Sukses

Iklim Berubah, Beruang Kutub Ini Kurus Kering karena Kelaparan

Seekor beruang kutub ditemukan dalam keadaan kurus kering dan lunglai. Untuk berjalan saja, ia seperti tak mampu menopang badannya.

Liputan6.com, Ottawa - Apa yang ada dalam benak kita saat mendengar tentang beruang kutub? Ya, kebanyakan dari mereka berbadan subur, gemuk, gahar, dan lincah saat mencari makan. Tubuh mereka ditutupi dengan bulu putih yang lebat.

Akan tetapi, semua pemikiran itu buyar saat kita melihat video yang direkam oleh seorang fotografer dari National Geographic, Paul Nicklen.

Nicklen menemukan seekor beruang kutub yang kelaparan. Miris, tubuhnya kurus, kering kerontang dan lemah lunglai. Untuk berjalan saja, ia seperti tak mampu menopang badannya.

Nicklen, yang juga seorang ahli biologi, menduga bahwa kondisi menyedihkan hewan dengan nama Latin Ursus maritimus tersebut adalah efek dari perubahan iklim.

Ia merekam beruang kutub itu saat melakukan ekspedisi di Pulau Baffin, di sebuah pantai lepas di utara Kanada.

Kamera yang dibawanya merekam si beruang kutub yang sedang mengais-ngais makanan dari dalam tong tua. Ia lalu menemukan sepotong daging yang -- sepertinya -- busuk. Kondisi geografis di tempat itu juga terlihat gersang.

Padahal, Pulau Baffin letaknya tak jauh dari Greenland. Lantaran es di daerah tenrsebut telah mencair drastis akibat pemanasan global, beruang kutub di daerah itu menderita kelaparan akut.

Nicklen pernah melihat lebih dari 3.000 beruang di alam liar. Ia dan tim ekspedisinya mengira, kematian beruang itu tinggal menghitung jam, sesaat setelah mereka melihatnya.

Awalnya, Nicklen berniat ingin membantu beruang kutub malang itu. Namu, apa pun yang ia lakukan justru akan akan menambah penderitaan si beruang.

"Aku tak ingin berjalan mendekatinya, lalu membiusnya dengan senapan obat penenang, dan merawatnya atau memberinya 400 pon (181 kilogram) daging olahan," kata Nicklen kepada National Geographic, seperti dikutip dari VICE, Sabtu (9/12/2017).

Seiring dengan naiknya suhu dan es laut yang meleleh, beruang kutub kehilangan akses untuk mencari sumber makanan mereka.

Kelaparan dan kehabisan energi, mereka terpaksa mengembara ke permukiman manusia untuk mendapatkan makanan. Sedangkan aturan di sana, memberi makan beruang kutub adalah kegiatan ilegal.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Mencairnya Lapisan Es di Samudera Arktik

Lapisan ketebalan es di Samudra Arktik diprediksi akan menipis dalam waktu puluhan tahun lagi.

Dengan kata lain, es di wilayah Kutub Utara diyakini akan mencair akibat efek pemanasan global. Menurut analisis peneliti, puncak mencairnya es di Samudra Arktik akan terjadi pada 2040.

Penelitian tersebut dipublikasikan University of Calgary pada 24 Oktober 2017. Penelitian sengaja dilakukan untuk mengoreksi penelitian yang sebelumnya sudah dilakukan Canadian Cryosphere Climate Research Group yang terbit di jurnal akademis Geophysical Research Letters.

Menurut hasil laporan ilmuwan University of Calgary, penelitian yang dilakukan Canadian Cryosphere Climate Research Group sangat keliru dan terlalu dilebih-lebihkan. Penelitian waktu itu menjelaskan ketebalan es di Samudra Arktik akan lebih tebal sekitar 25 persen.

Namun kenyataannya, penelitian terbaru yang dipimpin oleh peneliti Vishnu Nanda ini melaporkan lapisan es di lautan akan benar-benar mencair mulai musim panas 2040. 

"Selain efek pemanasan global, musim panas di wilayah Samudra Arktik akan memberikan dampak pada pola cuaca di Bumi dengan meningkatnya frekuensi badai besar," ujar Nanda sebagaimana dikutip Reuters, Senin (30/10/2017).

"Akibatnya, ekosistem laut juga kena dampaknya. Flora dan fauna di Kutub Utara juga terancam. Mereka akan semakin sulit makan dan berburu. Ini bisa mengakibatkan ancaman kepunahan," ia melanjutkan.

NASA mengklaim pemanasan global menjadi penyebab utama yang kelak mencairkan bongkahan es di wilayah dingin Kutub Utara dan Selatan. Akibatnya, permukaan laut akan naik.

Badan Antariksa Amerika Serikat tersebut juga menerbitkan penelitian tentang efek pemanasan global. Penelitian itu memperlihatkan hasil studi tentang kenaikan tinggi permukaan air laut di Bumi akibat efek pemanasan global.

Berdasarkan informasi yang dilansir The Guardian, studi menunjukkan tinggi permukaan air laut naik 8 sentimeter (cm) sejak 1992.

Bila ke depannya iklim Bumi semakin tidak stabil akibat efek pemanasan global, permukaan air laut akan semakin tinggi dan menyebabkan sebagian besar permukaan tanah di Bumi tenggelam.

Sebelumnya, para peneliti memperkirakan kenaikan berkisar 0,3 hingga 0,9 cm sampai 100 tahun mendatang. Namun, NASA menampik prediksi para ilmuwan tersebut dengan hasil studinya yang baru saja diumumkan baru-baru ini.

"Kenaikan permukaan air laut lebih cepat dan lebih besar dari prediksi 50 tahun lalu. Bisa saja hal ini akan bertambah buruk," ujar pakar Associate Professor Colorado Center for Astrodynamics Research (CCAR) NASA, Steve Nerem.

Kenyataannya, tingkat kenaikan air laut memang berbeda-beda di beberapa wilayah dan mengalami kenaikan air laut sehingga penurunan permukaan tanah terjadi.

Kenaikan permukaan air laut disebabkan oleh suhu perairan yang cenderung memanas. Hampir setengah dari jumlah bongkahan es raksasa di dunia meleleh akibat hal itu.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.