Sukses

Kisah Pengungsi yang Telantar dan Hidup di Trotoar Jakarta

Ini kisah pengungsi dari sejumlah negara konflik, Somalia hingga Afghanistan. Kini, mereka telantar di Jakarta.

Liputan6.com, Jakarta - Lebih baik mengungsi daripada mati dan merana di negeri sendiri. Itu yang dirasakan Mohammad Farrah Abdi (22). Ia memilih melarikan diri dari kampung halamannya di Mogadishu, Somalia, pada 2015 dan menjadi pengungsi di negeri orang. 

Kala itu, pemuda tersebut baru lulus dari SMA. Bayang-bayang kematian yang membuatnya pergi. 

"Saya dan para pemuda lain di Mogadishu takut. Kami terintimidasi oleh kelompok teroris Al Shabaab yang memaksa para pemuda seperti saya untuk bergabung dengan mereka," kata Abdi saat ditemui Liputan6.com di pinggir jalan di Kalideres, Jakarta, Rabu 5 April 2018.

"Ibu saya akhirnya menganjurkan saya untuk pergi keluar dari Somalia. 'Negara ini sedang tak aman dan damai bagi pemuda seperti kamu', kata ibu saya," ujar Abdi.

Abdi yang masih berusia 18 tahun kala itu mengungsi sendirian, tanpa keluarga. Ia hanya membawa uang secukupnya untuk tiket transportasi dan biaya hidup. 

"Dari Mogadishu, saya terbang ke Dubai, kemudian ke Malaysia, dan tiba di Medan, Indonesia. Dari Medan saya langsung ke Jakarta," kata Abdi.

Di Jakarta, Abdi sempat tinggal di Jakarta Pusat menyewa sebuah kamar kos. Kemudian, ia sempat pindah ke Ciputat tinggal beramai-ramai bersama sekelompok pengungsi lain dengan menyewa rumah petak.

Kemah-kemah pengungsi dari Afrika dan Asia Selatan di trotoar depan Rumah Detensi Imigrasi Kalideres, Jakarta Barat (4/4/2018) (Muhammad Husni Mubarok/Liputan6.com)

"Saya tinggal selama 2,5 tahun di Jakarta Pusat dan Ciputat. Karena uang saya sudah habis, akhirnya saya pindah ke Kalideres. Saya baru tiba di Kalideres sekitar empat atau tiga hari lalu (awal April 2018)," tambahnya.

Kini, tenda kecil yang berjejer bersama puluhan tenda lain di pinggir jalan yang terletak tepat di depan Rumah Detensi Imigrasi Kalideres Jakarta menjadi lokasi tempat tinggal Abdi beserta sekitar ratusan pengungsi seperti dirinya.

Mereka merupakan pengungsi Afghanistan, Somalia, dan segelintir dari Ethiopia, Sudan Selatan, Eritrea, negara Afrika lain, Pakistan, Myanmar, dan negara Asia lain.

Lari dari Teroris

Selain Abdi, ada pula Mahmoud Mohammad Ahmad (32) pengungsi yang juga berasal dari Mogadishu dan kini harus tinggal di pinggir Jalan Kalideres.

Ahmad meninggalkan kampung halamannya itu bersama istri untuk mengungsi ke Indonesia pada 2014.

"Al Shabaab, mereka menebar teror kepada masyarakat sipil seperti kami. Pertempuran mereka dengan pasukan pemerintah pun memperparah keadaan," kata Ahmad mengemukakan alasannya mengungsi keluar dari Mogadishu menuju Jakarta.

Pemuda itu tengah menempuh studi teknik di sebuah universitas di sana kala mengungsi. Namun, semua itu harus ia tinggalkan.

"Saya terpaksa meninggalkan keluarga dan berhenti dari pendidikan yang tengah saya tempuh. Saya hanya mengajak istri dan membawa uang secukupnya untuk pergi keluar dari Somalia," lanjutnya.

Ahmad dan istri mengambil rute penerbangan Mogadishu, Pakistan, Malaysia, kemudian ke Medan, Indonesia. Dari Medan, mereka kemudian pindah ke Jakarta.

"Sempat di Bogor untuk beberapa saat. Kemudian saya pindah ke Pasar Baru. Di kedua tempat itu saya menyewa sebuah indekos kecil. Tapi setelah hampir tiga tahun, uang saya habis. Akhirnya saya pindah ke Kalideres," kata Ahmad.

Kemah-kemah pengungsi dari Afrika dan Asia Selatan di trotoar depan Rumah Detensi Imigrasi Kalideres, Jakarta Barat (4/4/2018) (Muhammad Husni Mubarok/Liputan6.com)

"Saya tiba di Kalideres tiga bulan lalu. Uang saya habis. Hanya cukup untuk membeli terpal dan tenda saja untuk tidur di pinggir jalan," ujar pemuda Somalia itu.

Meningkatnya intensitas aktivitas kelompok teroris bernama Al Shabaab -- berarti 'Pemuda' -- yang berafiliasi dengan Al Qaeda pada 2012 - 2014 di sejumlah kota-kota besar di Somalia menjadi penyebab utama Abdi dan Ahmad beserta sekitar ratusan hingga ribuan orang mengungsi keluar dari negara mereka.

Kondisi kala itu diperparah dengan maraknya serangan bom di tempat publik serta pertempuran berdarah antara Al Shabaab dengan pasukan pemerintah di kota-kota besar Somalia, termasuk di ibu kota Mogadishu.

Intensitas pertempuran memicu pasukan Barat melakukan intervensi untuk memberantas Al Shabaab di Mogadishu dan beberapa kota besar di Somalia pada awal 2014. Namun, intervensi itu hanya berlangsung singkat, karena pada pengujung tahun yang sama, Amerika Serikat mengklaim telah berhasil menumpas Al Shabaab.

Kendati demikian, Al Shabaab tak benar-benar tamat. Kelompok teroris yang berhaluan ekstremis-radikal-konservatif itu masih melakukan aktivitas bersenjata secara sporadis di desa-desa terpencil di Somalia, demikian seperti dilansir The Guardian 21 Februari 2018.

Keterbatasan ekonomi membuat Al Shabaab memeras harta penduduk lokal dan memaksa warga sekitar untuk bergabung menjadi anggota. Teror yang mereka tebar masih membuat resah sejumlah besar masyarakat Somalia sampai saat ini.

Namun parahnya, negara Amerika Serikat Cs kini berpaling dari sana, karena menilai aktivitas Al Shabaab tak akan memberikan ancaman berarti bagi dunia Barat.

Di sisi lain, para pengungsi yang telah keluar dari Somalia mengaku tak ingin kembali ke negara kelahirannya. Masalah keamanan dan perdamaian jadi alasan utama, setidaknya menurut Abdi dan Ahmad.

"Ke mana pun pemerintah Anda atau UNHCR mengirim kami ke negara lain, akan kami turuti. Tapi saat ini, Somalia adalah pilihan terakhir untuk kami. Anda tahu, kami merasa masih tak aman bagi kami untuk kembali ke Mogadishu. Tak ada perdamaian dan pemerintahan yang stabil di sana," kata pengungsi asal Somalia itu.

Saksikan video tentang pengungsi yang telantar dan hidup di trotoar Jakarta berikut ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Pengungsi Mengalir ke Indonesia

Selasih, lembaga swadaya masyarakat berbasis di Kalideres yang rutin memantau kondisi hidup para pengungsi yang menelantar di depan Rumah Detensi Imigrasi Jakarta menjelaskan, pada awal 2018 terjadi jumlah penumpukan orang asing yang mengungsi di lokasi tersebut.

"Sebenarnya gelombang pengungsi yang berkemah di depan Rumah Detensi Imigrasi di Kalideres sudah terjadi dari 1-2 tahun lalu ya, tapi, awal tahun 2018 ini lebih banyak dari tahun-tahun sebelumnya," kata Tiana Febri, anggota LSM Selasih saat ditemui Liputan6.com di Kalideres, Rabu 4 April 2018.

Menurut perkiraan kasar Selasih, sudah terjadi lima gelombang atau kloter pengungsi yang berdatangan ke Kalideres sejak awal tahun 2018. 

Kemah-kemah pengungsi dari Afrika dan Asia Selatan di trotoar depan Rumah Detensi Imigrasi Kalideres, Jakarta Barat (4/4/2018) (Muhammad Husni Mubarok/Liputan6.com)

"Kloter 1 dan 2 jumlahnya hanya belasan sampai puluhan. Kloter 3 sekitar 70 orang, kloter 4 sekitar 10 - 15 orang. Puncaknya itu kloter 5 yang jumlahnya sekitar 400 orang," kata Tiana.

Kedatangan kloter 5 itu terjadi sepanjang periode Februari - Maret 2018 ini. Mereka berasal dari Afghanistan (sekitar 250 orang), Somalia sekitar 100 orang), dan beberapa puluh lainnya dari Sudan Selatan, Ethiopia, Pakistan, dan negara-negara Afrika serta Asia Selatan lainnya.

