Sukses

Ikuti Jejak AS, Israel Akan Keluar dari UNESCO

PM Israel Benjamin Netanyahu memuji keputusan AS untuk keluar dari UNESCO. Ia menyebut langkah tersebut berani dan bermoral.

Liputan6.com, Tel Aviv - Israel kini tengah mempertimbangkan untuk mengikuti jejak Amerika Serikat keluar dari Badan Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO).

Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu memuji keputusan AS tersebut "berani dan bermoral". Demikian pernyataan PM Israel seperti dikutip dari BBC, Jumat (13/10/2017).

Dalam akun Twitter-nya, PM Netanyahu mengatakan, dia telah menginstruksikan kementerian luar negeri untuk "mempersiapkan penarikan Israel ... bersamaan dengan Amerika Serikat".

Salah satu kerja UNESCO adalah badan itu menunjuk situs-situs bersejarah di dunia untuk wajib dilestarikan. Di antaranya adalah Palmyra di Suriah dan Grand Canyon di AS.

Kepala UNESCO, Irina Bokova, mengekspresikan penyesalan mendalam atas penarikan AS dari organisasi itu.

Penarikan AS akan berlaku efektif pada akhir Desember 2018. Sampai saat itu, AS akan tetap menjadi anggota penuh.

AS akan membentuk misi pengamat di organisasi yang berbasis di Paris untuk menggantikan perwakilannya, kata Departemen Luar Negeri AS.

Menurut koresponden diplomatik BCC, Jonathan Marcus, UNESCO adalah target "mudah" bagi Presiden Donald Trump. UNESCO adalah badan multilateral dengan tujuan pendidikan dan pengembangan seperti mempromosikan pendidikan seks, melek huruf dan kesetaraan bagi perempuan.

Penarikan AS akan dilihat oleh banyak orang sebagai manifestasi pendekatan "America First" oleh Trump dan permusuhannya terhadap organisasi multilateral.

"Ironisnya, UNESCO adalah bagian dari arsitektur internasional yang dibantu AS dalam pembangunannya setelah Perang Dunia Kedua," tulis Marcus.

Yang jadi dasar AS menarik diri adalah organisasi itu dianggap bias anti-Israel. Lembaga itu telah mengutuk Israel di masa lalu karena karena aktivitasnya di Tepi Barat dan Yerusalem Timur.

Awal tahun ini UNESCO menunjuk kota tua Hebron sebagai warisan dunia milik Palestina. 

Di kota tua tersebut terdapat situs suci umat muslim masjid Ibrahimi dan makam kuno Yahudi atau yang disebut pula Gua Para Leluhur (Cave of the Patriarchs). Kawasan itu berada di bawah perlindungan ketat militer Israel.

Pengawasan ketat militer di kota itu dinilai merupakan salah satu simbol pendudukan Israel yang paling kejam. Warga Palestina sendiri sudah cukup lama bermukim di sana.

Polisi Israel berjaga di dekat Gua Para Leluhur dan Masjid Ibrahimi yang lokasinya berdekatan (AP Photo/Bernat Armangue, File)

Resolusi UNESCO mencatat Hebron sebagai salah satu kota tertua di dunia, yang berawal dari Zaman Tembaga atau telah berusia lebih dari 3.000 tahun SM dan sudah mengalami penaklukan oleh orang-orang Romawi, Yahudi, Tentara Salib, dan Mamluk.

Warga Yahudi meyakini bahwa makam Yahudi kuno di Hebron merupakan tempat dimakamkannya Ibrahim, Ishak, dan Yakub.

Adapun PM Netanyahu mengatakan, resolusi terkait Hebron merupakan "keputusan delusi UNESCO lainnya". Ia juga menegaskan Israel "akan terus menjaga Gua Para Leluhur demi menjamin kebebasan beragama bagi semua orang dan menjaga kebenaran".

"Kali ini mereka memutuskan bahwa makam kuno di Hebron adalah situs Palestina, berarti bukan milik Yahudi, dan itu berarti bahaya," ujar Netanyahu pada Juli 2017. 

Tak lama setelah keputusan UNESCO tersebut, PM Netanyahu mengumumkan pemotongan iuran sebesar US$ 1 juta ke PBB. Ia sampaikan, dana tersebut akan dialihkan untuk mendirimkan museum peninggalan Yahudi di pemukiman Kiryat Arba.

Selain menuding UNESCO bias, Kementerian Luar Negeri AS mengatakan bahwa pihaknya prihatin tentang meningkatnya tunggakan keuangan di lembaga tersebut dan mengatakan bahwa hal itu harus direformasi.

Meski demikian, tunggakan itu terjadi karena keputusan AS untuk memotong dana lebih dari US$ 80 juta ke lembaga tersebut di tengah kehebohan mengenai keanggotaan Palestina enam tahun lalu. Akibatnya, anggaran berkurang 22 persen.

Trump telah mengkritik apa yang dia anggap sebagai kontribusi yang tidak proporsional oleh AS kepada institusi PBB. AS mendanai 22 persen dari anggaran reguler PBB dan 28 persen untuk pemeliharaan perdamaian PBB.

Bokova mengatakan penarikan tersebut merupakan kerugian bagi "keluarga PBB" dan multilateralisme pada umumnya.

Namun, dia mengakui bahwa "politisasi" telah terjadi pada organisasi tersebut dalam beberapa tahun terakhir. Juga, AS menunggak iuran --yang telah disunat tersebut--  hingga 'utang' AS ke organisasi itu bengkak menjadi US$ 500 juta. 

Bokova mengatakan kepada New York Times bahwa dia telah memberi tahu anggota Kongres berulang kali bahwa pembayaran langsung tunggakan AS ke UNESCO tidak menjadi masalah, dan keterlibatan Amerika dalam organisasi menjadi prioritas.

Akan tetapi, Bokova mempertanyakan waktu pengumuman tersebut, yakni saat UNESCO memilih pemimpin baru.

Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Antonio Guterres mengatakan bahwa dia "sangat menyesalkan" keputusan AS tersebut namun PBB akan terus "berinteraksi dengan Amerika Serikat dengan sangat produktif dalam berbagai isu melalui bermacam organisasi".

Sementara itu, Komite Urusan Publik Israel Amerika (AIPAC) bertepuk tangan, mengatakan bahwa selama bertahun-tahun, agensi tersebut telah "mengkhianati misi mandat aslinya ... dan menargetkan satu-satunya negara berdemokrasi Timur Tengah, yaitu Israel".

Rusia mengatakan bahwa mereka menyesalkan keputusan tersebut, namun setuju UNESCO terlalu dipolitisasi.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Bukan Kali Pertama

Keluarnya AS dari keanggotaan UNESCO bukan lah yang pertama kalinya.

Pada 1984, di bawah Presiden Ronald Reagan, AS menarik diri dari UNESCO, dengan mengatakan bahwa badan tersebut secara politis sayap kiri dan tidak bertanggung jawab secara finansial.

Setahun kemudian, 1985, Inggris menarik diri mengikuti jejak AS. Namun, bergabung kembali di bawah perubahan pemerintahan pada 1997.

Pasca-menarik diri pada 1984, AS baru bergabung kembali dengan UNESCO pada tahun 2002 setelah pemerintahan George W Bush mengatakan ingin menekankan kerja sama internasional.

"AS akan berpartisipasi sepenuhnya dalam misi untuk memajukan HAM, toleransi dan pembelajaran," kata Bush saat itu.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini