Sukses

Pria Ini Kaitkan Israel, Nibiru, dan Ramalan Kiamat Mei 2018

Sebelumnya, Meade mengklaim bahwa Planet Nibiru akan menghancurkan Bumi pada tanggal 23 September 2017.

Liputan6.com, New York - Lagi-lagi, sebuah prediksi baru seputar kiamat kembali muncul setelah seorang numerolog bernama David Meade bicara soal Planet Nibiru yang konon akan menghampiri Bumi.

Meade berpendapat, Nibiru atau yang juga dikenal dengan sebutan Planet X akan muncul pada Musim Semi 2018.

Dikutip dari laman Ibtimes.co.in, Senin (12/2/2018), Meade mengklaim, Planet Nibiru akan bertabrakan dengan Bumi dan menyebabkan kehancuran berskala besar.

Sebelumnya, Meade berkoar bahwa Nibiru akan menghancurkan Bumi pada tanggal 23 September 2017. Namun, ramalan itu gagal total.

Setelah kegagalannya itu, ia kembali memunculkan teori konspirasi soal kaitan Nibiru -- yang belum bisa dipastikan keberadaannya -- dengan kehancuran Bumi. 

"Saya selalu meneliti hal tersebut setiap bulan. Saya percaya jika Nibiru akan menabrak Bumi pada Musim Semi tahun ini," ujar Meade saat berbincang dengan Paul Begley, pemuka agama yang percaya dengan teori konspirasi yang sama.

Menurut Meade, Israel akan merayakan 70 hari jadi negaranya pada Mei 2018. Dari sana pula Meade percaya jika momen ini akan jadi pertanda kehancuran dunia.

"Ini yang saya yakini, mengapa Musim Semi tahun 2018 akan jadi hari kiamat. Saya juga yakin, kesengsaraan besar akan mulai dirasakan oleh banyak umat manusia," sebut ahli numerologi itu.

Menurut Meade, Nibiru atau disebut juga Mythical X sedang mendekat ke Bumi.

Apabila planet ini bertabrakan dengan Bumi maka akan terjadi kerusakan. Tumbuhan, hewan, bahkan manusia bisa jadi korbannya. Secara massal.

Pria itu juga berspekulasi bahwa Nibiru akan terlihat oleh mata telanjang dan mengakibatkan bencana alam seperti tsunami dan gempa bumi karena tarikan gravitasi yang kuat.

Meski Planet Nibiru akan menyebabkan kehancuran, Meade tetap percaya bahwa tak semua manusia binasa. Konon, masih ada yang selamat. 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Nibiru Tak Nyata

Selama lebih dari 20 tahun, rumor terkait benda langit misterius seperti Nibiru atau Planet X, yang akan memicu malapetaka di Bumi menyebar luas. Namun, menurut NASA, isu-isu tersebut sama sekali tak benar.

Ada sejumlah teori berbeda tentang bagaimana ancaman Nibiru. Ada yang mengatakan, planet liar itu bisa menghantam Bumi, mengacaukan orbit, atau memicu rentetan letusan gunung berapi, gempa bumi, dan gelombang pasang.

Namun, semua itu tak didukung konsensus ilmiah. Para ilmuwan justru menyepakati satu hal: bahwa Nibiru tidak nyata.

Pendapat yang menyangsikan Nibiru itu awalnya disampaikan ilmuwan NASA, David Morrison.

"Nibiru, saya tak mengenal ada ilmuwan atau astronom yang menganggapnya serius," kata astronom serius SETI Institute, Seth Shostak kepada Futurism.

"Jika planet tersebut nyata adanya, bukti keberadaannya pasti akan sangat jelas."

Shostak menambahkan, gagasan bahwa ada sebuah planet sangat besar, seperti Bumi atau bahkan lebih besar, yang mendatangi tata surya bagian dalam setiap beberapa ribu tahun sekali, mudah untuk dipatahkan.

"Jika benar, pastinya itu akan mengganggu orbit planet-planet di sistem tata surya bagian dalam sejak lama. Miliaran tahun lalu. Jejaknya seharusnya masih bisa dilihat hingga saat ini," kata dia. Namun, tak seorang pun yang menyaksikannya.

Sementara, Brian Koberlein, pengajar Astrofisika dan Fisika di Rochester Institute of Technology mengatakan, bukan hanya tak ada bukti soal keberadaannya. Yang muncul justru bukti yang membantah eksistensi Nibiru.

"Kami telah melakukan survei angkasa yang membuktikan bahwa tak ada keberadaan sesuatu seperti Nibiru," kata dia.

Koberlein menempatkan Nibiru dalam kategori yang sama dengan teori bumi datar (Flat Earth).

"Ada sebuah gerakan yang menentang ide-ide ilmiah," kata dia. Koberlein menambahkan, mungkin salah satu pemicunya adalah mengenai bagaimana temuan ilmiah disajikan: terkadang sensasional atau mudah disalahpahami.

"Saya menduga, itu lebih merupakan sikap elitisme anti-ilmiah," kata Koberlein.

"Semakin banyak ide soal itu menyebar, semakin kecil kemungkinan orang membayar pajak mereka untuk membiayai penelitian ilmiah. Dan hal itu berdampak pada kita," dia menambahkan.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.