Sukses

Terinspirasi dari Putrinya, Pria di Temanggung Dirikan Pesantren untuk Santri Tuli

Berbagai pihak mengupayakan penerapan nilai inklusi disabilitas di berbagai sektor. Salah satu sektor yang memiliki peran penting dalam memenuhi hak penyandang disabilitas adalah sektor pendidikan termasuk pendidikan agama seperti pesantren.

Liputan6.com, Jakarta Berbagai pihak mengupayakan penerapan nilai inklusi disabilitas di berbagai sektor. Salah satu sektor yang memiliki peran penting dalam memenuhi hak penyandang disabilitas adalah sektor pendidikan termasuk pendidikan agama seperti pesantren.

Contoh pesantren yang telah menerapkan nilai tersebut adalah Pesantren Hafidz Qur’an Abata yang berlokasi di Manding, Kecamatan Temanggung, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah.

Hingga kini, pesantren tersebut memiliki 43 santri putri dan 6 santri putra berkebutuhan khusus. Menurut pengasuh Yayasan Abata Indonesia, Mukhlisin Nuryanta, pesantren yang berdiri sejak 2016 ini memang fokus pada anak-anak Tuli yang berasal dari berbagai daerah. Seperti Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur hingga yang terjauh Tenggarong, Kalimantan Timur.

Berawal dari tiga santri di awal berdirinya lembaga tersebut, saat ini Abata telah menampung total 49 santri dari 224 pendaftar karena keterbatasan daya tampung.

“Sejak dirintis dari rumah kontrakan beberapa tahun yang lalu, respons masyarakat sangat positif terhadap keberadaan pesantren Abata ini. Terbukti banyak orangtua yang memiliki anak tuna rungu menitipkan kepada kami,” kata Mukhlisin dalam keterangan tertulis yang dibagikan kepada Disabilitas Liputan6.com, dikutip Rabu (2/11/2022).

“Selain karena konsepnya adalah pendidikan gratis atau beasiswa, kurikulum kami memadukan antara kurikulum pesantren dengan kurikulum pendidikan anak tuna rungu yang bermutu dan progresif,” tambahnya.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Terinspirasi dari Putri Sulung

Pria yang karib disapa Ustaz Lisin juga menjelaskan ide awal pendirian pesantren untuk anak-anak Tuli. Menurutnya, ide ini berawal dari kesulitannya menemukan lembaga pendidikan yang cocok bagi putri sulungnya yang juga menyandang Tuli sejak umur 3 tahun.

Sebelum akhirnya menjadi pesantren, Abata dulunya adalah sanggar belajar wicara untuk anak Tuli dengan nama Rumah Abata.

“Saat ini kami menerapkan terapi dengan metode lips reading atau visual phoenix yang merupakan pembelajaran materi secara visual penglihatan. Santri-santri kami diharapkan bisa berkomunikasi secara verbal, dan setiap hari mereka melakukan terapi wicara dari guru-guru yang telah bersertifikat.”

3 dari 4 halaman

Fokus Konten Pembelajaran

Fokus konten pembelajarannya sendiri lebih mengarah kepada akhlak, ibadah, penghafalan Al Quran (tahfidz). Komunikasi lisan dan isyarat, pengembangan bakat dan minat, serta kewirausahaan.

“Kami belum melihat anak-anak tuna rungu bisa memiliki akses pendidikan bermutu, termasuk akses pendidikan Al Quran. Perubahan dari sanggar menjadi pesantren karena kami menilai anak tuna rungu juga butuh ilmu tentang ibadah yang benar serta berlatih konsisten melaksanakan jadwal ibadah mereka masing-masing,” ujarnya.

Saat ini, untuk memenuhi kebutuhan pangan santri, pesantren Abata membutuhkan sedikitnya 74 kilogram daging ayam per bulan, 150 kilogram sayuran, 330 kilogram buah-buahan, serta 74 kilogram telur.

“Kurang lebih kami butuh dana untuk kebutuhan makan 49 santri adalah sekitar Rp 7 juta per bulan. Tentunya ini belum termasuk kebutuhan operasional untuk menggaji guru serta lainnya.”

4 dari 4 halaman

Dikenal dari Mulut ke Mulut

Ustaz Lisin pun bersyukur selama ini pesantren asuhannya tersebut banyak yang membantu meskipun pihaknya tidak pernah memasang iklan.

“Dari mulut ke mulut lah Abata dikenal luas masyarakat. Kami saja sampai kewalahan menerima siswa baru sehingga harus melalui proses seleksi. Mungkin disebabkan karena Abata merupakan sedikit dari lembaga pendidikan berbasis keagamaan yang fokus pada pengasuhan anak tuna rungu.”

Ustaz Lisin berharap, ke depannya para santri bisa menyongsong masa depan yang cerah.

“Kami berharap, santri-santri kami ini kelak punya masa depan yang cerah sebagaimana anak-anak non disabilitas lainnya. Mereka adalah aset bangsa yang sangat berharga,” tutupnya.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.