Sukses

4 Faktor yang Membuat Kebijakan Senjata Api di AS Tetap Bertahan

Berikut 4 faktor yang menjadi penghambat dan bahkan bertendensi mempertahankan kebijakan kepemilikan senjata api di Amerika Serikat.

Liputan6.com, Washington, DC - Usai penembakan massal yang terjadi di Las Vegas pada 1 Oktober lalu, pegiat yang mendesak kebijakan pembatasan penggunaan senjata api (senpi) di Amerika Serikat kembali bersuara. Mereka meminta agar pemerintah AS meloloskan regulasi tersebut sebagai bentuk revisi atas kebijakan penggunaan senpi yang saat ini tengah diterapkan.

Akan tetapi, hal itu terus berulang dari waktu ke waktu, terkhusus ketika kasus penembakan massal kembali mengisi laman muka setiap surat kabar dan kantor berita di Negeri Paman Sam hingga dunia. Dan seiring waktu, isu tersebut pada akhirnya menguap begitu saja.

Di tataran pemerintah pusat Amerika Serikat pun, pembahasan tentang regulasi pembatasan penggunaan senjata api terus mengalami stagnasi. Meski, sejumlah jajak pendapat menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat Negeri Paman Sam semakin gelisah terhadap ancaman kasus penembakan massal yang terjadi.

Namun, patut diakui pula, sebagian besar warga lain masih ingin kebijakan --yang kaidah dasarnya terkandung dalam Amandemen Kedua Konstitusi AS-- itu tetap berlaku seperti sediakala.

Akan tetapi, dipicu dengan tingginya angka korban (59 tewas dan 527 terluka) pada kejadian terbaru, baik warga Amerika Serikat, Gedung Putih, maupun The Capitol akan "berminat" untuk mengubah kebijakan penggunaan senjata api di Negeri Paman Sam.

Meski begitu, media internasional memprediksi bahwa proses untuk membahas kebijakan tersebut tetap akan terhambat oleh sejumlah kendala. Berikut empat faktor yang menjadi penghambat dan bahkan bertendensi membuat kebijakan tersebut tetap bertahan, seperti yang Liputan6.com rangkum dari BBC, Rabu (4/10/2017).

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 5 halaman

1. Peran National Rifle Association di AS

Ilustrasi Foto Penembakan (iStockphoto)

The NRA --sebagaimana organisasi itu disebut berdasarkan singkatannya-- merupakan faktor yang cukup besar dalam mempertahankan status quo kebijakan senpi di AS.

Organisasi itu konsisten menolak segala usulan kebijakan mengenai regulasi pembatasan senpi, baik di tataran pemerintah negara bagian hingga pusat.

Di samping itu, partisipasi yang tinggi dari 5 juta anggotanya serta keluwesan NRA dalam menggelontorkan fulus untuk melakukan lobi politik kepada para pejabat, diduga memainkan peran yang signifikan.

Pada 2016, NRA diduga kuat menghabiskan US$ 4 juta untuk lobi politik (baik yang dilakukan secara tertutup maupun terbuka), US$ 50 juta untuk advokasi, dan US$ 30 juta untuk menyokong dana kampanye Presiden Donald Trump pada Pilpres AS 2016.

Asumsi itu juga dinilai masuk akal, mengingat organisasi itu memiliki anggaran tahunan hingga sebesar US$ 250 juta yang dialokasikan untuk program edukasi, pendirian fasilitas yang berkaitan dengan senpi (toko, sasana tembak, dan lain-lain), menggelar perhelatan, sponsor, advokasi legal, serta berbagai kegiatan lain yang sesuai dengan agenda besar NRA.

Dari perspektif pergerakan sosial, NRA juga memiliki pengaruh kuat untuk memobilisasi jutaan anggota dan simpatisannya demi mendongkrak agenda figur politik yang pro terhadap status quo kebijakan senpi di AS serta menjatuhkan politikus yang berpandangan sebaliknya.

"Selama saya masih duduk di kursi pemerintahan, saya tidak akan melawan NRA," ujar seorang mantan politikus Partai Republik yang anonim, seperti dikutip dari The New York Times.

Bahkan, ketika kelompok pendukung regulasi pembatasan senpi di AS telah semakin terorganisasi dan mendapat dukungan finansial dari pengusaha sekaliber Michael Bloomberg, NRA diprediksi tetap akan berjaya.

3 dari 5 halaman

2. Konstituen dan Parlemen AS

Kondisi kamar nomor 135 di lantai 32 Mandalay Bay Hotel yang digunakan pelaku penembakan Las Vegas. (Twitter/MikeToke)

BBC menduga, The Capitol (gedung parlemen AS) memiliki tendensi untuk melakukan "permainan" politik ketika pembahasan regulasi pembatasan senpi kembali mencuat di kalangan legislator.

Tahun lalu, voting parlemen tentang regulasi tersebut mentah di tangan Kongres AS yang didominasi oleh Partai Republik sejak 2011.