Mahmoud Mohammad Ahmad juga membenarkan angka mengenai pengungsi Somalia.

"Iya ada sekitar 100 orang. Sekitar 88 di antaranya adalah pengungsi berkeluarga dan beberapa di antara mereka adalah ibu tunggal dan anak-anak. Adapun 12 sisanya adalah pengungsi lajang," kata Ahmad.

Kemah-kemah pengungsi dari Afrika dan Asia Selatan di samping Kantor UNHCR Indonesia di Kebon Sirih, Jakarta Pusat (4/4/2018) (Muhammad Husni Mubarok/Liputan6.com)

Kebanyakan yang datang ke Kalideres adalah pengungsi mandiri yang sudah kehabisan uang akibat menyewa kontrakan di Jakarta atau Bogor selama sekitar 1 - 2 tahun terakhir. Mereka ke Kalideres sebagai opsi terakhir, di ujung tanduk, sampai dapat pertolongan dari Keimigrasian Jakarta atau UNHCR yang kerap memantau lokasi tersebut sesekali. Kata Tiana dari Selasih.

"Biasanya mereka yang ke Kalideres sudah bangkrut. Sisa-sisa uang yang mereka miliki biasanya dipakai untuk membeli tenda dan terpal, makanan, dan barang-barang kebutuhan mendasar lain untuk menunjang hidup mereka di pinggir jalan," kata Tiana.

"Ada juga yang memilih berkemah di dekat kantor UNHCR Indonesia di Kebon Sirih. Ada yang di Petamburan, lokasi kemah-kemah seperti itu biasanya tersebar. Tapi konsentrasi kemah di pinggir jalan ada di Kalideres."

Tiana mengatakan, para pengungsi yang berkemah di Kalideres biasanya tak tinggal lebih dari enam bulan. Karena, setiap 2 - 3 bulan sejak mereka tiba, pihak Keimigrasian akan memilih sejumlah di antara mereka masuk ke dalam Rumah Detensi Imigrasi.

"Beberapa ada yang dibawa masuk ke dalam (Rumah Detensi), ada juga yang diambil oleh Badan Urusan Pengungsi PBB (UNHCR) Indonesia untuk kemudian disewakan hotel. Biasanya para pengungsi dikelola oleh kedua lembaga itu terlebih dahulu selama beberapa bulan, sebelum akhirnya dikirim ke negara penerima imigran pengungsi," kata Tiana.

3 dari 3 halaman

Indonesia Negara Transit Para Pengungsi

Sejak beberapa tahun terakhir, para pengungsi dari negara-negara dilanda konflik di Afrika, Timur Tengah, Asia Selatan, dan Asia Tenggara memilih Indonesia sebagai destinasi transit. Dari Indonesia, para pengungsi akan direlokasi ke negara re-settlement atau penerima suaka para pengungsi.

Menurut data tahun 2017 dari Direktorat Jenderal Keimigrasian Kemenkumham dan Badan Urusan Pengungsi PBB (UNHCR), terdapat sekitar 14.300 hingga 14.450 orang yang berstatus sebagai pengungsi di Indonesia. Sekitar 25 persen atau 465 orang berstatus sebagai anak-anak.

Dari total para pengungsi itu, sekitar 4.000 orang berada di lembaga detensi atau fasilitas penampungan keimigrasian yang tersebar di Riau hingga Jayapura. Sementara itu, 4.400 orang berada di rumah komunitas yang dikelola organisasi non-profit swadaya (ornop atau LSM) dan sekitar 6.000 sisanya hidup mandiri di luar rumah penampungan negara atau ornop.

Berdasarkan kebangsaan, sekitar 7.154 berasal dari Afghanistan, 1.446 dari Somalia, 954 orang dari Myanmar, 946 orang dari Irak, 752 orang dari Nigeria, 543 dari Sri Lanka, dan 2.640 dari negara lain. Selain itu, terjadi peningkatan kuantitas pengungsi dan pencari suaka yang datang ke Indonesia, yang pada 2010 berkisar 2.882 orang, menjadi 14.450 orang pada 2017.

Seperti dikutip dari News.com.au, UNHCR Indonesia saat ini mengaku tengah kesulitan untuk menangani seluruh pengungsi yang ada di Tanah Air. Dana digadang-gadang menjadi alasan kesulitan tersebut.

