Sukses

4 Perang Besar dalam Sejarah yang Dipicu oleh Hoax

Selain sebagai ujaran kebencian, hoax disebut-sebut juga bisa memicu perselisihan besar yang sangat merugikan.

Liputan6.com, Jakarta - Kabar bohong, atau yang umum dikenal sebagai hoax, nyatanya memang berisiko memecah persatuan, dan tidak jarang bahkan hingga memicu perselisihan.

Dikutip dari Cracked.com pada Senin (16/4/2018), sejarah telah mencatat beberapa perang besar disebabkan oleh hoax, baik yang disengaja untuk tujuan tertentu, maupun hal iseng yang tidak bertanggung jawab.

Menurut buku Museum Hoaxes karya Alexander Boose, hoax pertama yang tercatat dalam sejarah adalah almanak (penanggalan) palsu, yang dibuat oleh Isaac Bickerstaff, alias Jonathan Swift -- penyair asal Irlandia, pada 1709.

Kala itu, Swift meramalkan kematian astrolog John Partridge, sebagai upaya untuk merebut pengaruh di tengah publik Britania Raya.

Untuk meyakinkan kabar tersebut, ia pun membuat sebuah obituari palsu di hari yang sama dengan tanggal ramalannya tersebut.

Akibat kabar palsu tersebut, Partridge tidak kuat menahan malu yang teramat sangat, hingga kemudian memutuskan keluar dari profesi astrologi.

Bukan hanya kemalangan Partridge saja yang disebabkan oleh hoax, ada cukup banyak fakta sejarah lainnya yang dipicu oleh hal serupa, termasuk ketika membahas perang besar dunia.

Berikut adalah empat perang besar di dunia yang dipicu oleh hoax.

 

 

 

Simak video pilihan berikut:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 5 halaman

1. Polandia Dituduh Menyerang Jerman

Perang Dunia II merupakan perang terbesar yang terjadi di era modern. Begitu banyak perubahan geopolitik yang disebabkan olehnya, termasuk gelombang kemerdekaan wilayah jajahan kolonial di Asia Pasifik.

Namun, tahukah Anda apa penyebab Perang Dunia II?

Sejarah umum menyebut Perang Dunia II meletus setelah Jerman melakukan serangan militer ke wilayah Polandia pada 1 September 1939.

Alasannya adalah Jerman, yang kala itu telah dipimpin oleh Adolf Hitler, mendapat invasi terlebih dahulu dari Polandia, sehari sebelumnya.

Namun, fakta sebenarnya tidak seperti itu. Salah seorang jenderal SS yang bernama Alfred Naujocks, memimpin enam perwira untuk melakukan penyamaran sebagai tentara pemberontak Polandia.

Mereka menculik seorang petani Polandia bernama Franciszek Honiok, kemudian membius dan membawanya ke sebuah radio milik Jerman di kota Gliwice, sekitar 6,4 kilometer dari wilayah perbatasan.

Di sana, mereka berpura-pura menyiarkan berita bahwa stasiun radio tersebut telah dikuasai oleh Polandia. Mereka juga memperingatkan, dalam waktu dekat, akan menyerang Jerman.

Inilah yang kemudian menjadi alasan bagi Jerman untuk menginvasi Polandia, hingga pada akhirnya memicu perang aliansi secara besar-besaran di Eropa.

3 dari 5 halaman

2. Teror Bom Penyebab Kisruh Antara Israel dan Mesir

Menjelang akhir 1950-an, Amerika Serikat (AS) dan Inggris tengah dibuat terkesan oleh kepemimpinan Presiden Gamal Abdel Nasser di Mesir.

Hal tersebut tidak disukai oleh Israel, yang khawatir jika kedua negara paling berpengaruh itu akan meninggalkan Israel, untuk menghadapi tekanan Timur Tengah seorang diri.

Untuk memutus kemesraan tersebut, Israel pun melakukan sebuah taktik provokasi sederhana -- namun licik, yakni dengan meledakkan bom di beberapa target AS dan Inggris di Mesir. Setelahnya, negeri zionis itu mengangkat bahu, dan mengambinghitamkan pihak muslim di Mesir sebagai pelakunya.

Taktik tersebut juga dimaksudkan untuk meyakinkan Inggris, agar tetap mempertahankan pangkalan militernya di Terusan Suez.

