Sukses

PM Inggris Didesak Meminta Maaf Atas Kebijakan Anti-LGBT di Era Kolonial

Sebanyak lebih dari 100 juta orang LGBT di negara-negara Persemakmuran masih kerap dianggap sebagai penjahat.

Liputan6.com, London - Perdana Menteri Inggris, Theresa May, didesak meminta maaf terkait warisan kebijakan hukum Inggris yang mengerdilkan komunitas LGBT di seluruh negara Persemakmuran.

Dikutip dari The Guadian pada Senin (16/4/2018), PM Theresa didesak melakukan hal tersebut saat pertemuan puncak 53 pemimpin negara Persemakmuran di London, Inggris, pekan ini.

Aktivitis hak LGBT, Peter Tatchell, berpendapat bahwa seharusnya pemerintah Inggris membantu menghentikan aturan hukum era kolonial, yang memperlakukan lebih dari 100 juta orang LGBT di Negara Persemakmuran sebagai penjahat.

"Saya mendesak Theresa May untuk mengakui dan meminta maaf atas apa yang telah dilakukan Inggris di masa kolonial, memaksakan hukum berasas homofobik. Undang-undang yang mengadopsi warisan kebijakan tersebut masih berlaku hari ini, dan mengancam kehidupan jutaan individu LGBT di negara-negara Persemakmuran," jelas Tatchell.

"Kerendahan hati, penyesalan, dan permintaan maaf akan jauh lebih efektif daripada ceramah, atau penolakan neo-kolonial terhadap isu homofobia oleh pemerintah Inggris," lanjutnya.

Dibandingkan pemimpin Inggris sebelumnya, PM Theresa May disebut telah selangkah lebih maju menanggapi isu tersebut.

Tahun lalu, ia mengatakan bahwa Inggris memiliki 'tanggung jawab khusus' untuk mengubah pemikiran pada undang-undang anti-LGBT.

Beberapa pengamat meyakini PM Theresa akan membahas isu LGBTdi hadapan majelis KTT Negara Persemakmuran pada akhir pekan ini, namun menghindari gerakan politik besar -- yang mungkin -- mendorong munculnya tuduhan ceramah neo-kolonial.

 

Simak video pilihan berikut: 

 

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Untuk Pertama Kalinya, Aktivis LGBT Berkesempatan Berbicara di KTT Persemakmuran

Pekan lalu, Inggris dianggap 'menyerah' terhadap tekanan dari pemerintah Persemakmuran yang menuntut penghapusan kriminalisasi pada komunitas LGBT.

Anggapan tersebut muncul, lantaran pemerintah Inggris menerbitkan serangkaian panduan internasional tentang praktik orientasi seksual dan identitas gender.

Disebutkan dalam publikasi tersebut, bahwa isu LGBT masih dianggap ilegal di 36 negara anggota Persemakmuran, termasuk sembilan di antaranya yang mengancam hukum penjara hingga seumur hidup.

Sementara itu, aktivis buruh dan LGBT, Waheed Alli, mengatakan bahwa KTT Persemakmuran -- yang pertama kali digelar pada 1997 -- telah memberikan kesempatan 'unik' untuk memastikan isu-isu LGBT masuk dalam agenda pembahasan.

"Sangat penting bahwa para pemimpin memanfaatkan kesempatan ini untuk berbicara satu sama lain, dan mendukung aktivitas kelompok-kelompok masyarakat sipil LGBT di lapangan, yang kerap terancam situasi dan kondisi berbahaya," jelas Alli.

Tahun ini, penyelenggaraan KTT Negara Persemakmuran -- untuk pertama kalinya – menerima kehadiran aktivis hak-hak LGBT, yang akan berbicara di bawah payung Jaringan Kesetaraan Persemakmuran (Commonwealth Equality Network).

Nantinya, para aktivis berkesempatan melakukan lobi tentang perjuangan hak-hak LGBT, secara langsung kepada para pemimpin negara Persemakmuran.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.