Meski ada beberapa legislator partai Republik yang mendukung regulasi pembatasan senpi, mereka justru lebih memilih untuk mengikuti suara terbanyak dari anggota dewan Grand Old Party lain di parlemen yang sebagian besar ingin mempertahankan status quo kebijakan tersebut.

Anggota dewan dari partai itu juga cenderung mengikuti kehendak para primary voters mereka, yakni warga pendukung Republik --dan kebanyakan dari mereka adalah kelompok demografis rural (countryside) berhaluan konservatif yang tetap ingin mempertahankan status quo kebijakan senpi di AS.

Atas fakta itu, legislator partai Republik yang mendukung regulasi pembatasan senpi memutuskan tak ingin bermain api. Mereka jelas tak mau jika suara konstituen mereka berpindah ke politikus lain, sehingga akhirnya mereka tetap mempertahankan status quo kebijakan tersebut.

Situasi dapat berubah jika: (1) parlemen kembali didominasi oleh Partai Demokrat yang sangat mendukung regulasi pembatasan penggunaan senpi di AS, dan (2) konstituen di wilayah demografis rural mengalami perubahan haluan politik yang condong mendukung Demokrat.

4 dari 5 halaman

3. Mahkamah Agung dan Interpretasi Terhadap Amandemen

Suasana di dekat balai kota Tel Aviv yang dihiasi warna bendera AS untuk menghormati korban penembakan brutal di Las Vegas di Rabin Square, Tel Aviv (2/10). Menurut laporan, pelaku Stephen Paddock bunuh diri di lokasi kejadian. (AFP Photo/Jack Guez)

Kongres lebih tertarik untuk mempertahankan status quo kebijakan senpi yang telah ada daripada merevisinya, sikap berbeda justru ditunjukkan oleh negara bagian AS yang berhaluan politik condong ke kiri.

Negara bagian seperti Connecticut, Maryland, dan New York misalnya, telah mengusulkan kebijakan daerah yang melarang kepemilikan senjata api tipe penyerbu (assault weapon).

Meski begitu, ketika usulan itu disidangkan ke Peradilan Negara Bagian, hakim menggagalkan kebijakan tersebut dengan alasan bahwa kepemilikan senjata api adalah sesuatu yang diatur dalam Amandemen Kedua Konstitusi AS.

Dalam amandemen itu tertulis, "milisi yang teregulasi dengan baik menjadi kebutuhan untuk menjami keamanan negara, hak setiap orang untuk menyimpan dan mengangkat senjata, tidak boleh dilanggar".

Mereka yang mendukung regulasi pembatasan senpi berargumen bahwa kepemilikan senjata api seharusnya hanya diizinkan kepada "milisi yang teregulasi dengan baik", seperti klausa awal kalimat amandemen tersebut.

Namun, kelompok yang ingin tetap mempertahankan status quo kebijakan senpi berdalih dengan menggunakan klausa, "hak setiap orang untuk menyimpan dan mengangkat senjata, tidak boleh dilanggar".

Dan hal itu ternyata sangat memengaruhi hakim di tataran Peradilan Negara Bagian hingga Mahkamah Agung tingkat federal. Sebab, sejak beberapa tahun terakhir, para Yang Mulia meja hijau kerap menolak untuk mengusut kasus terkait perundangan revisi kebijakan senpi di AS.

5 dari 5 halaman

4. Budaya dan Antusiasme Senjata di AS

Suasana di dekat balai kota Tel Aviv yang dihiasi warna bendera AS untuk menghormati korban penembakan brutal di Las Vegas di Rabin Square, Tel Aviv (2/10). Menurut laporan, pelaku Stephen Paddock bunuh diri di lokasi kejadian. (AFP Photo/Jack Guez)

Mungkin aspek ini dianggap sebagai faktor kuat yang sangat laten di kalangan sejumlah warga Negeri Paman Sam, yakni bahwa mereka begitu antusias dengan senjata api hingga ke "urat nadi".

Kepercayaan itu lazim disebut sebagai budaya senjata (gun culture), sebagaimana komunitas akademik kerap menggunakan konsep tersebut dalam sejumlah kajian maupun literatur ilmiah.

Keyakinan mereka terhadap senpi begitu mendalam, seakan sebagai sebuah kultus keagamaan. Oleh karena itu, mereka meyakini, regulasi atau bahkan ketiadaan senpi bagi kalangan publik justru akan menghasilkan sejumlah permasalahan baru ketimbang mengeradikasi polemik yang ada.

Hal itu dipupuk dengan sejarah panjang Amerika Serikat yang kerap berkontribusi pada berbagai konflik bersenjata, sejak era kolonialisme Eropa hingga kini, serta turut disuburkan oleh kehadiran organisasi seperti NRA, yang rutin melakukan advokasi yang condong pro-senpi.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini