Sukses

Studi: Para Anggota Regu Penolong 9/11 Alami Gangguan Trauma

Menurut para peneliti, selain para anggota regu penolong, PTSD lazimnya ada di kalangan veteran militer.

Liputan6.com, New York - Korban peristiwa serangan 9/11 bukan hanya mereka yang meninggal dunia, tapi juga orang-orang yang masih hidup, terutama para anggota regu penolong yang melakukan tugas berat saat kejadian serangan di WTC New York.

Suatu penelitian baru-baru ini menegaskan adanya kaitan antara gangguan stress setelah trauma (post-traumatic stress disorder, PTSD) dan berkembangnya gangguan kognitif pada anggota regu penolong 9/11.

Menurut para peneliti, selain para anggota regu penolong, PTSD lazimnya ada di kalangan veteran militer.

Dikutip dari UPI pada Kamis (1/9/2016), para peneliti Stony Brook University menjelaskan bahwa para pasien dengan PTSD harus dipantau penurunan kognitifnya.

Saran itu ini didasarkan kepada penelitian yang secara konsisten menunjukkan bahwa suatu kondisi dapat dipakai memprediksi kondisi lainnya, apalagi setelah pengalaman-pengalaman traumatis.

Penelitian sebelumnya mengkaitkan PTSD, gangguan depresi berat, dan penurunan kemampuan kognitif, tapi penelitian terbaru ini adalah yang pertama kalinya menunjukkan adanya penurunan kognitif pada regu penolong sipil yang bukan karena cedera kepala.

Penelitian yang dimaksud telah diterbitkan dalam jurnal Alzheimer's and Dementia: Diagnosis, Assessment and Disease Monitoring.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Program Pemulihan

Sementara itu, sejak 2002, pihak U.S. Centers for Disease Control and Prevention (CDC) telah memulai progam untuk memantau kesehatan polisi, pemadam kebakaran, dan para petugas lain yang turut serta dalam pencarian, pertolongan, dan upaya pembersihan setelah serangan.

Lebih dari 33.000 anggota regu penolong terdaftar dalam WTC Health Program. Sekitar seperlima di antara mereka telah menunjukkan adanya PTSD, sehingga hasil penelitian ini menjadi penting.

Dr. Maria Carrillo, pimpinan keilmiahan di Alzheimer's Association, mengatakan dalam terbitan pers, "Ada persoalan yang harus kita pecahkan."

"Sisi baiknya, temuan ini membantu kita lebih mengerti hubungan antara PTSD, kognisi, dan demensia. Perlu lebih banyak penelitian dalam bidang ini."

"Ini sangat penting supaya kita bisa memberikan penanganan yang lebih bagi semua orang yang mengalami PTSD."

Menurut para peneliti, selain para anggota regu penolong, PTSD lazimnya ada di kalangan veteran militer. (Sumber skp14b.wordpress.com)

3 dari 3 halaman

Teknis Penelitian

Untuk keperluan penelitian ini, para peneliti memeriksa 818 anggota regu penolong yang melakukan pelaporan tahunan di Stony Brook University terkait penurunan kemampuan kognitif dan demensia.

Sekitar 12,8 persen peserta penelitian memiliki gejala penurunan kognitif dan 1,2 persen menunjukkan kemungkinan demensia.

Menggunakan ekstrapolasi perhitungan, diduga antara 3.740 dan 5.300 anggota regu penolong mungkin memiliki penurunan kognitif dan antara 240 hingga 810 orang mungkin memiliki demensia.

"Angka ini mencengangkan, mengingat usia rata-rata anggota regu penolong untuk penelitian ini adalah 53 tahun," kata Dr. Sean Clouston, asisten profesor kesehatan masyarakat di Stony Brook University.

"Jika hasil temuan dapat direplikasi, para dokter harus waspada dampak penurunan kognitif pada seseorang yang pernah mengalami kejadian traumatis menjurus kepada PTSD."

"Misalnya, pengurangan kognitif dapat mempercepat arah kepada PTSD dan depresi, sehingga mengganggu orang tersebut lebih daripada PTSD itu sendiri."

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.