Sukses

Tak Sadar 90 Persen Otaknya Hilang, Pria Ini Bisa Hidup Normal

Seorang pria kehilangan 90 persen otaknya, tapi menjalani kehidupan yang normal. Bagaimana bisa?

Liputan6.com, Buenos Aires - Seorang pria Prancis menjalani hidup normal dan sehat walaupun telah kehilangan 90 persen otaknya. Dari sudut pandang biologis, hal ini menimbulkan pertanyaan di kalangan ilmuwan tentang keberadaan kesadaran manusia.

Sudah ada penelitian selama beberapa dekade tentang kesadaran (consciousness) manusia, tapi tidak banyak yang diketahui. Memang benar, hal itu terkait dengan sesuatu dalam otak manusia, lalu bagaimana pria yang telah kehilangan banyak neuron itu masih sadar tentang keadaan sekitarnya?

Dikutip dari Science Alert pada Rabu (13/7/2016), keadaan ini pertama kali dijelaskan dalam jurnal Lancet pada 2007. Pria itu masih berusia 44 tahun ketika artikel jurnal itu diterbitkan.

Identitasnya dirahasiakan, tapi para peneliti menjelasakan bahwa ia menjalani hidupnya tanpa mengetahui ada sesuatu yang salah dalam dirinya.

Pria itu mengunjungi dokter karena sedikit lemah pada kaki kirinya, tapi pemindaian pada otaknya kemudian menungkapkan bahwa tengkoraknya lebih banyak berisi cairan. Bagian otak yang tersisa hanyalah pelapis terluar jaringan otak. Bagian tengah otaknya sudah raib.

Para dokter menduga otak pria itu meluruh dalam waktu lebih dari 30 tahun karena adanya peningkatan cairan dalam otaknya. Keadaan ini dikenal sebagai hydrocephalus.

Seorang pria kehilangan 90 persen otaknya, tapi menjalani kehidupan yang normal. Bagaimana bisa? (Sumber Feuillet et al/The Lancet via Science Alert)

Ia pernah mendapat diagnosa tersebut sewaktu masih bayi dan dirawat menggunakan suatu selang yang kemudian dicabut pada usia 14 tahun. Sejak pencabutan itu, otaknya meluruh.

Walaupun otaknya tinggal sedikit, ia tidak mengalami cacat mental. Memang benar, angka IQ pria itu hanya 75, tapi ia sanggup bekerja sebagai pegawai negeri, menikah dan memiliki 2 anak, serta relatif sehat.

Studi kasus ini bukan hanya mengundang pertanyaan tentang hal-hal yang membuat seorang bertahan hidup, tapi juga menantang pengertian kita tentang kesadaran (consciousness) tersebut.

Di masa lalu, para peneliti menduga bahwa kesadaran berkait dengan kawasan tertentu pada otak manusia, misalnya kawasan claustrum, yaitu selaput tipis terdiri dari neuron-neuron yang menghubungkan wilayah-wilayah utama pada otak, ataupun kawasan korteks visual.

Tapi, jika hipotesa itu benar, seharusnya pria Prancis itu sudah kehilangan kesadaran karena sebagian besar otaknya sudah tidak ada.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Hipotesis Baru

"Teori apapun tentang kesadaran harus bisa menjelaskan mengapa orang yang kehilangan 90 persen neuronnya masih memperlihatkan perilaku normal," kata Axel Cleeremans, ahli psikologi kognitif dari Université Libre de Bruxelles di Belgia kepada jurnal Quartz.

Dengan kata lain, kemungkinan besar bukan hanya satu kawasan tertentu saja yang berkaitan dengan kesadaran.

Cleeremans mengajukan sebuah hipotesa yaitu bahwa otak terus menerus belajar tentang kesadaran, bukan sekedar bawaan dari lahir. Artinya, letak kesadaran itu bisa luwes dan dipelajari oleh kawasan-kawasan berbeda dalam otak.

"Kesadaran adalah teori non-konsep oleh otak tentang dirinya sendiri dan didapat dari pengalaman melalui belajar, interaksi dengan dirinya, dunia, dan orang lain," demikian dijelaskan Cleeremans.

Ia pertama kali menerbitkan gagasan ini pada 2011 dan sekarang memberikan kuliah tentang hal tersebut dalam konferensi Association for the Scientific Study of Consciousness di Buenos Aires pada Juni 2016 lalu.

Ia menyebut hipotesa ini “tesis plastisitas radikal” dan cukup cocok dengan penelitian terkini yang menengarai bahwa otak orang dewasa lebih mampu beradaptasi daripada yang diduga sebelumnya dan mampu mengambil peran baru sekiranya ada cedera pada otak.

Olivia Goldhill melaporkan melalui Quartz, "Cleeremans berpendapat bahwa, supaya sadar, bukan sekedar mengetahui informasi, tapi mengetahui bahwa seseorang mengetahui informasi tersebut."

"Dengan kata lain, tidak seperti sebuah termostat yang sekedar mencatat suhu, manusia berkesadaran mengetahui dan peduli bahwa dia mengetahui."

Goldhill melanjutkan, "Cleeremans menyebutkan bahwa otak terus menerus belajar secara tidak sadar untuk menjelaskan ulang tentang kegiatan untuk dirinya sendiri dan penjelasan ini menjadi dasar pengalaman kesadaran itu."

Tapi apa artinya itu semua untuk seorang pria yang memiliki sisa 10 persen otaknya? Menurut Cleeremans, walaupun sisa otaknya tinggal sedikit, neuron-neuron yang tersisa masih bisa menghasilkan teori tentang diri mereka sendiri, yang berarti pria itu tetap sadar akan tindakan-tindakannya.

Konsep ini sebenarnya bukan hal baru. Kita terus-menerus mengungkapkan betapa luwesnya otak kita ini. Dalam minggu ini saja para peneliti mampu memicu sel-sel otak untuk mulai berkembang lagi guna memulihkan penglihatan pada tikus-tikus yang buta.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.