Sukses

Sempat Ditolak AS, Tim Robotik Putri Afghanistan Juara di Eropa

Sekumpulan remaja putri Afghanistan ini berhasil membuktikan dunia, bahwa mereka bisa menjuarai kompetisi robot bila diberi kesempatan.

Liputan6.com, Tallinn - Tim robotik remaja putri asal Afghanistan menjadi sorotan, setelah berhasil memenangkan kompetisi robot di Eropa.

Mereka berhasil mengharumkan nama Afganistan di Festival Robotex di Tallinn, Estonia, dengan robot ciptaannya.

Dikutip dari Independent pada Senin (04/12/2017), kelompok berisi 12 putri yang berasal dari Kota Herat, Afghanistan itu akhirnya muncul sebagai pemenang, dengan menampilkan prototipe robot berenergi solar yang dapat membantu petani skala kecil mengelola lahan mereka.

Menanggapi kemenangan tersebut, Said T Jawad selaku Duta Besar Afghanistan untuk Inggris mengatakan, "Kami sangat bangga dengan prestasi hebat yang diraih Tim Robotik Putri Afghanistan."

"Dukungan tepat dan kesempatan berprestasi yang diberikan pada anak-anak itu dapat menjadi contoh baik bagi banyak orang di dunia," tambahnya.

Sebelumnya pada awal tahun ini, enam anggota dari tim tersebut sempat ditolak visa masuk ke Amerika Serikat (AS) demi mengikuti kompetisi internasional robotik di Washington DC. Alasan penolakan itu sendiri tidak jelas.

Publik internasional pun memprotes keputusan tersebut, membuat pihak AS akhirnya memberikan izin masuk kepada mereka dengan sistem "pembebasan bersyarat". Sistem itu memungkinkan pengunjung yang tak memenuhi syarat untuk dapat masuk ke AS dengan alasan kemanusiaan, atau bermanfaat bagi masyarakat di sana.

Setelah diizinkan masuk, mereka dapat membanggakan Afghanistan dengan berhasil meraih medali perak dalam kompetisi tersebut.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

6 Remaja Asal Burundi Menghilang Usai Kompetisi Robot di AS

Kompetisi internasional robotik yang diselenggarakan di Washington DC itu juga sebelumnya mendapat sorotan lain, terkait hilangnya enam peserta remaja asal Burundi.

Kehilangan itu awalnya dilaporkan oleh guru pendampingnya, yang melaporkan bahwa ia tidak dapat menemukan murid-muridnya.

Saat mencari ke wisma penginapan peserta di Trinity Washington University, si pendamping itu juga menemukan kamar para siswanya kosong melompong. Barang-barang personal mereka juga tidak ada di ruangan tersebut.

Washington DC Metropolitan Police yang menangani kasus itu menduga bahwa keenam remaja dengan rata-rata usia 16 - 18 tahun tersebut melarikan diri ke Kanada.

Padahal, mereka direncanakan terbang kembali ke tanah air pada Kamis 20 Juli. Kepolisian juga menjelaskan bahwa visa mereka hanya berlaku untuk satu tahun. Demikian seperti dikutip dari The Guardian pada 21 Juli lalu. 

"Ada indikasi bahwa para remaja itu melarikan diri atas kehendak sendiri. Mengingat mereka meninggalkan kunci kamar di tas pendampingnya, dan baju-baju mereka pun tidak ada di kamar," ucap pengorganisasi kompetisi, First Global.

Sementara itu, ketua komunitas Burundi-Amerika setempat, Oscar Niyiragira, menjelaskan, tidak menutup kemungkinan jika enam remaja itu melarikan diri ke Kanada untuk mencari suaka. Oscar juga menganggap, perlu ada investigasi lebih mendalam terkait alasan di balik pelarian diri para remaja tersebut.

Namun, jika memang mereka mencari suaka, Oscar berpendapat bahwa tindakan remaja itu dilatarbelakangi motif ekonomi, ketimbang politik.

Sejak 2015, Burundi dirundung instabilitas politik, setelah Presiden Perre Nkurunziza tampak berniat memulai kekuasaan otoritarian, dengan menjabat selama tiga periode berturut-turut.

Akan tetapi, perekonomian Burundi yang buruk, dapat pula menyebabkan orang-orang seperti Oscar --dan mungkin keenam remaja tersebut-- mencari suaka di Benua Amerika.

Kabar menyebut, dua dari enam remaja itu, Don Ingabire (16), Audrey Mwamikazi (17), dilaporkan terlihat menyeberang ke Kanada. Informasi itu dikabarkan oleh juru bicara Washington DC Metropolitan Police, Aquita Brown.

Empat remaja lain bernama Nice Munuzero (17), Richard Irakoze (18), Aristide Irambona (18), dan Kevin Sabumukiza (17).

Kompetisi yang diikuti oleh peserta dari 150 negara itu, dirancang untuk memotivasi para pemuda untuk menapaki karier di bidang matematika dan sains. Kompetisi itu juga sempat menjadi pusat perhatian, karena diselenggarakan beberapa waktu setelah kebijakan pengetatan imigrasi yang diterapkan oleh Presiden AS Donald Trump.

Selain itu, jika keenam remaja itu memang benar melarikan diri untuk mencari suaka, Oscar Niyiragira menganggap bahwa Kanada merupakan lokasi yang lebih baik ketimbang AS. Apalagi, setelah sejumlah sentimen dan kebijakan anti-imigran yang dicanangkan oleh Presiden Trump.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini