Sukses

5 Klaim Aung San Suu Kyi Soal Krisis Rohingya Diragukan

Terdapat lima klaim Suu Kyi yang diragukan kebenarannya bahkan dianggap bertentangan dengan laporan komisi yang dipimpin Kofi Annan.

Liputan6.com, Naypyidaw - Pemimpin de facto sekaligus State Counsellor Myanmar, Aung San Suu Kyi, pada Selasa 19 September akhirnya muncul di muka publik dan berpidato terkait krisis Rohingya. Suara dan tindakan Suu Kyi telah lama dinantikan dunia untuk mengakhiri kekerasan yang terjadi di Rakhine.

Konflik terbaru di Rakhine pecah pada 25 Agustus setelah kelompok gerilyawan Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) melancarkan serangan masif ke sejumlah pos keamanan di Rakhine, menewaskan 12 petugas. Peristiwa tersebut memicu operasi militer intensif.

Sejak saat itu hingga hari ini sudah lebih dari 400 ribu warga Rohingya melarikan diri ke Bangladesh.

Suu Kyi bicara selama lebih dari 30 menit dalam Bahasa Inggris. Itu adalah kali pertama putri dari mendiang Jenderal Aung San tersebut muncul di tengah situasi panas di Rakhine serta meningkatnya kritik internasional terhadap dirinya dan pemerintahannya.

Namun, banyak klaim pada pidato Suu Kyi yang dianggapkan meragukan bahkan bertentangan dengan laporan resmi yang diungkap oleh komisi pimpinan mantan Sekjen PBB, Kofi Annan.

Seperti dikutip dari CNN pada Rabu (20/9/2017), berikut ini sejumlah klaim yang meluncur dari mulut Suu Kyi, namun kebenarannya diragukan:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 6 halaman

1. Tidak Tahu Alasan di Balik Eksodus Rohingya

Pernyataan Suu Kyi bahwa pemerintah Myanmar tidak mengetahui akar penyebab krisis dinilai aneh, terutama setelah ia berulang kali merujuk pada laporan yang dirilis komisi pimpinan Kofi Annan.

Laporan yang dirilis pada Agustus lalu, mengidentifikasi sejumlah persoalan utama yang memicu krisis. Di antaranya adalah ketiadaan warga negara bagi etnis Rohingya, tantangan sosioekonomi yang dihadapi di Rakhine, dan tindakan polisi serta militer di negara bagian tersebut.

Pasca-serangan terhadap pos keamanan pada Oktober 2016, laporan tersebut mengatakan, "Operasi militer dan polisi di kemudian hari menyebabkan puluhan ribu warga muslim melarikan diri melintasi perbatasan ke Bangladesh".

"Sementara Myanmar memiliki hak untuk mempertahankan wilayahnya sendiri, sebuah respons yang sangat militeristik tidak mungkin membawa perdamaian ke wilayah tersebut," ungkap laporan itu.

"Kecuali tindakan bersama --yang dipimpin oleh pemerintah dan dibantu seluruh sektor pemerintah dan masyarakat-- segera diambil, kita berisiko mengembalikan siklus kekerasan dan radikalisasi lainnya, yang selanjutnya akan memperdalam kemiskinan kronis yang menimpa negara bagian Rakhine," jelas Annan dalam laporan tersebut.

Komisioner Tinggi PBB untuk HAM Zeid Ra'ad Al Hussein mengatakan bahwa situasi di Myanmar layaknya kasus pembersihan etnis. Klaim ini telah beberapa kali diulang oleh kelompok pemantau HAM.

Amnesty International dan Human Rights Watch telah merilis laporan yang memberatkan mengenai eksodus tersebut, termasuk tuduhan bahwa militer Myanmar dengan sengaja telah membakar desa-desa yang dihuni warga Rohingya dalam sebuah kampanye "pembersihan etnis" terhadap kelompok minoritas tersebut.

Tuduhan itu diperkuat dengan citra satelit tentang kebakaran, foto dan video dari lapangan, dan kesaksikan saksi tentang pelanggaran HAM oleh pemerintah Myanmar.

3 dari 6 halaman

2. Myanmar Tidak Takut dengan Pengawasan Internasional

Suu Kyi mengatakan bahwa ia tahu perhatian dunia tengah terfokus pada Myanmar saat ini. Namun perempuan berusia 72 tahun tersebut menegaskan, pemerintahannya tidak takut pada pengawasan internasional.

"Jika Anda tertarik bergabung bersama kami dalam upaya kami, tinggal beri tahu kami. Kami dapat mengatur agar Anda mengunjungi daerah tersebut dan bertanya (pada mereka yang masih tersisa) mengapa mereka tidak melarikan diri, mengapa mereka memilih untuk tetap tinggal di desa mereka," kata Suu Kyi.

Kemungkinan situasi memang dapat berubah. Namun, sejak lama diketahui bahwa akses ke Rakhine sangat dibatasi bagi media, kelompok HAM, dan para diplomat.

