Sukses

Pemimpin Tertinggi Iran Tetapkan Syarat untuk Selamatkan Kesepakatan Nuklir

Pemimpin tertinggi Iran memeringatkan jika Eropa tidak memenuhi tuntutan ini, pihaknya akan melanjutkan pengayaan uranium.

Liputan6.com, Teheran - Pemimpin tertinggi Iran, Ayatollah Khamenei, menetapkan syarat agar pihaknya tetap berada dalam koridor kesepakatan nuklir, salah satunya bank-bank Eropa harus tetap menjaga hubungan perdagangan dengan Teheran.

Amerika Serikat sebagai salah satu penandatangan kesepakatan nuklir Iran, pada 8 Mei 2018, memutuskan untuk hengkang dari pakta tersebut.

Syarat lain yang diajukan Iran antara lain, Eropa harus tetap membeli minyak mentah dan melindungi penjualan minyak Iran dari tekanan AS, serta tidak akan mengejar negosiasi baru terkait dengan program rudal balistik dan aktivitas Timur Tengah Iran. Demikian yang tertulis dalam situs resmi Ayatollah Ali Khamenei seperti dikutip dari Al Jazeera, Kamis (24/5/2018).

"Bank-bank Eropa harus menjaga perdagangan dengan Republik Islam (Iran). Kami tidak ingin memulai perselisihan dengan tiga negara ini (Prancis, Jerman, dan Inggris), tapi kami tidak memercayai mereka," kata Khamenei.

"Eropa harus sepenuhnya menjamin penjualan minyak Iran. Ketika Amerika mengganggu penjualan minyak kami ... Eropa harus menanganinya dan membeli minyak Iran."

Pemimpin tertinggi Iran itu memeringatkan jika Eropa tidak memenuhi tuntutan ini, pihaknya akan melanjutkan pengayaan uranium, yang sebelumnya dihentikan di bawah kesepakatan nuklir.

Bagi Eropa, kesepakatan nuklir Iran yang diteken pada tahun 2015 adalah kesempatan terbaik untuk menghentikan Teheran memperoleh senjata nuklir.

Khamenei mengatakan, selama dua tahun terakhir, Amerika Serikat "telah berulang kali melanggar" kesepakatan nuklir Iran, namun Eropa mendiamkannya. Terkait itu, Khamenei meminta Eropa untuk bersuara dan "melawan sanksi AS".

Sebelumnya, Komisi Eropa dikabarkan akan meluncurkan proses pengaktifan undang-undang yang melarang perusahaan-perusahaan dan pengadilan Uni Eropa untuk mematuhi sanksi Amerika Serikat terhadap Iran.

Jean Claude Juncker, presiden Komisi Eropa mengatakan pada hari Kamis bahwa lembaga yang dipimpinnya memiliki "tugas untuk melindungi perusahaan-perusahaan Uni Eropa" dari sanksi AS.

"Kita sekarang perlu bertindak, dan inilah mengapa kita meluncurkan proses untuk mengaktifkan 'undang-undang pemblokiran' tahun 1996. Kita akan melakukannya pada Jumat pukul 10.30 (waktu setempat)," ujar Juncker dalam konferensi pers di ibu kota Bulgaria, Sofia, setelah bertemu dengan para pemimpin Uni Eropa seperti dikutip dari Al Jazeera pada Jumat, 18 Mei 2018.

Uni Eropa ingin menyelamatkan kesepakatan nuklir Iran, dan pengaktifan UU Pemblokiran tersebut dinilai merupakan cara paling tepat karena perusahan-perusahaan Uni Eropa tidak harus mematuhi sanksi AS.

Selain itu, undang-undang tersebut juga tidak mengakui putusan pengadilan yang merugikan perusahaan-perusahaan Uni Eropa.

UU Pemblokiran merupakan sebuah produk hukum yang dibuat pada tahun 1996 untuk mengatasi embargo perdagangan AS atas Kuba.

 

Saksikan video pilihan berikut ini:

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Ketegangan Iran dan AS Dikhawatirkan Berujung Konfrontasi Militer

Relasi Iran dan Amerika Serikat yang relatif terkendali di bawah pemerintahan Barack Obama, mendadak berubah menjadi "berombak" di era kepemimpinan Donald Trump, yang sejak awal sudah mengecam kesepakatan nuklir.

Pada hari Senin, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Mike Pompeo mengancam akan menjatuhkan "sanksi yang terkuat dalam sejarah" terhadap Iran, jika Teheran tidak mengekang pengaruh regionalnya. Barat selama ini menuding Iran mendukung kelompok-kelompok bersenjata di sejumlah negara seperti Suriah, Lebanon, dan Yaman.

Sementara itu, pada hari Rabu, di hadapan Komite Urusan Luar Negeri, Pompeo mengatakan bahwa AS bermaksud untuk bekerjasama dengan "sebanyak mungkin mitra, teman, dan sekutu" demi menghentikan apa yang disebutnya sebagai ancaman nuklir dan non-nuklir Teheran.

Kekhawatiran telah dikemukakan oleh sejumlah ahli bahwa konfrontasi militer dapat terjadi setelah AS meninggalkan kesepakatan nuklir Iran dan menjatuhkan sanksi baru bagi negara itu.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.