Sukses

Tujuh Orang Tewas dalam Kasus Penembakan Massal Terburuk di Australia

Kasus penembakan massal terakhir kali terjadi di Australia pada 1996 silam, yang kemudian memengaruhi UU Kepemilikan Senjata.

Liputan6.com, Canberra - Sebanyak tujuh orang ditemukan tewas di sebuah peternakan di negara bagian Australia Barat, yang disebut sebagai kasus penembakan massal terburuk di Negeri Kanguru selama lebih dari 20 tahun. 

Tujuh korban tewas itu terdiri dari empat jenazah anak dan tiga jenazah dewasa, di mana pertama kali ditemukan pada Jumat, 11 Mei 2018, di kota Osmington yang berjarak sekitar 280 kilometer di selatan kota Perth. 

Dikutip dari VOA Indonesia pada Senin (14/5/2018), seluruh korban tewas merupakan satu keluarga yang berasal dari tiga generasi, termasuk seorang korban pria lansia yang diduga sebagai pelaku penembakan.

Pria lansia itu disebut tergeletak bersimbah darah di kursi teras, dengan senjata api semi otomatis tergetelak tidak jauh darinya.

Pemimpin kota Osmington, Pamela Townshend, mengatakan bahwa penduduk sangat terguncang dengan terkuaknya kasus penembakan keji itu.

"Dalam komunitas kecil seperti ini dampak tragedi itu akan sangat besar – dampaknya sudah sangat terasa karena kami sangat akrab satu sama lain," kata Pamela.

Di lain kesempatan, perdana menteri negara bagian Australia Barat, Mark McGowan, juga bereaksi terhadap tragedi penembakan tersebut.

"Empat anak kecil, seorang ibu dan seorang nenek yang dibunuh dengan cara ini teramat menyedihkan dan kita semua sangat merasakannya," kata McGowan. 

 

Simak video pilihan berikut: 

 

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Terburuk dalam 20 Tahun Terakhir

Kekerasan senjata semacam itu jarang terjadi di Australia. Laporan media setempat mengatakan bahwa penembakan itu merupakan kasus fatal sejak pembantaian Port Arthur, di negara bagian pulau Tasmania, pada 1996 silam. 

Di Port Arthur, 35 orang ditembak mati oleh seorang pria bersenjata bernama Martin Bryant, yang kini masih berada di penjara.

Penembakan itu memicu perombakan menyeluruh terhadap UU senjata api di Australia. Undang-undang itu melarang penjualan bebas senjata otomatis dan semi otomatis.

Alasan di balik tragedi itu belum juga diketahui hingga saat ini, meski dua bukti senjata telah ditemukan, namun sama sekali tidak menyisakan sedikit pun tanda sidik jari.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.