Pada awal bulan ini, pemerintah dengan kontrol yang ketat mengadakan tur bagi awak media ke Rakhine. Namun, selain itu izin bagi wartawan untuk mengunjungi wilayah konflik secara independen dan mewawancarai warga tanpa campur tangan pemerintah nyaris tidak mungkin didapat.

Amnesty International menuding pemerintah Myanmar menolak akses pekerja kemanusiaan ke negara tersebut. Pada Januari lalu, pelapor khusus PBB untuk HAM, Yanghee Lee, dicegah mengunjungi sejumlah wilayah di Rakhine dengan alasan keamanan.

Sementara itu, organisasi kemanusiaan Doctors Without Borders mengatakan bahwa pihaknya telah memberikan layanan kepada orang-orang yang telah kehilangan tempat tinggal di Rakhine. "Namun, staf internasional belum diberi otorisasi perjalanan untuk mengunjungi fasilitas kesehatan sejak Agustus lalu, sementara staf lokal terlalu takut untuk bertugas menyusul pernyataan pejabat Myanmar yang menuduh LSM berkolusi dengan kelompok militan".

Pada Desember 2016, Kofi Annan telah mengkritik sulitnya akses masuk ke Rakhine.

4 dari 6 halaman

3. Mayoritas Warga Rohingya Tidak Ikut Eksodus

Negara bagian Rakhine memiliki populasi sekitar 3,1 juta di mana sekitar satu juta di antaranya adalah warga muslim Rohingya.

PBB memperkirakan bahwa lebih dari 400 ribu warga Rohingya telah tiba di Bangladesh sejak 25 Agustus. Mereka bergabung bersama dengan sekitar satu juta warga Rohingya lainnya yang telah berada di sana akibat konflik sebelumnya.

Dan pada awal bulan ini, pemerintah Myanmar mengatakan bahwa 176 dari 471 atau sekitar 37,4 persen dari seluruh desa yang dihuni warga Rohingya telah kosong dan 34 desa lainnya "sebagian ditinggalkan". Sementara dalam pidatonya, Suu Kyi mengklaim, "50 persen desa yang dihuni warga muslim masih utuh".

Dalam pidatonya, Suu Kyi sama sekali tidak menyebut Rohingya untuk menggambarkan muslim yang tinggal di wilayah Rakhine. Hal ini membuat sulit untuk memastikan apakah pernyataannya mengacu pada seluruh populasi negara bagian atau spesifik populasi Rohingya.

Pertama dan terakhir kalinya Suu Kyi menyebut Rohingya adalah saat dia merujuk pada kelompok militan ARSA atau Arakan Rohingya Salvation Army.

"Dia (Suu Kyi) memilih menggunakan kata tersebut dalam kaitannya dengan kelompok teroris, itulah satu-satunya identitas yang dimiliki Rohingya dari perspektifnya, juga yang dia harapkan dari perspektif internasional," terang Penny Green, seorang profesor hukum di Queen Mary University.

5 dari 6 halaman

4. Seluruh Warga Rakhine Memiliki Akses ke Pendidikan dan Kesehatan

Klaim Suu Kyi bahwa warga Rohingya mendapat akses ke layanan yang sama seperti warga non-muslim bertentangan dengan laporan komisi yang dipimpin Kofi Annan. Laporan Annan menguak fakta bahwa warga muslim, khususnya orang-orang yang kehilangan tempat tinggal, juga "kehilangan kebebasan bergerak".

"Pembatasan gerak ini berdampak merugikan, termasuk kurangnya akses ke layanan pendidikan dan kesehatan, memperkuat pemisahan komunal, dan mengurangi interaksi ekonomi," kata laporan tersebut.

Selain itu, ditemukan bahwa akses terhadap kesehatan sangat rendah bagi komunitas muslim di Rakhine bagian tengah dan utara. Di beberapa area, warga muslim menghadapi hambatan diskriminatif yang mencegah adanya layanan penyelamatan yang tersedia agar dapat diakses".

Azeem Ibrahim, seorang senior di Center for Global Policy yang telah mengunjungi kamp pengungsi internal di Myanmar mengatakan kepada CNN bahwa penduduk di sana sama sekali tidak memiliki akses terhadap apa pun.

6 dari 6 halaman

5. Tidak Ada Operasi Pembersihan Sejak 5 September

Kelompok pemantau HAM mengatakan bahwa operasi militer pemerintah Myanmar menyertakan serangan helikopter dan pembakaran desa yang dihuni warga Rohingya. Penuturan pengungsi kepada CNN juga menyebutkan, kelompok non-muslim dipersenjatai untuk menyerang warga Rohingya.

Dalam pidatonya, Suu Kyi mengatakan, "Upaya pemerintah untuk memulihkan keadaan normal berhasil. Sejak 5 September, tidak ada bentrokan bersenjata dan tidak ada operasi pembersihan".

Namun, citra satelit milik Amnesty International menunjukkan sejak tanggal tersebut belasan desa dibakar. Menurut Human Rights Watch, 62 desa dibakar pada periode 25 Agustus hingga 14 September.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.