Kemah-kemah pengungsi dari Afrika dan Asia Selatan di trotoar depan Rumah Detensi Imigrasi Kalideres, Jakarta Barat (4/4/2018) (Muhammad Husni Mubarok/Liputan6.com)

Thomas Vargas, Representasi UNHCR di Indonesia mengatakan, dana PBB untuk menangani pengungsi di Tanah Air tengah dialihkan untuk mengentaskan persoalan pengungsi di wilayah lain, seperti, Rohingya di Bangladesh.

"Ketika ada sebuah fenomena membludaknya pengungsi di suatu wilayah, maka PBB akan membatasi kucuran dana pada wilayah operasi tertentu -- seperti di Indonesia -- guna dialirkan kepada wilayah yang lebih membutuhkan. Memang kejam, tapi kenyataannya seperti itu," kata Vargas.

Namun, sejak tahun lalu, ketika masalah pengungsi yang membludak di Indonesia tengah menghangat Vargas menyatakan bahwa UNHCR bekerja sebaik mungkin untuk merelokasi para pengungsi dari Tanah Air ke negara re-settlement. Meski, proses itu memakan waktu sangat lama.

"Saya sudah berbulan-bulan berkemah di depan sini (Rumah Detensi Imigrasi Kalideres), tapi, saya dan istri saya tak kunjung di proses," kata Mahmoud Mohammad Ahmad (32), pengungsi dari Mogadishu, Somalia.

Indonesia Tak Mau Menjadi Negara Re-Settlement

Persoalan semakin pelik ketika negara-negara re-settlement kunci, seperti Amerika Serikat dan Australia kini menetapkan kebijakan yang keras terhadap para pengungsi.

Di sisi lain, UNHCR telah lama mendesak Indonesia agar mau bersedia menjadi negara re-settlement dan meratifikasi Konvensi Pengungsi PBB 1951 dan Protokol Mengenai Status Pengungsi PBB 1967 -- yang mengatur tentang kebijakan re-settlement (kantong-kantong pengungsi) dan menerima pencari suaka.

Namun di satu sisi, meski tidak meratifikasi konvensi dan protokol tersebut, Indonesia diakui sebagai salah satu negara yang menaruh perhatian besar pada fenomena pengungsi dan pencari suaka. Penanganan yang dilakukan oleh Tanah Air pun selaras dengan gagasan yang tercantum dalam Konvensi Pengungsi PBB 1951 dan Protokol Mengenai Status Pengungsi PBB 1967.

Para pencari suaka berteduh di bawah terpal di trotoar depan Rumah Detensi Imigrasi Kalideres, Jakarta, Jumat (19/1). Para pencari suaka berasal dari Afghanistan, Sudan, dan Somalia. (Liputan6.com/JohanTallo)

Yakni dengan menetapkan Peraturan Presiden No 125 Tahun 2016 Tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri. Peraturan tersebut secara spesifik ditujukan sebagai landasan hukum bagi otoritas Tanah Air dalam menangani pengungsi dan pencari suaka dari luar negeri.

"Perpres No 125 Tahun 2016 ditujukan untuk menangani pengungsi yang datang ke Indonesia. Penanganannya akan dilakukan sejak ditemukan, dan setelah itu mereka akan ditampung, diamankan, serta diawasi oleh koordinasi berbagai lembaga domestik dan internasional seperti UNHCR," jelas Direktur Jenderal Kemekumham Ronny Sompie dalam konferensi pers sosialisasi Perpres No 125 Tahun 2016 di Jakarta 24 Juli 2017 lalu.

Representasi UNHCR untuk Indonesia Thomas Vargas sangat mengapresiasi langkah pemerintah Tanah Air terkait pembentukan dan implementasi Perpres No. 125 Tahun 2016. Vargas mengklaim bahwa regulasi tersebut selaras dengan gagasan yang tercanang dalam Konvensi Pengungsi PBB 1951 dan Protokol Mengenai Status Pengungsi PBB 1967.

"Fakta bahwa Indonesia telah mengadopsi hukum itu menunjukkan, tak perlu meratifikasi Konvensi dan Protokol untuk memberikan perlindungan terhadap pengungsi dan penari suaka. Selama ini Indonesia telah berkomitmen untuk menyediakan penampungan aman bagi para pengungsi tanpa harus mengadopsi konvensi dan protokol internasional tersebut," kata Thomas Vargas dalam konferensi pers sosialisasi Perpres No. 125 Tahun 2016 di Jakarta 24 Juli 2017 lalu.

"Tapi tetap saja, UNHCR akan sangat senang jika Indonesia meratifikasi keduanya, sebagai sebuah konfirmasi dan penegasan kepada komunitas internasional mengenai perlindungan pengungsi," lanjutnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.