Sukses

Opera Ular Putih Teater Koma dan Lakon Sebuah Kostum

Kostum pementasan Opera Ular Putih dari Teater Koma bukan cuma soal padu padan busana.

Liputan6.com, Jakarta Kohanbun tampak begitu bahagia saat mempersunting Pehtinio di hadapan kakak perempuannya dan kakak iparnya. Menyemarakkan dekorasi pernikahan warna-warni, Hanbun dan Tinio dipakaikan busana khas Tiongkok dengan potongan longgar berwarna neon magenta. Sebagai padanan dari baju itu adalah kain batik coklat.

Itulah gambaran benak Rima Ananda akan tampilan pasangan Hanbun dan Tinio dari legenda ular putih yang diwujudkan dalam pementasan teater di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki. Gabungan model busana tradisional Tiongkok dan batik sebagai eleman budaya tradisional Indonesia di pementasan Opera Ular Putih dari Teater Koma ini bukan sekadar soal kecantikan visual atau fashion mix and match semata.

Di sebuah ruang kostum pemain beberapa saat sebelum pentas dimulai, Kamis 2 April 2015, Rima Ananda selaku Penata Kostum menjelaskan kepada Liputan6.com, “Kostum-kostum ini adalah tentang bagaimana mengadaptasi sebuah karya tanpa sekadar menduplikasi tapi juga menciptakan sesuatu yang baru. Kostum-kostum tersebut juga menjadi salah satu identitas dari pementasan Opera Ular Putih Teater Koma”.

Berlanjut ke hal yang lebih mendalam, sebagaimana tertulis dalam penjelasan acara, penggunaan batik Sidomukti, Lereng, dan Megamendung dalam pertunjukan kisah dari negri tirai bambu ini dimaksudkan pula sebagai wujud semangat akulturasi budaya. Dijelaskan oleh Rima bahwa sejak awal, konsep busana yang akan digunakan ini terlebih dahulu dibicarakan pada forum di mana semua tim artistik berkumpul bersama sutradara, mulai dari penata kostum, rias, lampu, dekorasi, gerak, dan lain sebagainya.

Sebanyak 150 kostum kreasi alumni Fakultas Seni Rupa dari Institut Kesenian Jakarta ini dibuat dalam waktu 3 bulan. Melalui padu-padan model busana oriental dan pemakaian kain batik yang dapat ditemukan pada sebagian besar karakter di Opera Ular Putih ini, Rima yang sudah berkiprah di dunia kostum teater sejak tahun 1994 sukses menunjukkan bagaimana 2 hal berbeda dapat hadir berdampingan secara indah.

Identitas dalam kaitannya dengan soal perbedaan kerap kali menjadi penyulut konflik. Tema ini dapat menjadi satu bentuk interpretasi atas kisah siluman ular putih yang dilakoni oleh Teater Koma. Dan semua itu juga tentang kostum, pada pengertiannya yang lebih luas. Apa penyebab perlawanan atas percintaan yang beda dari standar umum masyarakat? Tinio memang berbeda dengan masyarakat di mana Hanbun hidup. “Kostum” yang ia miliki sesungguhnya adalah berupa sisik dan ekor.

Yang menjadi pertanyaan adalah, apa arti dari kostum yang dikenakan masing-masing pelakon kehidupan? Memegang tongkat dan mengenakan kostum kebesaran berwarna emas, tokoh Bahai yang berdiri sebagai representasi otoritas langit menyerang dan menyergap Tinio si siluman ular putih. Baginya, rupa (baca: kostum) Tinio sebagai siluman selalu membalut esensi diri yang jahat. Secara apriori, Bahai mengabaikan derma Tinio dalam mengobati orang-orang sakit bersama Hanbun suaminya.

Jika memang kata `Siluman` diberi makna sebagai `Kejahatan`, maka siapa yang sesungguhnya lebih pantas untuk mendapat predikat itu, Tinio ataukah Bahai? Dengan kata lain siapa yang sesungguhnya siluman, mereka yang melakukan pengelabuan melalui kostum mereka? Adakah jaminan bahwa kostum yang dikenakan satu sosok dapat secara tepat menjadi petunjuk akan bagaimana sosok dibalik balutan kostum itu?

“Opera Ular Putih yang dipentaskan Teater Koma pada tahun 1994 pada awalnya bicara soal kekuasaan. Kembali dipentaskan saat ini, sudut pandang yang diangkat dari kisah siluman ular putih itu adalah bahwa kini kita tak tahu lagi siapa siluman siapa manusia,” terang Nano Riantiarno sang sutradara pementasan teater ini. Nano dan Teater Koma dengan Opera Ular Putih yang dimainkan menyuguhkan suatu stimulus bagi penontonnya untuk merombak relasi antara kostum tampilan luar dengan kondisi diri seseorang.

Perombakan yang mungkin bisa berbuah pada suatu kondisi dimana sosok seperti Raja Langit di pentas ini yang dengan janggut, kostum jubah hijau toska tua, dan headpiece cantiknya tak lagi dirasa “aneh” – apa lagi menjadi sasaran tembak dari mereka yang merasa sebagai “polisi langit” – kala ia nyatanya bercakap, bergerak feminin.

Opera Ular Putih dari Teater Koma yang didukung oleh Djarum Apresiasi Budaya dselenggarakan pada 3-19 April 2015 di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki. Selasa-Sabtu pentas dilaksanakan pukul 19.30 WIB. Khusus Minggu, pentas dimulai pukul 13.30 WIB. Pementasan libur setiap hari Senin. (bio/ret)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.