Sukses

Ahok hingga Persekusi, 3 Hal Ini Bikin Indeks Demokrasi RI Turun

Dari Ahok hingga persekusi, berikut 3 faktor yang menyebabkan anjloknya posisi Indonesia di Indeks Demokrasi Dunia 2017

Liputan6.com, Jakarta - Baru-baru ini, indeks demokrasi di Indonesia dikabarkan mengalami kemerosotan pada tahun 2017, menurut laporan media ternama Amerika Serikat The Economist.

The Economist menyimpulkan hal itu setelah mereka menyelesaikan dan merilis hasil proyek penghitungan Indeks Demokrasi Dunia Tahun 2017 pada 30 Januari 2018.

Indeks itu memaparkan tentang penilaian keberlangsungan demokrasi pada setiap negara dunia, yang diukur dengan menggunakan lima variabel penilaian.

Lima variabel penilaian indeks demokrasi itu meliputi; (1) proses elektoral dan pluralisme, (2) keberfungsian pemerintahan, (3) partisipasi politik, (4) kultur politik, dan (5) kebebasan sipil.

Hasil penilaian yang diukur dari kelima variabel itu akan menghasilkan skor rata-rata yang dijadikan sebagai tolok ukur penetapan peringkat indeks.

Indonesia duduk di posisi 68 dan masuk dalam kategori negara dengan pemerintahan demokrasi yang cacat -- yang berada dalam rentang peringkat 20 - 76.

The Economist juga menyebut, posisi Indonesia dalam indeks tersebut merosot tajam 20 puluh peringkat dari penghitungan tahun 2016 -- menjadi sebuah noktah hitam bagi keberlangsungan demokrasi di Tanah Air.

Apa penyebabnya?

Dari berbagai contoh, berikut 3 faktor yang menyebabkan posisi Indonesia di Indeks Demokrasi Dunia 2017 versi The Economist mengalami kemerosotan, seperti Liputan6.com rangkum dari berbagai sumber (2/2/2018).

 

Saksikan video pilihan berikut ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 5 halaman

1. Dinamika Pilkada DKI Jakarta 2017

Salah satu faktor penyebab kemerosotan itu, kata The Economist, dipicu oleh 'dinamika politik Pilkada DKI Jakarta 2017'. Kendati demikian, laporan itu tak memberikan pemaparan lebih detail.

Namun, pada tahun 2017 silam, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia punya pemaparan tersendiri, yang mungkin, berkaitan dengan argumentasi The Economist.

Kepala Pusat Penelitian Politik LIPI, Adriana Elisabeth menilai bahwa politik di Indonesia belum dijalankan dengan benar untuk tujuan menyejahterakan masyarakat.

"Di sini saya juga harus bantah kalau politik itu kotor. Politik juga merupakan bidang ilmu untuk mendapat kedudukan di mana kedudukan itu seharusnya digunakan untuk memberikan kesejahteraan masyarakat," kata Adriana saat memberi keterangan pers pemaparan hasil riset dan analisis Pilkada Jakarta 2017 di Jakarta, seperti dikutip dari Antara, Rabu 3 Mei 2017.

Namun menurut dia, tujuan politik yang sebenarnya itu tidak dijalankan sehingga terkesan kotor.

"Yang dilakukan hanya struggle for power, tapi setelah memperoleh kekuasaan tidak digunakan untuk menyejahterakan masyarakat. Dan itu terbaca dari cara-cara mendapatkan kekuasaan itu sendiri," katanya.

Di mana, kata dia, seseorang menggunakan cara apapun untuk mendapat kedudukan. "Dan itu menurut saya menunjukkan demokrasi yang belum matang. Pada dasarnya politik harus dipelajari, jangan merasa tahu padahal tidak tahu," lanjutnya.

Saat ini, menurut dia, demokrasi Indonesia sedang berproses mencari bentuk dan tak diketahui bagaimana ujungnya. Menurut dia, harus ada peradaban baru politik di Indonesia agar semakin matang dan tidak ada rusuh seperti yang terjadi pada Pilkada DKI Jakarta 2017.

Pendidikan politik yang benar, kata Andriana, wajib dilakukan oleh partai politik kepada masyarakat, dan anggotanya agar bisa lebih dewasa dalam berpolitik. Dengan demikian, ia mengatakan ekspresi kebencian di masyarakat, penyebaran berita bohong di dunia nyata maupun maya pada gelaran politik berikutnya hilang.

Sedangkan penyelesaian jangka pendek, Adriana mengatakan dengan membawa penyebar hoax, ekspresi kebencian ke jalur hukum.

3 dari 5 halaman

2. Kasus Ahok

The Economist juga menyimpulkan, 'dinamika sosial-politik yang terjadi seputar mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama' menjadi salah satu faktor yang memicu kemerosotan posisi Indonesia dalam Indeks Demokrasi Dunia Tahun 2017 versi mereka.