Padahal sebelumnya, Presiden Nasser telah berhasil membujuk Negeri Ratu Elizabeth II untuk terlibat dalam operasi keamanan gabungan di terusan paling sibuk di dunia itu.

4 dari 5 halaman

3. Pura-Pura Menjadi Tentara Rusia

Pada 1788 silam, Raja Gustav III dari Kerajaan Swedia tengah dilanda kegelisahan, lantaran reputasi wibawanya yang menurun di mata publik. Ia dianggap mandul dalam menjalankan pemerintah dan tidak bisa memberikan kemajuan berarti.

Di saat bersamaan, muncul kabar bahwa Rusia tengah berupaya memperluas kekuasaannya ke wilayah barat. Raja Gustav III melihat hal ini sebagai kesempatan untuk menunjukkan kewibawaannya, yakni dengan cara berperang membela kedaulatan.

Namun, karena belum diketahui kapan Rusia akan menyerang, dan ia tidak memiliki hak -- dan juga alasan jelas untuk menyerang, maka terbesit ide licik di pikiran Raja Gustav III untuk merekayasa sebuah peristiwa.

Raja Gustav III memerintahkan tim penjahit kerajaan untuk membuat puluhan seragam pasukan Rusia. Ia kemudian memilih sebagian pasukan Kerajaan Swedia untuk mengenakannya, dan berpura-pura menyerang, sehingga dapat dijadikan alasan untuk menyerang pasukan Negeri Beruang Merah.

Harapan Raja Gustav III adalah agar Rusia tersinggung, dan melakukan serangan balasan untuk membela harga dirinya. Dipikirnya, angkatan laut Rusia akan kewalahan melakukan invasi mendadak ke Swedia, dan ia bisa melumpuhkannya sebelum sampai di daratan Skandinavia.

Satu hal yang terlupa oleh Raja Gustav III adalah, di waktu yang sama, Rusia tengah melakukan mobilisasi besar-besaran angkatan lautnya untuk berperang melawan Kekaisaran Turki Ottoman.

Akibatnya, perang antara Swedia dan Rusia menjadi sangat panjang, hingga memakan waktu hampir dua tahun lamanya. Puluhan ribu jiwa juga dikabarkan tewas dalam pertempuran yang cukup menguras kas negara di kedua pihak.

5 dari 5 halaman

4. Penyuntingan Isi Telegram yang Memicu Perang Prussia-Prancis

Pada abad 19, kerajaan Prussia -- wilayah yang mencakup Polandia, Jerman, dan Austria -- masih merupakan salah satu monarki paling berpengaruh di Eropa.

Ada seorang negarawan Prussia, yang oleh beberapa sejarawan, disebut sangat terobsesi merebut kekuasaan monarki dengan diplomasi licik yang terstruktur. Ia adalah Otto Von Bismarck, yang kelak menjadi provokator dalam pecahnya perang antara Prussia dan Prancis.

Pada 1870, Raja William I dari Prussia menerima kedatangan Count Vincent Benedetti, yang merupakan utusan dari Republik Prancis. Misi diplomatik tersebut bertujuan untuk mengenalkan konsep demokrasi, yang mulai diminati oleh banyak pemimpin Eropa kala itu.

Sesaat setelah pertemuan tersebut, Raja William I mengirim telegram kepada Otto Von Bismarck, yang berisi hasil pembahasan dengan utusan Prancis. Tujuan telegram itu adalah agar bisa segera disiarkan ke rekan media.

Namun, diam-diam Bismarck menyunting isi telegram tersebut, termasuk memangkas sebanyak hampir 200 kata. Isi pesan di dalamnya pun banyak berubah, yang cenderung berisi pesan bernada negatif.

Baik pihak Prancis maupun Prussia, sama-sama terprovokasi oleh suntingan telegram tersebut.

Prancis menganggap Prussia melecehkan utusan diplomatiknya dengan sengaja. Sebaliknya, Prussia menuduh Prancis menyebarkan kabar bohong mengenai isi telegram tersebut.

Kurang dari seminggu setelahnya, Prancis menyatakan perang terhadap Prussia, yang di kemudian hari menyebabkan jatuhnya korban tewas hingga tiga perempat jiwa.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.