dan sesedih di wajah agung tersebut," kata salah satu serdadu," seperti dikutip dari situs Telegraph, Minggu (17/6/2018). "Duka kami sungguh tak terperi."

Sebanyak 25.000 orang tewas atau terluka di pihak Prancis, 9.000 lainnya ditangkap. Sementara, kubu lawan kehilangan sekitar 23 ribu orang.

Di awal pertempuran posisi Napoleon di atas angin, pada 16 Juni 1815, ia mengalahkan pihak Prusia di bawah kepemimpinan Gebhard Leberecht von Blucher di Ligny.

Ia mengerahkan 33 ribu prajurit, atau sepertiga dari total kekuatannya, untuk mengejar bala tentara Prusia. Napoleon kemudian memimpin sisanya, pasukan yang terdiri atas 72.000 orang untuk menyerang Duke of Wellington yang bermarkas di 12 mil di selatan Brussels, dekat Desa Waterloo.

Di atas kertas, pasukan Napoleon Bonaparte unggul soal jumlah dari barisan Duke of Wellington yang terdiri dari 68 ribu orang.

Namun, pria berjuluk 'Le Petit Caporal' itu memutuskan untuk menunggu sampai tengah hari, hingga tanah mengering, sebelum melancarkan serangan.

Keputusan tersebut terbukti fatal. Sebab, penundaan itu memungkinkan pasukan Blucher, yang lolos dari kejaran tentara Prancis, tiba dan Waterloo dan bergabung dalam pertempuran pada sore hari.

Meski berkali-kali melancarkan serangan, kubu Napoleon gagal menembus benteng pasukan sekutu. Sementara itu, pasukan Prusia memberi tekanan pada sayap timur Napoleon.

Sekitar pukul 18.00 waktu setempat, pasukan Prancis di bawah Marsekal Michel Ney berhasil mengepung sebuah rumah pertanian yang jadi lokasi persembunyian Wellington. Namun, Napoleon yang sibuk mengatasi serbuan 30.000 pasukan Prusia tak mengirimkan pasukan untuk membantu Ney.

Pada saat itu, seperti dikutip dari situs History, Wellington telah mengatur kembali pertahanannya, dan berhasil memukul mundur pasukan Prancis.

Lima belas menit kemudian, tentara sekutu melancarkan serangan besar-besaran yang bikin pihak Prancis panik dan terpaksa mundur kocar-kacir.

Pada 22 Juni 1815, Napoleon kembali ke Prancis. Ia memutuskan turun takhta dan menyerahkan singgasana pada putranya.

Dia sudah berencana kabur, namun pasukan kontra revolusioner terlanjur mengincarnya.

Karena itu lah, ia kemudian menyerahkan diri ke pihak Inggris di Pelabuhan Rochefort. Napoleon berharap dikirim ke Amerika Serikat, namun ia justru diasingkan ke Saint Helena, pulau terpencil di tepian Samudra Atlantik, di perairan Afrika.

Napoleon melayangkan protes. Namun, ia tak punya pilihan lain. Bekas kaisar Prancis itu akhirnya hidup dalam pengasingan selama enam tahun, hingga kematiannya pada Mei 1821.

Lukisan yang menggambarkan Napoleon Bonaparte saat meninggal karya Horace Vernet 1826 (Wikipedia/Public Domain)

Napoleon Bonaparte dinyatakan meninggal dunia pada usia 51 tahun akibat penyakit kanker. Namun, banyak orang menduga, ia diracun.

 

Saksikan juga video pilihan berikut ini:

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Campur Tangan Gunung Tambora

Napoleon Bonaparte adalah ahli strategi perang terbaik sepanjang sejarah. Ia menjadi panutan para jenderal dan panglima di zona pertempuran, bahkan hingga ratusan tahun kemudian.

Karier militernya menanjak pesat setelah dia berhasil menumpas kerusuhan yang dimotori kaum pendukung royalis atau kerajaan dengan cara yang sangat mengejutkan: menembakkan meriam di kota Paris dari atas menara. Peristiwa itu terjadi tahun 1795 saat Napoleon berusia 26 tahun.

Kemudian ia berhasil membawa kemenangan gilang gemilang Prancis atas Austria dan Prusia, bahkan nyaris menguasai seluruh daratan Eropa, dengan jalan mengobarkan perang maupun diplomasi.

Namun, dua kali ia kalah perang dengan telak. Pertama di Moskow, dan kemudian di Waterloo -- pertempuran terakhirnya.

Ada banyak faktor yang membuat Napoleon kalah perang di Waterloo, di antaranya ia tak mengantisipasi paskan Blucher, juga kegigihan pasukan Inggris dan sekutunya.

Alasan lain adalah faktor alam. Hujan deras di tengah musim panas mengubah medan perang jadi kolam lumpur yang memperlambat penyerangan ke pihak lawan yang berada di perbukitan.

Cuaca juga yang membuat pihak Prancis menunda penyerangan selama beberapa jam, yang terbukti menjadi hal krusial saat itu.

Sejumlah sejarawan mengaitkan kekalahan Napoleon Bonaparte di Waterloo dengan letusan Gunung Tambora di Sumbawa, Indonesia dua bulan sebelumnya.

Kaldera Gunung Tambora (Wikipedia)

"Adalah hal yang sangat menggoda untuk mengaitkan hujan deras dan tanah becek pada 17 hingga 18 Juni 1815, yang menjadi faktor kekalahan Napoleon di Waterloo pada 18 Juni 1815 sebagai konsekuensi dari erupsi Gunung Tambora pada April 1915," demikian dikutip dari buku Natural Decadal Climate Variability: Societal Impacts karya Vikram M. Mehta.

Selain kekalahan telak Napoleon Bonaparte dalam Pertempuran Waterloo, sejumlah kejadian bersejarah terjadi pada tanggal 18 Juni.

Pada 1429, Jeanne d'Arc mengalahkan pasukan Inggris di Patay dalam Perang Seratus Tahun Inggris-Prancis.

Sementara pada 1983, astronot Sally K. Ride menjadi wanita Amerika Serikat pertama di luar angkasa setelah dia dan empat rekannya meluncur menggunakan Challenger.

Dan, pada 18 Juni 1989, pemerintahan junta militer mengubah nama negara, dari Birma menjadi Myanmar.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.