"Demokrasi di Indonesia mengalami kemunduran usai ... gubernur petahana DKI Jakarta saat itu, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, yang berasal dari kelompok minoritas, ditahan akibat tuduhan penistaan agama," tulis The Economist.

Kendati demikian, The Economist tak memberikan pemaparan yang lebih mendalam.

Namun, pada tahun 2017 silam, organisasi pegiat HAM dan pro-demokrasi, Amnesty International Indonesia punya pemaparan tersendiri, yang mungkin, berkaitan dengan argumentasi The Economist.

Direktur Amnesty International Indonesia, Usman Hamid pada Mei 2017 menyebut bahwa vonis 2 tahun penjara atas penodaan agama yang dijatuhkan oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara terhadap Ahok adalah sebuah 'kemunduran demokrasi'.

"Ini kemunduran demokrasi. Harusnya di usia 19 tahun reformasi, Indonesia sudah matang," kata Usman Hamid, di Cikini, Jakarta Pusat, Minggu 14 Mei 2017.

Menurut dia, proses hukum kasus Ahok terlampau instan dan baru kali pertama terjadi di Indonesia.

"Ini satu kasus pertama kali, di mana etnis minoritas yang berasal dari lembaga kekuasaan dan dihukum secara instan," jelas Usman.

 

4 dari 5 halaman

3. Persekusi

The Economist juga mencatat, bangkitnya gerakan masyarakat berbasis keagamaan atau primordialisme mayoritas, yang memicu sejumlah kasus persekusi terhadap kelompok minoritas, menjadi salah satu faktor yang memicu kemerosotan peringkat Indonesia dalam Indeks Demokrasi Dunia 2017 versi media AS itu.

Kendati demikian, The Economist tak memberikan pemaparan yang lebih mendalam.

Namun, pada tahun 2017 silam, sebuah lembaga think-tank yang berfokus pada isu politik di Asia Tenggara, Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), memiliki data dan bukti, yang mungkin, mendukung argumentasi The Economist.

Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) mencatat ada sekitar 60 kasus persekusi terjadi di Indonesia selama Januari-Mei 2017 ini. Jumlah tersebut meningkat secara signifikan pada Mei 2017.

Koordinator Regional SAFEnet Damar Juniarto mengatakan, vonis terdakwa kasus penodaan agama Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok pada awal Mei 2017 menjadi salah satu pemicu meroketnya tindakan persekusi.

"Putusan terhadap Ahok di bulan sebelumnya yang mengantar angka persekusi lebih tinggi," ujar dia dalam sebuah diskusi di bilangan Cikini, Menteng, Jakarta Pusat, Minggu 4 Juni 2017.

Meski demikian, Damar melanjutkan, meningkatnya kasus persekusi karena efek Ahok hanyalah soal kerangka waktu (time frame). Sebab, bukan persoalan korban yang diburu merupakan pendukung Ahok atau sebaliknya.

"Bukan soal Ahoker atau bukan. Perspektifnya, dalam kurun waktu itu ada situasi vonis Ahok, itu membuat efek tingginya persekusi atau terjadinya persekusi. Hanya kaitan waktu, bukan orang yang diburu," jelas dia.

Damar menambahkan, lokasi terjadinya persekusi yang tidak hanya di Jakarta menunjukkan korban tidak melulu simpatisan Ahok dalam Pilkada DKI. Mengingat persekusi juga terjadi di wilayah Sumatera Barat, Kalimantan Timur, dan Maluku.

"Kan tidak ada kaitannya dengan Pilkada Jakarta," ucap dia.

Berdasarkan data SAFEnet, terdapat tujuh akun atau orang yang melapor menjadi korban persekusi pada Januari 2017. Kemudian terdapat tiga kasus persekusi di bulan berikutnya.

Pada Maret 2017 terdapat dua kasus persekusi. Kemudian meningkat sebanyak 13 kasus pada April 2017. Jumlah persekusi meroket tajam pada Mei 2017 yakni sebanyak 43 kasus.

"(Persekusi) Diawali dari beberapa kota di Jawa, menyebar ke Kalimantan pada Februari, Maret-April meluas ke Sumatera, Mei merata secara global di seluruh Indonesia," beber Damar.

5 dari 5 halaman

4. Penilaian The Economist Terhadap Taraf Demokrasi di Indonesia

Seperti dikutip dari The Economist, Indonesia memiliki skor rata-rata 6,39 dan duduk di peringkat 68 -- merosot tajam 20 puluh peringkat dari penghitungan tahun 2016.

Pada tahun 2017, menurut catatan media AS itu, variabel "proses elektoral dan pluralisme" RI memiliki skor 6,92. Sementara, variabel "keberfungsian pemerintahan" Indonesia memiliki skor 7,14 -- skor tertinggi dari total lima variabel penilaian.

Sementara itu, variabel "partisipasi politik", "kultur politik", dan "kebebasan sipil" Indonesia memiliki skor 6,67; 5,63; dan 5,59.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.