Sukses

Pentagon Haramkan Produk Ponsel dari 2 Perusahaan Asal China Ini

Departemen Pertahanan Amerika Serikat atau Pentagon melarang produk ponsel buatan China ada di toko-toko yang ada di pangkalan militer. Apa saja?

Liputan6.com, Washington, DC - Perintah dikeluarkan Departemen Pertahanan Amerika Serikat atau Pentagon. Isinya, semua toko di pangkalan militer AS di seluruh dunia dilarang menjual ponsel dan peralatan telekomunikasi yang dibuat oleh perusahaan China

Ada dua perusahaan yang secara spesifik disebut oleh pihak Pentagon, yakni Huawei Technologies Co. Ltd. dan ZTE Corp.

Larangan tersebut dikeluarkan setelah sejumlah pejabat intelijen AS memperingatkan, perangkat yang diproduksi dua perusahaan tersebut bisa digunakan untuk memata-matai warga Amerika Serikat, khususnya para anggota militer.

Sejumlah pejabat intelijen dan anggota parlemen AS menduga bahwa telepon seluler buatan China dapat melacak pergerakan militer atau menyadap informasinya. Meski, baik ZTE maupun Huawei membantah tuduhan tersebut.

Huawei adalah pembuat smartphone terbesar ketiga di dunia, dan ZTE menduduki nomor empat dalam daftar penjualan terbesar di Amerika Serikat.

Belakangan, seperti dikutip dari Fox News, Sabtu (5/5/2018), produk-produk tersebut ditarik dari toko-toko dan penyedia perbekalan bagi anggota militer Negeri Paman Sam di seluruh dunia.

"Perangkat Huawei dan ZTE dapat menimbulkan risiko yang tak bisa diterima terhadap personel, informasi dan misi Departemen Pertahanan," demikian pernyataan pihak Pentagon.

Kepada Fox News, sejumlah pejabat juga mengungkapkan bahwa Pentagon baru-baru ini juga menghentikan penggunaan ponsel pintar BlackBerry, menggantikannya dengan iPhone besutan Apple, yang juga dirakit di China.

"Untuk alasan keamanan, saya tidak bisa masuk ke dalam aspek teknis dari potensi ancaman," kata juru bicara Pentagon, Mayor Dave Eastburn saat dikonfirmasi soal kebijakan terbaru itu.

Sebelumnya, pada Februari 2018, Komite Intelijen Senat menggelar sidang yang membahas soal ancaman teror global, yang dihadiri Direktur CIA, FBI, dan Badan Keamanan Nasional (NSA).

Tom Cotton, senator junior dari Arkansas, menanyakan beberapa pertanyaan tajam pada panel pejabat intelijen AS selama persidangan.

Cotton mengawali pertanyaannya dengan menyatakan bahwa ada "ancaman yang ditimbulkan oleh China dan khususnya perusahaan telekomunikasi Tiongkok"--tak hanya bagi Pentagon tapi juga untuk Pemerintah AS secara luas. 

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Bendera AS Made in China

Sebelumnya, pada 2014, perintah khusus diberikan pada Departemen Pertahanan Amerika Serikat atau Pentagon. Isinya, bendera AS yang tidak diproduksi di wilayah Negeri Paman Sam, dilarang berkibar di pangkalan militer.

Namun, aturan tersebut tak berlaku di fasilitas federal lainnya. Sebab, para pembuat kebijakan menilai, 'star-spangled banner' buatan dalam negeri terlalu mahal.

Di bawah UU yang ditandatangani kala itu, sebagai bagian dari anggaran belanja departemen tahun 2014, setiap bendera yang dibeli Departemen Pertahanan wajib 100 persen buatan Amerika. Legislator dari Partai Republik Mike Thompson, yang merancang UU tersebut, mengatakan keputusan tersebut punya alasan ekonomi dan simbolis.

"Saya pikir, sungguh mengerikan, bendera Departemen Pertahanan diproduksi di luar negeri," kata Thompson seperti dimuat Fox News, 20 Februari 2014. "Sangat penting untuk membuat lebih banyak bendera di dalam negeri."

Namun, alasan penghematan menghalangi niat pemakaian bendera buatan AS di seluruh badan pemerintah. Solusinya, hanya bendera yang berkibar di instalasi militer, baik di AS dan seluruh dunia, yang harus buatan AS.

UU sebelumnya mengatur, bendera yang berkibar di lembaga pemerintah, di luar Pentagon, harus mengandung material yang diproduksi di AS -- setidaknya 50 persen.

Namun, aturan tersebut sulit diterapkan, sebagian karena perjanjian perdagangan, serta fakta bahwa bendera buatan China, importir terbesar, jauh lebih murah daripada buatan Amerika Serikat. Diperkirakan bendera Amerika senilai US$ 3,3 juta atau Rp 38,9 miliar diimpor dari Beijing setiap tahunnya.

Dale Coots, manajer pemasaran produsen bendera, Annin Flagmakers di Roseland, New Jersey mengatakan, UU baru merupakan langkah positif. Namun, ia menyinggung soal isu lain yang harus dituntaskan, termasuk kebijakan impor bendera dan kurangnya Komisi Perdagangan Federal menegakkan aturan terkait label bendera.

"Bendera Amerika dianggap tekstil semata," kata Coots. "Banyak bendera dijual secara online tidak memiliki label asal, yang diwajibkan di bawah hukum AS."

Annin Flagmakers, yang telah menghasilkan bendera Amerika sejak 1820-an, mengaku tak akan mendapatkan keuntungan signifikan dari keberadaan UU baru.

Bendera Amerika buatan luar negeri menjadi isu pasca 9/11, ketika warga berbondong-bondong ke toko, atas dorongan nasionalisme, membeli bendera untuk dikibarkan di rumah atau mobil mereka. Produsen AS tidak bisa memenuhi lonjakan permintaan itu.

Maka, masuklah China. Impor bendera yang sebelumnya hanya mencapai US$ 1 juta per tahun melonjak tajam menjadi US$ 52 juta di minggu-minggu berikutnya pasca-teror.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.