Sukses

Pasukan Algojo Rahasia Duterte: Kami Menjalankan Tugas 'Malaikat'

Lebih dari 3.600 orang meninggal dunia sejak Rodrigo Duterte dilantik menjadi Presiden Filipina. Perang brutalnya menuai kritik tajam.

Liputan6.com, Manila - Lebih dari 3.600 orang meninggal dunia sejak Rodrigo Duterte dilantik menjadi Presiden Filipina pada 1 Juli 2016 dan mengucap sumpah untuk memerangi narkoba dan kriminalitas yang merajalela di negerinya.

Lebih dari setengah pembunuhan itu dilakukan oleh orang-orang yang tak diketahui. Sebuah kekuatan misterius yang berperan sebagai 'algojo' Duterte.

Belakangan terkuak dari bibir salah seorang aparat, tim polisi rahasia bertanggung jawab atas kematian beruntun itu.

"Kami bukan polisi atau individu yang jahat. Kami hanya alat, kami hanya para 'malaikat' yang diberikan talenta oleh Tuhan, seperti yang kau tahu, untuk mengirimkan jiwa-jiwa yang sesat itu ke surga dan membersihkan mereka," kata seorang perwira senior di Kepolisian Nasional Filipina atau PNP kepada Guardian, yang dikutip pada Selasa (4/10/2016).

Ia mengaku terlibat dalam 87 pembunuhan dalam waktu tiga bulan.

Petugas yang tak disebut namanya itu mengelak bahwa mereka membunuh hanya demi kesenangan belaka. Tim itu, dia menambahkan, juga bukan maniak.

Pria itu mengklaim ada tujuan mulia di balik apa yang mereka lakukan. "Kami ada di sini sebagai malaikat. Seperti Michael (Mikail) dan Gabriel (Jibril)."

Perang brutal yang dilancarkan Duterte menimbulkan kekhawatiran dan keprihatinan dunia internasional -- dari PBB, Presiden Amerika Serikat Barack Obama dan pemerintahannya, Human Rights Watch, juga Amnesty International.

Presiden Filipina Rodrigo Duterte memerintahkan tentaranya untuk menghancurkan Abu Sayyaf (Reuters)


Amnesty International bahkan mengeluarkan peringatan tentang apa yang mereka istilahkan sebagai, "kondisi di mana hukum tak berlaku dan ketakutan mencengkeram Filipina".

Kekhawatiran Filipina kembali ke era di mana pasukan algojo kian terbukti. Pernyataan Duterte juga dinilai tak meredakan situasi. Pekan lalu, dengan mengutip soal Hitler dan Holocaust, ia mengaku dengan senang hati akan 'membantai' 3 juta pengedar dan pecandu narkoba di negaranya.

Salah satu korban penembakan tak dikenal terkait narkoba (Reuters)


Sejak jadi Walikota Davao, Duterte memang sosok yang tegas -- bahkan kelewat tegas. Kala itu ia diduga memerintahkan untuk membunuh para penjahat dan lawan-lawannya.

Dalam satu kasus, ia secara pribadi bahkan diduga 'menghabisi' seorang karyawan dari departemen kehakiman dengan senapan semi-otomatis.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Modus Operasi Terkuak

Pengakuan perwira polisi yang terverifikasi masih bertugas itu disampaikan pada Guardian di balik tirai manik-manik di bagian belakang sebuah rumah bordil di Manila.

Ia merasa, itu adalah tempat yang aman untuk bicara. Lalu, pria itu menceritakan tentang asal-usul pasukan pembawa kematian alias death squad.

"Mereka menciptakan kami. Istilahnya, 'mereka melepaskan hewan buas dari kandang untuk menetralkan para penjahat," kata dia.

Perwira polisi itu mengklaim sebagai bagian dari 10 regu yang baru dibentuk untuk melaksanakan tugas khusus. Masing-masing tim beranggotakan 16 aparat.

Target buruan mereka ada tiga: tersangka pengguna narkoba, pengedar barang haram itu, dan para penjahat.

Pembunuhan, dia mengisahkan, biasanya terjadi pada malam hari, dengan perencanaan yang rapi.

Seorang penyidik polisi berdiri di dekat tubuh pria yang diikat kepala dan kakinya di Manila, Filipina, (21/9). (REUTERS/Ezra Acayan)

Mula-mula, pemimpin tim akan dihubungi  lewat radio dan kode tertentu -- masing petugas operasi khusus memiliki kode numerik. Kemudian para anggota diminta melapor ke markas.

Di sana mereka diberi pengarahan, berkas dari target, apakah pengedar narkoba, pengguna, dan penjahat untuk "dinetralkan".

"Misalnya, mereka akan mengirimkan gambar dan profil individu," kata dia. Kemudian, satu atau dua anggota tim akan pergi di mana target berada, untuk melakukan pemeriksaan latar belakang."

Pemeriksaan bertujuan mengetahui apakah target terlibat dalam perdagangan narkota atau aktivitas ilegal lainnya. Atau, apakah mereka termasuk orang-orang yang 'takut Tuhan' atau 'parasit' belaka.

Saat beraksi, para anggota tim khusus mengenakan tutup kepala dan pakaian serba hitam. Mereka saling mencocokkan jam, memberikan jeda 1-2 menit untuk menangkap target dan membunuhnya di tempat -- secara cepat, tepat, tanpa saksi mata.

Jasad target kemudian dibuang ke kota terdekat atau di bawah jembatan. Plester direkatkan di kepala mendiang. Lalu, lembaran kardus diletakkan di atas jasad -- bertuliskan 'drug lord' atau 'pusher' -- bandar narkoba atau pengedar.

Selembar kardus bertuliskan


"Kami meletakkan lembaran kardus itu untuk media dan untuk para penyelidik agar tahu harus ke mana mengarahkan penyelidikan mereka," kata dia.

"Agar mereka berpikir, 'Mengapa aku harus menyelidiki orang ini, apakah ia pengedar, pemerkosa'."

Belakangan ini banyak pembunuhan terjadi di Filipina. Melontarkan candaan satir, perwira itu berucap, "Anda bisa membunuh siapapun saat ini, menempelkan selotip, dan semua orang akan berpikir bahwa ia adalah pengedar narkoba."

Hingga kini belum ada konfirmasi resmi dari Pemerintah Filipina terkait tuduhan keterlibatan negara dan polisi dalam pembunuhan massal di tengah perang narkoba yang brutal.

Namun, di bawah operasi "Double Barrel", petugas polisi telah diberi jaminan dari Presiden Duterte untuk menindak pelaku narkoba dan kejahatan.

Duterte juga telah menginstruksikan polisi untuk menggandakan, bahkan tiga kali lipat upaya mereka menindak penjahat. Presiden Filipina juga berjanji untuk memberikan amnesti kepada setiap petugas yang tindakannya dianggap salah dari sisi hukum.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.